Hinandra
4 min readApr 7, 2024

Melatih pendirian.

Dua pekan berlalu dan Jay udah melewati empat kali pertemuan dengan Heeseung di rumahnya seperti kesepakatan mereka, dan selama itu pula di setiap pemanasan akan selalu ada 'ciuman' sebagai agenda pemanasan juga untuk melatih pernafasan Jay.

Yang sekarang, di minggu ketiga pertemuan pertama, rasanya Jay mulai gak waras banget buat 'melatih nafas' dengan cara ciuman lagi. Kayak, sudah cukup dua pekan Jay mencoba membiasakan diri, berusaha berpikir kalau 'ciuman' itu memang hanya sebatas pemanasan sebelum latihan, cukup.

"Enggak perlu!" tolak Jay ketika Heeseung siap menciumnya, "anu... maksud saya," ujar Jay gugup begitu Heeseung tatap heran.

Mereka ada di dalam air, kali ini Heeseung shirtless karena hari cukup gerah—entahlah apa hubungannya, pake baju gak pake baju toh tetap basah semua, cowok itu melipat lengan di dada, lalu menanti jawaban Jay atas pandangan penuh tanya darinya.

"Saya rasa pernafasan saya udah cukup bagus, jadi, nggak perlu lagi 'pemanasan' kayak gitu, Kak."

“Yakin?”

“Yakin.”

“Saya yang gak yakin.”

“Hah — ”

Heeseung menekan bahu Jay, turut menenggelamkan anak itu ke dalam air bersama dengan dirinya, menahan Jay yang hendak melepaskan diri, Heeseung menarik pinggang Jay mendekat, mengunci pergerakan anak itu, tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat, Jay yang kaget dan Heeseung yang hanya datar.

Detik berikutnya Heeseung maju dan kembali menciumnya, mencium Jay di dalam air. Ciuman yang kali ini membuat Jay benar-benar kehilangan kewarasan hingga lemas, bukan karena pernafasannya yang buruk, tapi karena Heeseung yang sialan banget isi otaknya, biar apa sih ciuman terus?! Jay gak baik-baik aja tau!

Setiap malam Jay memangkas waktu tidurnya karena memikirkan setiap ciuman dari Heeseung, bertanya-tanya kenapa manusia ini bisa biasa aja cium-ciuman dengannya, lebih dari sekali, dengan alasan pemanasan, apalah! Jay berusaha untuk gak memikirkan Heeseung dan ciuman mereka cuma, betapa susahnya mengendalikan diri sendiri, benar-benar sialan!

Disaat Jay cuma termenung, biarin Heeseung melahap bibirnya, beberapa saat kemudian Heeseung meraih Jay untuk kembali ke permukaan.

“Sekarang saya sudah yakin.”

Nafas Jay masih cukup stabil, walau wajahnya super duper merah dan meraut jengah. Heeseung berujar demikian seakan gak berperasaan.

Jay pernah punya pacar dan gak pernah yang namanya ciuman! Heeseung ngerti gak sih kalau Jay takut baper?!

Jay…. gak mau baper lebih dari ini.

Langit udah gelap waktu latihan mereka selesai, masih ada tiga sesi sebelum kejuaraan. Mereka duduk bersisian di pinggir kolam.

“Saya mau tanya lagi.”

“Soal apa, Kak?”

Heeseung memberikan handuknya untuk kemudian ditumpuk di handuk yang memeluk tubuh Jay, dia naikin kakinya dan duduk bersila menghadap Jay yang menolehkan kepala pada Heeseung, menatap fokus Pelatihnya itu.

“Apa tujuanmu mau ikut Kejuaraan?”

“Sebelum kamu dipilih, pasti ada kandidat lain ‘kan?”

“Mengalahkan mereka aja udah cukup hebat dan kamu melakukan itu demi bisa masuk kejuaraan.”

“Kenapa, Jay?”

Sejenak Jay diam, menatap kolam yang menciptakan gelombang saat ia menarik kakinya keluar untuk ditekuk, lalu dipeluk.

