Write The Stars.
jay duduk di pelataran aula, beberapa anak tangga bawah dengan kepala menengadah ke atas, menghitung bintang disekitar bulan sabit yang tampil malam ini.
“jay.”
sebuah panggilan disusul suara ketukan sepatu menghampirinya, menoleh melihat bapak jungwon ganteng-nya jay sudah tiba dengan setelan prom night ala-ala khas dirinya; celana bahan warna hitam, kemeja putih dengan jas sederhana yang membalut ketampanan yang jungwon jadi berkali lipat lebih menggoda iman jay untuk bertekuk lutut dihadapan sang guru magang.
“ayo, ikut saya,” tangan jungwon terulur, menanti jay menyambut telapak tangan dinginnya, malam itu, jay tersenyum kecil begitu bangkit dan tangannya dilepas oleh jungwon.
“sebenarnya bapak juga bosen ‘kan, makanya diem di ruang mahasiswa, ngaku!”
bukannya nurut, jungwon malah mendengus, “kamu minum?” tanyanya.
jay malah nyengir, “tadi sunghoon nyelundupin minuman, pak, ya karena ditawarin jadinya gak nolak, hehehe,” jawabnya disusul cengengesan.
jungwon cuma menggeleng kecil tanda maklum dan heran di satu waktu, mulai berjalan menuju lapangan belakang perpustakaan bersama jay di sampingnya.
“kalau jalan itu liat ke depan, jangan liat ke atas, nanti jatuh, nangis,” tegur jungwon kemudian jay berhenti, buat melempar tatapan tersinggung.
“kalau jatuh, bapak tangkep saya dong!” katanya.
“kamu pikir ftv?”
“bapak ini emang gak so sweet banget!”
jay mendengus sebal, menghentak kaki dan lanjut jalan, kali ini menatap lurus ke depan, jungwon yang ketinggalan terkekeh, senyumnya terbit pertanda geli.
“kamu ngambek?”
begitu duduk di tribun, ngeliatin langit yang jadi atap lapangan belakang perpustakaan bareng, sebenarnya jay gak ngambek, cuma akting aja siapa tau dicium pak jungwon.
gak nyambung sih, tapi gak ada salahnya halu.
“ngga tuh,” jawabnya cuek.
“katanya mau ditemenin saya, begitu udah ditemenin malah dicuekin, sopan gak kamu kayak gitu?”
jay langsung kasih bombastic side eyes, “kok jadi bapak yang galak sih?” tanyanya.
jungwon malah terkekeh, “saya cuma tanya?” katanya.
“cuma tanya tapi kesannya kayak ‘sini kamu, jay, berlutut sekarang juga!’ gitu!” balas jay dengan wajah garang.
“boleh juga, ide bagus, coba dilakuin,” sahut jungwon yang bikin jay langsung kasih criminal offensive side eyes.
“dasar guru cabul!” katanya.
“siapa coba yang pertama kali godain saya di kelas sore itu?”
seketika wajah jay panas kayak disiram lava Neraka.
“gak usah di ungkit-ungkit!”
“kamu duluan yang mulai.”
“ya tapi ‘kan itu masa lalu, yang saya sebut juga ‘kan kenyataan, bapak emang cabul!”
jungwon denger itu, nahan banget buat gak jitak jay, karena entah kenapa setengah dari jiwanya merasa itu benar.
agak cabul ya, gak cabul-cabul banget kok.
“cabul gini juga kamu suka.”
“kadang berpikir, kenapa dari banyaknya insan di dunia, yang saya suka banget malah bapak?”
jay menoleh, dengan wajah dan gestur bingung yang membuat jungwon milih diem buat menikmati pemandangan jay yang anteng.
dalam artian, sedang tidak bringas dan binal menggoda hasratnya.
“bapak tau gak sih? saya ini kadang merasa kalau saya disayang banget sama bapak, ngerasa kalau saya rindu disayang sama ‘Ayah' dan bapak yang ngobatin kerinduan itu, dan saya yang tadinya mau un-suka sama bapak malah jadi makin suka kayak, bapak ngerti gak sih? saya suka bapak, suka banget, kayak, ini kalau 7 milliar manusia di bumi harus lenyap, saya bakal nukar apa aja di hidup saya supaya saya bisa lenyap bareng bapak, saking sesuka itu saya sama bapak!”
jay langsung engap setelah selesai ngoceh, menatap jungwon yang tergelak dan kemudian ngulurin tangannya mengusak rambut jay.
rambut yang diusak, hati yang luluh lantak.
