Hinandra
3 min readJun 3, 2023

sandra–wilma; badai kita harus reda.

“wilma!”

teriakan itu bikin empunya nama berjengit, karena sandra pasti marah, ditambah wilma bohong soal nugas, nyatanya dia baru aja grasak-grusuk ngelap muka yang basah.

“mbak—”

“jelasin!”

wilma ngulum bibir, bingung mau jelasin apa, dia lagi sedih, tapi sandra marah. marah karena wilma sedih dan sendirian, gak biarin orang tau perasaannya sakit.

“kenapa diem aja?!”

“jangan bentak-bentak…”

“jangan nunduk, liat mata mbak kalau bicara!”

“jangan bentak, mbak… jangan marah…”

“kenapa gak boleh marah?”

“mbak—”

“sementara kamu boleh simpan semua sedihmu sendirian?”

wilma terdiam.

sandra dan amukannya gak jauh-jauh dari gimana wilma menyimpan kesakitannya, tanpa mau berbagi padahal sandra yang mau, sandra yang minta.

“apa sesulit itu buat percaya sama mbak?”

“mbak, ngga gitu…”

“lantas gimana, wilma?”

nada suara sandra memelan, menekan, menyiratkan kecewa dan kesedihan, dibalik ketegasan amarah yang dia suarakan sebagai bentuk dari betapa sandra percayakan segalanya pada wilma termasuk murkanya.

“apa harus selalu hilmi yang ngadu ke mbak soal kamu yang dinakalin orang dan kamu malah diem aja?”

“iya, wilma?”

“jawab!”

“nggak, mbak, nggak!”

wilma jatuh, lututnya ngebentur lantai kost yang keras, beberapa orang terdengar rusuh, pasti kepo dan kemudian brak!

sandra menutup pintu kamar kost wilma dengan kerasnya.

“mereka bilang aku ini l*nte!”

“mereka bilang aku ngga tau diri, mbak!”

“semua yang aku punya ini dibilang hasil dari aku jual diri.”

“bahkan ke mbak!”

“aku marah, aku sedih, dan aku kecewa, tapi aku bingung, aku takut, mbak!”

“semakin aku ladenin omongan mereka dengan amarahku, semakin mereka seneng dan gak berhenti ngejek aku!”

“mbak…”

sandra ngehela napas dan senyum kecil, berlutut di depan wilma buat ngehapus air mata si cantik lalu ditarik ke dalam pelukan erat.

“itu yang mau mbak dengar dari kamu.”

“jangan ditahan sendirian, nanti kamu bisa sakit.”

“dan memang, berbagi itu juga bikin mbak sakit, tapi lihat, kita sama-sama, ‘kan?”

“mbak…”

“apapun itu, ada mbak disini, wilma.”

“biarin mbak tau segalanya.”

“kasih tau mbak segala macam hal seperti mbak yang selalu berbagi sama wilma, semuanya.”

wilma balas memeluk erat sandra, menyandarkan kepalanya di bahu si mbak dan nyedot ingus sambil sesenggukkan.

seharusnya wilma bisa nurut buat ngehargai keterbukaan sandra.

“siapa yang bilang gitu soal kamu?”

“nia.”

“jangan temenan sama dia dan gengnya.”

“ngga kok.”

“besok ngampus?”

“ngga, mau tidur.”

“bolos?”

“ngga, libur.”

“mau ditemenin?”

“seharian?”

“iya, mau?”

“mbak ngga ngampus?”

“ngga.”

“libur?”

“bolos.”

“jangan!”

“biarin, sekali-kali ajalah.”

sandra mengusap lembut punggung wilma seraya menjatuhkan ciuman demi ciuman sayang di pelipis wilma yang masih bersandar padanya.

“maafin mbak yang marah-marah tadi.”

“maafin wilma juga yang ngga cerita ke mbak, jadinya mbak marah tadi.”

sandra terkekeh, denger balasan si adek yang terdengar bindeng, wajahnya merah, ujung hidungnya apalagi, diciumnya bibir wilma lamat untuk beberapa saat.

lalu berbagi tautan pandang, senyum kecil dan ciuman lainnya yang lebih panjang.

“I love you means I will hear everything you tell me, no matter what it is."

wilma mengangguk, menjatuhkan kecupan kupu-kupu di pipi sandra.

"I love you means I will tell you everything, no matter what it is."

sebuah pelukan erat kembali bertaut, hela napas lega terdengar bersambut.

“i love you, wilma.”

“i love you too, mbak sandra.”

—selesai.

No responses yet