the madness 2.

Hinandra
7 min readJun 24, 2024

--

CW // BXB, boypussy, drama, conflict, kissing. Slightly! Heejay.

Ni-ki mendapat pesan duluan dari Jay saat mulai naiki anak tangga menuju unit apart milik yang lebih tua, gak dapat jawaban jelas perihal kemana Jay akan pergi, malah ketemu sama empunya di belokan, rautnya tampak tergesa, kaget melihat Ni-ki ada di depan mata.

“Mau kemana?” tanya Ni-ki.

“Riki….”

“Gue cuma tanya lo mau kemana, kenapa ketakutan banget?”

Menelisik raut wajah Jay, gestur tubuh yang terburu, tangan Ni-ki meraih lengan Jay, akhirnya pilih menahan yang lebih tua.

“Apa yang terjadi?” tanya Ni-ki.

“Lo pikir lo bisa pergi dengan keadaan begini?” ujarnya kembali, rasakan dinginnya telapak tangan Jay, kerut alisnya, gumam rancu dari bibirnya.

Ni-ki sebenarnya tau Jay mau kemana, setidaknya menebak dan yakin itu memang jawabannya.

“Lee Heeseung, ya?”

Bahu Jay melemas, bibirnya melengkung ke bawah, binar matanya redup, kedua tangannya sigap meraih telapak tangan Ni-ki, entah apa gunanya, barangkali berniat mengambil hati Ni-ki.

“Kenapa lo harus setakut ini?” ujar Ni-ki.

“Lo gelisah karena mau ketemu Heeseung atau gue?”

Ekspresinya biasa saja, tapi sembunyikan marah yang bangkit dari dasar hatinya.

Jawaban Jay bukan sebentuk kata, tapi gelengan yang gak memberi kejelasan apapun.

“Riki….”

“Ah, gue ngerti sekarang….”

Menoleh ke kiri buang muka, ukir senyum yang buat rengkuhan kedua tangan Jay pada satu tangan Ni-ki mengerat.

“Lo mau ketemu sama dia tapi juga mau temenin gue disini?”

Jay diam, larut dalam denial.

“Lo pikir lo boleh menciptakan dua pilihan dan kebingungan sendiri buat mutusin mau pilih yang mana?”

Jay menggeleng.

“Terserah.” Ucap Ni-ki.

Drtt… drrt….

Ponsel di saku jaket Jay bergetar.

Untuk sejenak Ni-ki menatap Jay lamat-lamat, baru putus tatap saat kedua tangan Jay berhenti menggenggam.

“Riki… gue harus — ”

“Uhm,” jawab Ni-ki dengan deheman, “silakan pergi,” imbuhnya.

Grab!!

Sebuah tarikan cepat membawa tubuh Jay berada dalam pelukan Ni-ki, untuk sesaat dunia serasa berhenti, tapi Ni-ki merunduk dan berbisik.

“Kali ini, kalau lo pergi, gue yang nggak akan pernah kembali.”

Deg!!

Ni-ki menarik diri, melesakkan kedua tangan ke dalam saku celana, tatap Jay dengan sorot enigmatis, malam larut dalam dingin yang makin mencekik, bekukan langkah Ni-ki saat Jay menciptakan jejak demi jejak menjauh tinggalkan dirinya.

Bagi Ni-ki yang terpenting adalah Jay. Ni-ki gak melakukan apapun perihal Lee Heeseung, persetan dengan dia. Ni-ki cuma percaya aja sama Jay, kalau hatinya teguh, cintanya gak akan mungkin runtuh, Ni-ki sudah bilang, supaya Jay memilih yang terbaik — bukan Ni-ki ataupun Heeseung, bukan, mereka bukan pilihan. Tetapi dirinya sendiri, Ni-ki ingin Jay melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, oleh Jay, untuk Jay.

Amarah kali ini teredam, belah bibir terdiam, kepala gak menunduk namun bawa mata tatap ke atas, purnama megah di langit malam — kalimat terakhir adalah bukti kalau Ni-ki tetaplah manusia biasa, ia bisa berhasrat, takluk pada kenyataan, purnama Ni-ki pun sudah penuh, mengisi seluas luasnya hati, ingin ia persembahkan untuk Jay.

Jay yang memilih untuk pergi.

Menyambut Ni-ki yang gak akan pernah kembali.

Dalam perjalanan mengendarai perasaan yang campur aduk berantakan, semua asa Jay terberai, keteguhan yang selama dipercaya runtuh, langkah demi langkah tercipta, tinggalkan puing-puing fiksional perihal Jay yang lebur oleh segala bentuk harapan.

