— Takdir bukan sebuah Kebetulan.
jungwon gak pernah tau kalau semesta justru berpihak padanya saat dengan bangga seorang dokter mengatakan kalau jay sedang mengandung, setidaknya dengan jelas bahwa dialah yang bertanggung jawab penuh atas kenyataan luar biasa ini.
pembuktian boleh pembuktian, yang mereka bagi cuma kasih, memasrah segalanya pada Takdir dan jay sendiri gak menyangka tingkah impulsifnya benar-benar memberi hasil yang nyata, kini dalam rahimnya tumbuh dan akan terus berkembang janin miliknya, dengan jungwon.
segila-gilanya hidup, baru kali ini jungwon linglung sampai hampir nabrak pintu kaca rumah sakit saking gak menyangka kalau dia berhasil membuat jay hamil, tapi ada satu hal yang mereka bagi di beberapa malam sebelum tidur.
lee heeseung.
pria yang berhasil mereka hindari sepanjang beberapa bulan berlalu dan kini berdiri kaku di depan jay dan jungwon, di luasnya lobby rumah sakit, lee heeseung seperti merasakan dunianya berhenti saat yang ia temui tanpa diduga nyatanya adalah jay, adik tirinya yang selama ini menghilang, entah kemana, ketemu-ketemu sudah bersama laki-laki yang dulu heeseung larang jay untuk bersamanya, yang jungwon.
“abang sakit, ya?”
“sedikit.”
taman rumah sakit jadi saksi, bertemunya heeseung dengan jay, kembali setelah sekian bulan terlewati sendiri-sendiri.
“adek kenapa ada disini, adek sakit?”
“ah, itu…” jay tersenyum canggung, menunduk menatap tautan tangannya di atas pangkuan.
jungwon ada bersama anak-anak yang lagi main di sisi taman yang lain, mantau jay dari jauh, sekaligus memberi ruang untuk heeseung, sudah cukup lama mereka saling menghakimi diri, setidaknya, harus ada penyelesaian dari cerita yang mereka mulai.
“abang sakit apa?”
“sakit kepala, biasa.”
“harus ke rumah sakit, berarti nggak biasa.”
asing banget, demi apapun.
“iya.” kata heeseung.
matanya gak putus pandang jay, pun jay yang sendu sepasang netranya, berikan atensi penuh pada heeseung yang jauh dari kata biasa, tubuhnya lebih kurus, sepertinya gak keurus, rambut pun jay yakin acak-acakan di balik binnie itu hitam itu.
“cepat sembuh, abang.”
“adek juga, sehat-sehat ya.”
kebungkaman jay dibalas heeseung dengan sebuah anggukan, terkekeh dia kemudian, “kamu hamil, ‘kan?” tanyanya.
dan hening masih merengkuh nyata, tanpa kata menjawab tanya heeseung dengan iya, pastinya.
“abang bersyukur abang nggak gila walau agak depresi sedikit, kata dokter.”
“mungkin kalau malam itu kamu nggak pergi, hidup kita sekarang juga beda.”
“abang….” lirih jay dengan sepasang mata jamak makna.
“tapi abang lebih bersyukur kamu baik-baik aja, jauh lebih baik daripada ekspektasi abang kalau kita bisa sama-sama.”
sejujurnya sakit kepala heeseung terasa jelas, sebab mengulik lagi semua luka yang sedang coba dia tutup dengan berpikir positive dan hidup lebih baik, tapi kali ini, mungkin untuk terakhir kali heeseung akan membahas perihal ceritanya dengan jay yang sudah di ujung usai;
“abang minta maaf karena abang egois dan serakah.”
jay menggeleng, air matanya jatuh kala tertunduk refleksitasnya kemudian, heeseung pun sama, biar bagaimanapun, rela nyatanya memang tak semudah kata.