“bapak kalau gak bisa dimiliki tolong jangan bikin sayang, saya bisa stress kalau bapak begini terus dan kita juga gak jalan kemana-mana, stuck di situ-situ aja, saya yang baper sama bapak dan bapak yang sekedar bebas menikmati saya kapan aja.”
jungwon sadar kalau suasana jadi semakin berat perlahan-lahan, asumsinya jay kena pengaruh alkohol yang dia minum, barangkali toleransi bocah ini gak bagus dengan barang haram satu itu.
sebab kemudian, apa yang jay lakukan justru berlawanan sama apa yang dia katakan, tangan jay naik buat ngeraih tangan jungwon dan dia genggam di atas pangkuan, jay menghela napas dan mengubah tatapannya menyendu.
“kamu nangis?”
iya, jay nangis.
“saya minta maaf.” katanya.
jungwon bingung dong, “kenapa minta maaf?” tanyanya.
“saya suka banget sama pak jungwon, maafin saya yang lancang.” ucap jay dengan kepala tertunduk, jungwon bisa rasakan air mata berjatuhan ke tangan mereka yang bertaut dipangkuan jay.
“kamu... suka sama saya, maksud — ”
“cinta.” sela jay dengan pandang mata basah yang berbinar kena cahaya lampu.
“saya jatuh cinta,” katanya, “sama pak jungwon,” lanjut jay lirih.
jantung jay udah ribut banget, dia realisasikan dengan menggenggam erat tangan jungwon, semisal jay akan ditolak dan di amuk jungwon, setidaknya jay bisa menghayati genggaman tangan ini untuk yang terakhir kali, malam ini, disini, berdua, sama pak jungwon tercinta.
“maafin saya.”
deg.
jantung jay langsung serasa jatuh dan kesedot masuk ke inti bumi.
kenapa jungwon minta maaf?
karena jungwon gak bisa terima cinta jay?
karena jay jatuh cinta sendirian?
karena emang kenyataannya jungwon kasih afeksi ke jay cuma untuk mengimbangi apa yang jungwon dapat dari bercinta dengan jay?
“jangan nangis.”
begitu kepala jay menunduk semakin dalam, dan suara isak tangis gak mampu ditahan, ada tangan yang meraih dan mengusap air matanya.
ada jungwon yang menatapnya penuh dan lekat, dekat, lamat, hingga jay kehilangan cara untuk menetralkan debar jantungnya.
“menurut kamu, apa saya orang baik?”
jay bengong dulu waktu jungwon tanya begitu.
“ba-baik,” jawabnya gugup.
“kalau baik, kamu gak mungkin sampai saya bawa ke penginapan,” kata jungwon.
tiba-tiba jay jadi mau nangis keras sambil guyangan di lantai lapangan karena dia gak bisa buat gak overthinking tentang apa yang bakal jungwon sampaikan sebenarnya.
“sa-saya juga bukan anak baik.”
jungwon yang sempat menunduk buat ngehela napas kemudian mengangkat pandang, menatap jay yang berkata demikian.
“i, i wanna be yours.” kata jay, menggenggam tangan kanan jungwon dengan kedua tangannya.
“saya ini guru kamu, jay.”
“i wanna be yours.”
“saya, ekhem—cabul.”
“i wanna be yours!”
jay menyeru dengan tatapan antusias, ngegas dan ingin menerabas segala macam ‘tapi’ yang disuguhkan jungwon.
“i wanna be yours,” kata jay, “i wanna call you ‘kak jungwon' or ‘mas jungwon' than ‘pak jungwon!’ because i wanna be yours!” ungkapnya.
“i wanna be yours,” ucap jay dengan binar penuh harap, “i wanna fuck with you as your boyfriend, as your little kitty than a student and his sport teacher because i wanna be yours!” ujarnya menggebu.