Delapan tahun cukup membuat Jay boleh main selonong masuk rumah Heeseung tanpa repot-repot ketuk pintu. Delapan tahun cukup buat Jay langsung pergi ke kamar Heeseung dan menghambur memeluk pria itu.

Biarkan Heeseung merengkuh pinggangnya, meraih dagu Jay buat ambil atensinya, mengambil jatah ciuman yang menghangatkan bibir Jay yang dingin, hampir terasa beku karena dingin dan kering.

“Gue tau lo pasti dateng buat gue.”

Senyum itu, senyum Heeseung yang gak pernah terasa sedingin ini, gak pernah terasa semenyakitkan ini. Senyum yang gak pernah mengapresiasi Jay sama sekali, senyum itu justru bukti seberapa licik seorang Lee Heeseung.

“Gue tau cuma gue yang bisa bikin lo gila.”

Karena Heeseung penuh dengan keangkuhan, ego yang tinggi, arogansi, selama ini, semua itulah yang dicintai Jay dengan harapan kelak semua itu akan jadi lebih baik ketika Heeseung sudah mendapat cukup waktu dan akhirnya memilih Jay.

“Heeseung.”

Tatapan mereka bertemu, kedua tangan Jay bertengger di bahu Heeseung.

“Gue dateng bukan buat lo.”

“Tapi buat Ni-ki.”

“Maksud — ”

Jay menarik diri, membuat kedua tangannya mengepal erat, tatap Heeseung dengan kedua matanya, yang biasanya terselubung rasa takut untuk ditinggalkan, sekarang, Jay ingin meneguhkan hatinya, untuk meninggalkan.

“J-Jay?”

Raut Heeseung masih tampak arogan, senyumnya membuat Jay merasa ingin muntah, perasaan dalam dadanya meluap sampai menciptakan mual.

“Lo lagi main drama apa sih?”

“Gausah bercanda, sini.”

Jay mengambil langkah mundur saat Heeseung mendekat, hendak mendekap. Langkah mundur pertama setelah delapan tahun.

“Karena cuma lo yang bisa bikin gue jadi gila… karena itu, gue gak mau semakin gila.”

“Jay!” bentak Heeseung.

“Gue mungkin gak akan pernah bisa kembali ke diri gue sebelum ketemu sama lo, tapi gue percaya — seseorang bikin gue percaya, kalo gue yang sekarang pun tetap berhak untuk bahagia!” ujar Jay, luapkan semua rasa kecewa dan muaknya.

“NGGAK! CUMA GUE YANG BISA!” teriak Heeseung kesetanan. Buat gestur siap menerjang Jay, tapi Jay gak gentar, tetap berdiri di satu titik yang sama.

“Cuma gue yang berhak menentukan apa yang boleh gue lakuin untuk diri gue sendiri.” Ucap Jay penuh penekanan.

“Brengsek! Maksudnya lo pilih bocah tengik itu dibandingkan gue yang — ”

“Engga,” jawab Jay, memotong kemurkaan Heeseung, “gue ngga milih Ni-ki, tapi milih diri gue sendiri, gue harus bebas, gue selalu bebas, tapi nafsu gue yang terlalu tinggi bikin gue terikat sama lo,” jelasnya.

Dengan ini, Jay berbalik, memutus ikatan yang membelenggu dirinya selama ini, bersama Lee Heeseung.

“Gue memilih membebaskan diri gue sendiri, Heeseung.”

Satu langkah diambil, tegas, Heeseung terpekur.

“Mencintai gak pernah terasa sesakit ini.”

Dua langkah, tiga, empat, sampai Jay berada di ambang pintu, cahaya kamar yang benderang membuat Jay bisa lihat jelas efek perubahan dirinya pada Heeseung, katakanlah Jay ingin melihat Heeseung juga berantakan setidaknya sekali aja, biar pria itu rasakan apa yang Jay rasakan selama ini.

“I free you, so please, free me, Lee Heeseung.”

Ni-ki masih ingat setiap tawa yang berhasil ia sematkan di wajah Jay. Setiap rona merah yang gak berhasil disembunyikan hanya dengan buang muka, lengkung senyum yang gak sempat disamarkan sebab pipi menggembul plus semburat merah dari arah samping itu selalu jadi fokus Ni-ki, tiap gelak tawa yang dia bagi dengan Jay, semua, semuanya terangkup apik dalam folder khusus di ingatan Ni-ki perihal Jay.

