Menang — End.
Gak menyangka semua yang diajarin Heeseung bakal beneran Jay temui secara langsung di kejuaraan yang dia tunggu-tunggu. Perihal pernafasan, perihal tekad, pendirian, bahkan soal menahan marah untuk mengumpulkan lebih banyak energi pun benar-benar membuat Jay melakukan semuanya dengan mudah sampai akhir.
Ucapan selamat terus membanjiri Jay dari semua orang yang menemuinya, temen-temen yang mendukung Jay dan semua warga sekolah yang datang meramaikan, Guru-guru dan Kepala sekolah juga mengapresiasi keberhasilan Jay meraih medali emas yang dia idamkan. Benar-benar hari yang berat tapi menyenangkan. Cape tapi seru.
“Terimakasih sudah berjuang, Park Jongseong, kami perwakilan Sekolah benar-benar bangga dan merasa beruntung memiliki anak emas seperti kamu, semoga keberhasilan mu ini memberi semangat lebih untuk Junior-junior mu yang tahun depan akan bertanding, kalau tidak keberatan juga kami mohon bimbingannya, supaya Sekolah bisa terus menciptakan Atlet-atlet yang berkompetensi tinggi seperti kamu.” Ucap Kepala Sekolah dengan begitu bangga dan antusias. Saking bangganya kayanya, tadi Jay balik dari Kejuaraan kembali ke sekolah naik mobil pribadinya Pak Kepala Sekolah bersama dengan Heeseung.
Oh, ngomong-ngomong soal Heeseung, sesampainya di sekolah mereka berpisah, Jay dipanggil Kepsek, jadi gak tau Heeseung dimana sekarang.
“Saya juga berterimakasih banyak karena Bapak secara langsung membantu saya buat bujuk Kak Heeseung supaya mau melatih saya. Keberhasilan ini sebagian besar berkat arahan dari Kak Heeseung,” jelas Jay dengan semangat, tiba-tiba hatinya berbunga-bunga saat bicarakan soal Heeseung.
“Yaaa, walau caranya melatih juga bisa dibilang cukup unik, tapi semua yang saya pelajari selama bersama Kak Heeseung benar-benar berguna sampai akhir, saya persembahkan Medali ini untuk Sekolah, sekarang saya bisa melanjutkan tahun terakhir saya disini dengan bangga dan tenang.” Imbuh Jay sekali lagi, disambut senyum senang dari Pak Kepala Sekolah.
“Anu, Jay,” ucap Beliau.
“Iya, Pak?” sahut Jay penasaran, gelagat Pak Kepsek agak sus.
“Sebenarnya Heeseung itu anak saya.”
“Eh?”
Plot twist macam apa ini?
“Karena itu saya bisa langsung minta tolong Heeseung untuk melatih kamu. Kebetulan anak itu Senior yang ada di ranah yang sama, keyakinan saya ternyata memang tepat, terimakasih juga, karena melatih kamu, Heeseung jadi lebih banyak bersosialisasi dengan orang lain.” Ucap Pak Kepala Sekolah menjelaskan.
Buset!?? ini apa maksud — tiba-tiba langsung berasa lagi ngobrol sama calon Ayah mertua.
“A… anu… iya, hehehe, saya gak nyangka kalau ternyata Bapak ayahnya Kak Heeseung, saya juga senang bisa kenal Kak Heeseung, terlepas dari sikapnya yang agak dingin, sebenarnya Kak Heeseung cukup baik hati, saya dapat banyak ceramah yang membuka mata saya supaya bisa Berenang dengan bebas tanpa beban,” balas Jay agak canggung, malu banget. Ngomong-ngomong, pantes waktu itu Guru Jay bebasin Jay buat ketemu Heeseung, ternyata, selain karena emang Alumni pentolan, Heeseung juga anaknya Kepala Sekolah.
Sungguh plot twist yang mengagumkan, bisa-bisanya Heeseung gak cerita apa-apa soal kebenaran ini. Jay juga gak sadar apa-apa soalnya menurut sifat Kepsek sama Heeseung gak keliatan kayak Ayah anak.
Memikirkan itu, sampai Jay gak sadar tau-tau udah di gymnasium.
Sisa beberapa bulan sampai Jay lulus.
“Kak Heeseung!” seru Jay reflek waktu liat Heeseung di ujung kolam renang lagi bengong.
“Kak!” serunya sekali lagi, lalu berlari hampiri Heeseung, senyumnya reflek gak bisa kendur, binar matanya menyiratkan seberapa berbunga hati Jay.
“Kemana aja dari tadi?” ujar Jay ramah.
“Makan sama staff yang lain, terus kesini, kamu udah selesai ngobrol sama Kepsek?” ucap Heeseung diakhiri tanya, sambil melipir buat duduk di pinggir, bersebelahan sama Jay.
“Udah,” jawab yang lebih muda. Senyum terus kayak gak punya beban hidup. Tapi jujur Heeseung seneng banget, bangga sama Jay bikin dia bangga juga sama dirinya sendiri. Gak ada yang salah dengan keputusan melatih Jay, ini juga bikin Heeseung ngembangin kompetensi dirinya sendiri, ternyata sudah cukup layak untuk melatih orang lain.
“Dikasih apa sama Pak Kepsek?”
“Dikasih izin.”
“Izin?”
“Uhm, izin untuk memacari anaknya.”
Deg!
Heeseung langsung membeku, dengar riangnya jawaban Jay.
“Maksud — kamu udah tau kalau dia ayah saya?” tanya Heeseung kemudian.
“Uhum! Belau sendiri yang bilang.”
“Bilang kalau saya ini anaknya?”
Jay ngangguk.