“saya jatuh cinta, sama bapak, awalnya cuma tertarik, tapi saya baper, saya akui saya lemah, saya jatuh dan saya gak mau bangun, saya mau jatuh aja terus karena bapak, saya suka banget sama bapak!”
detik demi detik terlewat, ketika jungwon malah menatap jay dengan ekspresi diem yang sulit untuk jay gambarkan dalam kepalanya, walau ganteng banget-banget, tapi jay butuh suara jungwon, jay butuh diperjelas, bagaimana sebaiknya jay menentukan sikap dan langkah setelah ini.
“jay.”
“i-iya?”
“maaf.”
tuhkan, maaf lagi.
kenapa sih woiy?!
bikin stress aja!
“saya gak jatuh cinta sama kamu.”
jeder!
jantung jay meledak.
bahkan genggaman kedua tangan jay seketika lemas, namun jungwon lantas menarik tangannya, membuat jay semakin terluka hatinya.
bisa-bisanya setelah tertawan hati malah makan hati.
sakit sekali, anjing.
“saya jatuh cinta sama tubuhmu.”
wah-wah, bajingan juga si bapak ini.
“brengsek…” lirih jay, menunduk dan terkekeh sendu.
“gimana cara kita jadi sedekat sekarang ini gak bener, jay.”
air mata jay udah terjun bebas begitu deras, jungwon memang sangat pandai menyakiti hatinya, sepandai dia juga membuat jay luluh untuk tunduk pada sang guru magang.
“gimana cara kita memulai semua ini gak bener, gimana kalau suatu hari nanti kita ditanya, ‘won, jay, gimana sih pertama kali kalian ketemu? ceritain dong!’ masa iya kamu mau jawab, ‘oh, itu dulu gue godain jungwon pas dia KKN di sekolah gue, terus dia mau dan akhirnya kita ngen—”
“STOP!” sela jay berteriak.
wajahnya merah padam dengan mata basah yang membola.
“demi Tuhan, bapak ini, tolong dong, jangan merusak suasana angst yang baru aja berniat saya hayati!” kesal jay dengan ekspresi galak.
jungwon malah ketawa, seraya meraih sapu tangan dari saku jas dan dia kasih ke jay, yang dikasih langsung ngusap air mata dengan anggunly agar polesannya gak luntur.
harus tetap cantik walaupun lagi patah hati.
“lagian siapa juga yang bakal tanya kayak gitu, kalau kenyataannya aja bapak gak suka sama saya, gak cinta sama saya, bapak cuma suka tubuh saya, sama seperti bajingan-bajingan diluar sana!”
jay udah gak nangis, cuma omongannya aja yang nyelekit, walau itu semua fakta.
“ya, mau gimana lagi, saya juga bukan anak baik-baik, ‘kan? kalau saya anak baik, mana mungkin saya sampai berani godain guru saya sendiri dan bahkan muasin guru saya itu dua kali! mana yang kedua dia yang ngajak, coba, hahaha, mungkin emang harusnya saya gak usah sedih waktu orang-orang bilang saya kayak jalang, kenyataannya emang begitu, saya—”
“cukup.” sela jungwon menghentikan ocehan insecure jay.
“kenapa? saya cuma—”
“saya gak suka punya pacar yang gampang insecure.”
“hah?!” jay 404 not found.
jungwon ngehembusin napas membebaskan sesak yang sempat menghimpit dadanya sewaktu melihat jay menangis dan merendahkan dirinya.
ada rasa ingin gebukin diri sendiri karena terlibat dalam insecurities jay akan bagaimana hidup memperlakukan jay selama ini.
“saya bukan orang baik, kenyataannya saya emang cabul, saya brengsek, seperti bajingan diluar sana, iya, kamu bener.”
“tapi bukan berarti saya gak bisa tanggung jawab,” kata jungwon.
“kalau cuma karena bapak merasa dituntut buat tanggung jawab sama perasaan saya, gak usah! serius deh, saya gak butuh dikasihani, saya mau hati bapak karena bapak juga suka dan cinta sama saya, bukan karena tekanan rasa bersalah ataupun tanggung jawab karena saya jatuh cinta sama bapak, saya mungkin bakal patah hati dan hancur, tapi saya gak akan maksa bapak kalau emang bapak gak suka dan gak cinta sama saya, saya bisa lepasin bapak tapi saya mohon, biarin saya suka dan cinta sama bapak terus, setidaknya selama saya berusaha buat lepasin perasaan itu untuk bapak.”
jungwon gak menjawab, melainkan menahan tengkuk jay dan mendorong wajahnya menubruk bibir jay, melumat, memagut dan sedikit menghisap bibir bawah jay yang reflek mendaratkan tangannya di bahu jungwon, meremas jas hitam yang dikenakan sang guru kemudian berkedip-kedip rusuh saat jungwon selesai dan menarik diri menjauh, menatap wajah kaget jay dengan sebuah senyum tersimpul manis di wajah si bapak.