“adek minta maaf karena adek gak lebih tegas dan biarin abang egois, serakah dan lepas kendali, waktu itu.”
walau gemetar hebat terasa, jay menautkan tangannya dengan milik heeseung di atas meja keramik yang dingin itu.
“kita mungkin punya cinta, tapi gak semua cinta selalu tentang hidup bahagia bersama, sampai tua, sampai jadi debu.”
“kadang ada yang diberi cinta untuk nggak bisa menyatu, jawabannya cuma satu, yang diberi cinta bukan orang yang semestinya.”
heeseung melepas senyum saat tertunduk kepalanya, napas dia hela panjang, heeseung menyerah;
heeseung kalah.
lawannya semesta, dia bisa apa?
Bukan saat ini, tapi ketika heeseung dan jay memutuskan sebuah dosa untuk dilakukan sebagai sepasang kakak beradik, saat itulah sesungguhnya mereka telah kehilangan satu sama lain.
mereka telah memilih segala yang terjadi di hari ini, begitu juga untuk hari-hari yang sudah berlalu, Takdir bukanlah sebuah kebetulan, Takdir adalah apa yang ditentukan sendiri, di masa kini.
heeseung benar-benar cuma sakit kepala kok, dia gak akan mati, jadi jangan kasihan.
“abang juga sehat kok, dek.” katanya.
sepasang mata heeseung menatap pada jungwon yang sedang meladeni anak-anak bermain.
“cuma emang sepertinya… jodohmu bukan abang aja.” kata dia.
heeseung menghabiskan puluhan malam tanpa tidur dengan segenap duka yang membasuh lukanya semakin sakit, tapi juga menggebrak dirinya untuk sadar bahwa dia masih boleh sembuh, heeseung selalu boleh mendapatkan maaf dan kesempatan untuk berbenah, untuk dirinya sendiri, kehidupan heeseung masih layak untuk berlanjut, begitu pula dengan jay, dan pilihannya pergi malam itu yang kemudian menyadarkan heeseung kalau, jay ingin hidupnya lebih baik.
“berarti… jodoh abang masih dalam perjalanan.”
“kapan kamu nikah?”
jay menggeleng, “nggak tau,” jawabnya.
“nikahlah, udah hamil gitu.”
jay terkekeh, “masa adek ngelangkahin abang?” tanyanya.
heeseung meringis ngilu, “ngga perlu mikirin itu, abang mau fokus berbenah diri dulu, kamu jauh lebih baik dan sanggup untuk nikah sekarang,” katanya.
sejauh ini, jay cuma bisa berdoa dan bersyukur karena pada akhirnya heeseung tetaplah menjadi abangnya, terlepas dengan bagaimana masa lalu mengantar mereka pada takdir hidup yang mana pernah mereka duga sebelumnya bisa jadi sedemikian rupa hingga heran pun udah gak cukup rasanya.
hari ini heeseung dan jay berdamai dengan diri sendiri; memaafkan dan mengampuni segala salah dalam diri, mengajak kembali pribadi mereka, berkata dengan segenap otentikasi bahwa mereka bisa kembali percaya.
memaafkan luka, mengasihi duka dan berterima kasih pada betapa hebatnya mereka masih bertahan setelah sekian masa-masa sulit berpatah hati, arah dan asa.
“ngga ada batas untuk saling mencintai, mulai sekarang berbahagialah, jay, jalani hidup yang mengasihi dan mencintai kamu.”
hormat terakhir heeseung kepada setiap luka yang bersarang dihatinya, biarlah mereka membekas disana memberinya ingatan bahwa heeseung pernah jadi sehebat ini melawan segala rasa sakit, dan menjadi dirinya yang lebih kuat.
tentunya, lebih bijaksana, gak egois dan serakah lagi.
“abang juga ya, ayo kita hidup lebih baik, selalu ada pilihan-pilihan untuk masa depan kita lebih tertata.”
“adek sayang abang.”
“abang selalu, paling sayang adek.”
— selesai.
demonycal property.