Bulan meninggi, Jay gak kunjung kembali, wajah Ni-ki terlampau pucat sebab habiskan waktunya dua atau entah berapa jam di anak tangga menghadap ke langit, meski berkata gak akan kembali, Ni-ki tetap berharap Jay akan datang, lalu Ni-ki akan izin untuk pergi, sebab diam adalah pamit yang paling pahit, meski sudah kalah, Ni-ki rasa sudah cukup Jay dirundung masalahnya dengan Heeseung, Ni-ki gak mau ikut bikin Jay makin menderita.

Tapi jari jemari nya hampir beku, nafas pun gak terasa cukup hangat saat terhela, entah sampai kapan dia bakal duduk bengong di tangga itu, entah sampai kapan Jay akan pergi, atau lupa ngabarin kalau dia gak akan kembali, malam ini.

“Riki….”

“Riki… itu nama ‘lo ‘kan?”

“I–iya… tapi, tiba-tiba?”

“Emang kenapa, ngga boleh gue panggil ‘Riki’?”

“Boleh… panggil gue ‘Riki’ terus, ya.”

“Uhm, Riki….”

“Ki… Riki… Riki.”

“Riki.”

Jarak sejengkal barangkali, waktu Ni-ki dapat tepukan di wajahnya dan Jay tepat di depan mata, lalu celingukan dan tubuhnya bersandar di dinding, masih duduk di tangga.

“Jam berapa…?” ujarnya seraya tegakkan tubuh.

“Hampir jam satu, kenapa lo duduk disini sih, udah tau dingin?!” kesal Jay, tepuk tekukan lutut Ni-ki, marah dikit.

Grab!

“Ah — ”

“Tangan sama muka lo dingin banget, ‘kan? bisa-bisanya malah ketiduran disini, bukannya masuk!”

Kedua tangan Jay meraih kedua tangan Ni-ki buat dibawa tangkup wajah yang lebih muda. Sesaat Ni-ki diam, belum sempurna pahami situasi.

“Lo pulang?” namun kemudian bertanya, raut polosnya entah kenapa membuat Ni-ki tampak imut.

“Uhm, gue pulang,” kata Jay.

“Dingin banget disini, ayo masuk, nanti gue buatin teh,” ucap Jay, merain telapak tangan Ni-ki, digenggamnya erat, ditariknya bangkit, berjalan naik menuju unit apart Jay.

Ni-ki malah termenung menatap tautan tangannya dengan Jay, erat, terasa hangat, lalu tiba-tiba Ni-ki ingat satu hal.

“Jay.”

Ditariknya tangan Jay, buat anak itu berhenti berjalan, berbalik menghadap Ni-ki.

“Uhm?”

“Lo keliatan baik-baik aja.”

Lalu Jay tersenyum, lega rasanya kalau dia bahkan terlihat begitu, soalnya, meski berat, tapi entah kenapa Jay merasa lega, seperti terbebas dari cekikan yang hampir membunuhnya.

“Lo mau gue gak baik-baik aja?”

Ni-ki menggeleng.

“Nah, Riki.”

“Lo bilang gue harus milih diri gue sendiri, gue pergi ketemu Heeseung untuk yang terakhir kali.”

“Dan gue udah milih, Riki, bersama siapa gue merasa jauh lebih baik, dan gue udah mastiin ini.”

Brugh!

Suara dekap itu menuhi lorong, rasa dingin seakan pelan-pelan mencair karena kehangatan yang kerasa dari dada merembet ke seluruh tubuh, pun karena Jay yang erat-erat merengkuh.

“Gue gak mau lo merasakan sakit yang gue rasain selama ini, gue mau lo juga merasakan kebahagiaan yang gue rasain karena lo, gue mau mencintai lo, Riki.”

Barulah saat itu tubub Ni-ki bereaksi, kedua tangannya reflek menarik Jay lebih rapat, mendekap lebih erat, balas rengkuh lamat-lamat, merasakan betapa nyatanya eksistensi Jay dalam peluknya saat ini, begitu juga dengan setiap kata yang Jay ungkapkan padanya.

“Tapi karena lo bilang lo yang ngga akan pernah kembali, — ”

Ni-ki membawa Jay pada sebuah ciuman demi membungkam Jay, membuat semuanya berhenti untuk sejenak, sebab Ni-ki kehilangan cara untuk bicara, semua kata berhamburan di dalam pikirnya, lewat ciuman itu Ni-ki sampaikan perasaannya.

“Okaeri, Jay.”

Maka hanya itu yang bisa Ni-ki katakan, sambut Jay kembali setelah selesaikan perangnya dengan Lee Heeseung.

“Uhm, Tadaima, Riki.”

Dan akhirnya bukan Jay yang menyambut Ni-ki yang gak pernah kembali, tapi Ni-ki yang menyambut Jay pulang.

(( tamat ))

demonycal property.

--

--

No responses yet