“bisa berhenti bicara dulu gak?”
“uhmm…” jay menunduk malu, tangannya saling bertaut di atas pangkuan.
salting banget gak sih?
“ayo jadi pacar saya.”
“kita buat cerita yang bisa kita kasih tau ke orang-orang yang tanya soal gimana cara kita memulai hubungan kita.”
“lebih baik.”
tiba-tiba tangan jungwon terulur merengkuh pinggang jay dan menarik tubuh jay mendekat hingga berakhir di pangkuan si bapak.
jantung jay seketika merosot dan berdebar sampai lompat-lompat di atas lambung.
“bapak…” lirih jay salah tingkah.
“katanya kamu mau panggil saya ‘kak jungwon' atau ‘mas jungwon' daripada ‘pak jungwon' karena kamu mau jadi milik saya, sekarang sudah, dan kamu gak mau ngubah panggilanmu?”
“su-sudah?” tanya jay dengan wajah bloon yang menggemaskan.
dibawah langit malam menuju pukul sembilan, jungwon menjatuhkan sebuah ciuman di pipi gembul jay dan melingkari pinggang jay dengan kedua lengannya.
sebuah awal yang baru, yang lebih baik, yang lebih oke buat diceritakan suatu hari nanti kepada orang-orang yang akan bertanya, gimana cara jungwon jatuh cinta sama jay.
jatuh cinta sejati, bukan hanya tentang nafsu, tapi segalanya, untuk hati yang juga suka, dan terisi penuh dengan kasih.
“are you mine?” tanya jungwon.
“i, wanna be yours.” jawab jay dengan air mata yang jatuh lagi.
kali ini karena lega.
“bapak gak bercanda?”
“katanya bapak gak jatuh cinta sama saya?”
“belum, bukan gak.”
jay berkedip-kedip lamat, menampilkan wajah ppkm yang bikin jungwon menepuk pipi jay ringan, menyadarkan jay dari ke-yavdjshs-an nya oleh surprise dari semesta biru malam ini.
“bapak jatuh cinta sama saya?”
“iya, sudah.”
“tapi kok, kapan?”
“sekarang.”
wajah jay langsung mendarat di bahu jungwon buat sembunyiin betapa merah dan panas terasa membakar hingga jiwa raga jay berteriak, minta di cium sampai lemas.
jungwon terkekeh, “saya jatuh cinta sama kamu, bukan karena nafsu, kita buat cerita baru, yang ‘lebih baik' ya?”
“sama-sama?”
“iya, sama-sama, ‘kan sekarang udah jadi milik saya.”
jay mau pargoy sambil ajojing rasanya, aduh, senang sekali, anjing.
“i’m yours, hehehehehehe…”
jungwon gemes, dia belum cinta sama jay, tapi udah jatuh, minimal yakin kalau gak ada alasan untuk gak mencintai bocah random ini dan bukan ide buruk soal mengizinkan dirinya menemani jay menulis gemintang untuk menerangi kisah mereka sebagai langit dan bulan.
“mas…”
“oh, jadinya mas bukan kak?”
jay duduk di sebelah jungwon sekarang, mesem-mesem malu sambil mainin jari jungwon yang lagi sibuk nahan diri buat gak banting jay ke kasur sekarang juga.
tuhkan, emang cabulnya gak luntur-luntur.
“iya, mas jungwon aja, kalau kak kayak lagi ngomong sama pelanggan alfamart.”
“okay,” sahut jungwon, “jadi kenapa, dek?” tanyanya.
jay bisa nih, bisa gila.
“mas jungwon, gak ada cita-cita cium aku lagi gitu? ini nungguin banget dari tadi, dikit lagi jam sembilan, cocok banget buat ciuman yang panjang, ‘kan?”
ya udah sih, cocok.
lakinya cabul, bininya binal.
udahlah, klop.