“Bilang kalau sebenarnya Kak Heeseung juga suka sama saya.” Ucap Jay, percaya diri banget, efek positif vibes yang memancar megah sepanjang hari ini masih ada, bahkan jadi lebih cemerlang setelah ngobrol hangat dengan calon mertua. Ekhem!
“Terlalu percaya diri juga gak baik.”
“Eh? emangnya Kakak nggak suka sama saya?”
Heeseung mendapat tatapan yang sangat menggemaskan, sedih banget kenapa Jay cepat sekali runtuh emosinya.
“Suka.” Ucapnya sambil buang muka.
“Kalau suka bilangnya sambil liat saya dong harusnya?” ujar Jay mengkoreksi.
“Mungkin besok saya bakal malu banget sampai takut ngeliat muka Kakak, tapi saya gak mau menunda-nunda lagi, setelah Kejuaraan saya janji untuk ungkapin perasaan saya, saya harus — ” Cup!
Angin mendadak berhembus dramatis, begitu Heeseung menoleh dan bibir mereka bertemu, lagi. Setelah sekian lama. Tubuh Jay terdorong ke belakang, disusul rengkuhan hangat lengan Heeseung di pinggang, juga ciuman yang lembut dan membuat jantung berdebar semakin rusuh.
“Saya suka kamu, Jay.”
Masih terlalu dekat, Jay belum siapkan kata-kata untuk membalas, Heeseung kembali maju untuk mengambil ciuman berikutnya, bersama lumatan-lumatan lembut yang membuat Jay terlena, berakhir bersandar nyaman dengan lengan Heeseung sebagai bantalan kepalanya.
“Saya suka kamu, suka sekali.”
Sambil ditatap seintens itu, hati siapa yang gak ingin meledak? Jay yang tadi ngegas sekarang diam gak berkutik.
“Saya sedikit takut — ah, banyak sebenarnya. Karena latihan udah selesai, kejuaraan juga udah rampung, setelah ini kita gak akan ketemu lagi, saya gak akan bisa gangguin kamu lagi lewat latihan-latihan kita, saya gak bisa modus cium kamu lagi, saya gak bisa liat senyum kamu lagi, saya — ”
“Saya juga suka Kak Heeseung!” potong Jay sedikit tantrum, wajah semerah tomat, rasanya panas, jantung hampir copot saking ngebutnya.
Grab!
“Kita harus ketemu terus! kalau enggak, nanti saya kangen, saya nangis nih!” ucap Jay, tantrum beneran, menggebrak bahu Heeseung yang banyak insecure nya itu.
Heeseung gemes banget sampai akhirnya cuma bisa ketawa, benturin dahinya di bahu Jay.
“Nangis kaya pertama kali ketemu sama saya di lapangan?”
“Uhm! nanti saya nangis lebih banyak lagi!”
“Jangan.”
“Makanya Kakak harus terus temui saya.”
“Kalau nggak bisa, gimana?”
“Saya yang temui Kakak!”
Kocak. Jantung Heeseung kerja rodi gara-gara Jay gemas sekali.
“Kenapa kamu suka sama saya, Jay?”
“Karena saya gak bisa berhenti mikirin Kakak.”
“Kalau nanti kamu nggak mikirin saya lagi, kamu juga berhenti suka sama saya?”
“Mungkin disaat itu, saya malah udah cinta sama Kakak, jadi gak bisa berhenti suka.”
Heeseung memang gak pinter masalah ginian, makanya semesta pertemukan dia dengan seorang yang polos macam Jay yang gak sadar tau-tau udah bikin luluh hati Heeseung.
“Siapa yang ajarin kamu ngomong begitu?”
“Saya kepikiran aja sendiri, spontan, menurut saya begitu, jadi saya omongin aja sejujurnya.”
Jay memang kelewat apa adanya, baik memang, tapi hati Heeseung kelabakan.
“Kamu mau jadi pacar saya?”
“Mau dong.”
“Semangat banget?”
“Iya ‘kan saya berjiwa ksatria!”
Jadi inget pas awal-awal ketemu di chat.
“Kakak.”
“Iya?”
“Kenapa Kakak suka sama saya?”
“Karena kamu berjiwa ksatria.”
Jay menatap kesal. Masa jawabannya gitu?
Ayolah! ekspektasi Jay udah kemana-mana, tau!
“Jangan bercanda ya!” katanya.
“Justru karena saya orangnya gak suka bercanda, tapi kamu malah bercanda terus sama saya. Jadinya saya suka.”
Merahlah muka Jay, bibirnya dikulum, malunya sampai ubun-ubun. Entah mau bersyukur atau merasa diri nya sangat memalukan, bisa-bisanya juga sih Jay sokap dengan cara seperti itu. Tapi biar gimanapun, Heeseung tetap menerima, Jay lebih memilih untuk bersyukur.
“Selain itu?”
“Karena kamu gigih. Jiwa ksatria mu itu terdengar bercanda tapi aslinya serius, saya tau jelas gimana perasaanmu sejak awal, hati saya tergerak sendiri karena peduli, saya mau kamu berjuang karena kamu ingin bersenang-senang, dulu saya hampir gagal karena terlalu berpaku sama ekspektasi, saya gak mau kamu menderita karena hal yang sama.”
“Saya mau menjadi Pelatih yang bisa dibanggakan sama kamu, saya senang kamu berhasil menang.”
“Kak Heeseung….” ujar Jay dengan lirih, merengek karena terharu dan tersentuh. Hatinya memang lembut macam kembang tahu.
“Good job, Kak Heeseung,” ucap Jay sambil patpat Heeseung. Apresiasi mendadak yang bikin Heeseung hilang akal, tiba-tiba matanya panas.
“Saya juga bangga bisa melatih dan melihat kamu menang, Sayang.”
(( tamat ))
demonycal property.