“Sebenarnya… belakangan saya juga berusaha berpikir, kenapa saya rela ngelakuin semua ini?”

“Kenapa, saya mau pergi latihan padahal saya bisa istirahat dan belajar untuk Ujian akhir, tapi demi Kejuaraan, saya rela begadang lebih lama untuk belajar setelah latihan.”

“Saya pernah bilang ini demi mewujudkan ekspektasi orang-orang yang percaya sama saya dan supaya dikenal sebagai sesuatu yang penting untuk sekolah setelah lulus.”

“Kalau dipikir-pikir, itu bukan tujuan, tapi tekanan.” Kata Jay, seraya menoleh dan mendapati Heeseung yang gak putus pandangannya.

“Tekanan yang bikin saya ngelakuin semua ini, dan akhirnya saya bingung setiap Kakak tanya apa tujuan saya ikut Kejuaraan.”

Heeseung gak akan heran, semua sesuai tebakannya, sesuai dengan apa yang dulu Heeseung pikirkan saat di posisi Jay. Hampir sama, dulu Heeseung dituntut untuk sempurna, harus jadi pemenang, naik podium, jadi juara satu. Dan akhirnya, Heeseung menderita.

“Kebingungan itu cuma ada di kepalamu, karena tekanan-tekanan yang ada di sekitarmu, kamu akan melakukan apapun demi ekspektasi mereka jadi nyata, kamu cuma akan ketakutan dan akhirnya gagal.”

Jay paham betul apa kata Heeseung, dia pun sudah memikirkannya, cuma tetep aja setiap malam insecurities nya membuat Jay jadi ambisius gak karuan.

“Berenanglah karena kamu senang, saat kamu senang kamu ngga akan peduli dengan apa yang ada di pikiranmu, kamu cuma akan fokus dengan perasaan-perasaan yang menghidupkan semangatmu.”

Deg!

Waktu sekaan berhenti, waktu Jay melihat tatapan teduh di sepasang mata Heeseung, juga senyum yang membuat jantungnya kembali berdebar. Kali ini Jay terpaku, gak mampu sekedar buang muka.

“Berusahalah sekuat dan sebisamu tanpa menargetkan apapun, kamu manusia biasa, kamu ngga sempurna, keliru dan bercelah itu sudah jadi ciri khas manusia, begitu juga dengan kamu, Jay, kamu ngga harus menjadi sesuatu hanya untuk dikenal, semua pencapaian kamu sampai detik ini saja sudah hebat, sudah keren, kamu sudah cukup.”

Wajah Jay yang baru kering jadi basah lagi karena air matanya rembes tanpa bisa ditahan, rasanya nyesek banget karena Jay merasa telah menyakiti dirinya sendiri karena terus berpegang pada ekspektasi orang-orang yang berputar-putar di kepalanya.

“Jangan nangis.” Kata Heeseung, telapak tangannya terulur menghapus air mata di wajah Jay.

Tatapan mereka kembali bertaut.

“Saya ada salah bicara, ya?”

Waktu tangis Jay semakin deras, Heeseung pikir dirinya kelewatan, jadi merasa bersalah telah ambil posisi sok tau dalam kasus ini, walau Heeseung yakin niatnya baik, ia gak mau Jay menderita demi harapan yang hanya akan memberatkan langkahnya ke depan.

“Jay — ”

Handuk di bahu Jay jatuh begitu Jay melesat cepat membentur lembut bibir Heeseung, ciuman yang Jay ambil tanpa suara, tanpa rencana, tanpa tau harus apa selain terus menangis dan kemudian biarkan Heeseung merengkuhnya lebih dekat, mendekapnya erat, menciumnya dengan lembut.

Kalau semua kecamuk dalam kepala Jay selama ini adalah badai, maka Heeseung hadir untuk merangkai kembali puing-puing dari kehancuran yang ditinggalkan badai itu, Heeseung hadir menghidupkan pelita dalam lumbung rasa milik Jay, mengusir pelik dalam pikirnya dengan peluk, Heeseung hadir dengan senyum tenang dan tatap teduh pertamanya, Jay lega.

— to be continue.

No responses yet