Melatih emosi si Ksatria.
Heeseung sengaja datang tiga jam dari waktu yang dia bilang, dan bahkan waktu dia masih lihat Jay duduk di kursi panjang sambil baca buku, Heeseung malah duduk jauh di belakangnya, ngeliatin Jay yang masih nungguin Heeseung disana sampai semua siswa udah pulang dan itu artinya Jay melewatkan kelas demi nungguin Heeseung.
Beberapa siswa menegur Jay, barangkali mengajaknya pulang bareng, tapi Jay menolak dan kembali duduk, tapi kali ini membanting bukunya ke kursi sebelah dan menghembuskan napas rusuh, sepertinya dia mulai kesal, Heeseung bisa liat ekspresi wajah anak itu karena sekarang Heeseung berdiri di seberang setelah sempat ketemu sama Kepsek.
Langkah Heeseung mendekati Jay, dalam keramaian, mengabaikan anak-anak perempuan yang menyapa dan memekik melihat kedatangannya, kedua tangan Heeseung masuk ke dalam saku celananya, berjalan tanpa memutus pandang dari Jay yang menunduk. Mungkin lagi misuh.
Sedikit lagi sampai, Jay membawa pandangannya langsung jatuh pada Heeseung yang seketika berhenti berjalan.
“Nangis?” guman Heeseung, tatapannya datar, tapi tertawa dalam hati. Jay dengan muka merahnya menatap Heeseung, lalu menghela napas.
“Kak Heeseung,” panggil Jay seraya bangkit.
Tapi yang ditunggu sampai hampir tumbuh lumut itu malah duduk, pengen gampar tapi kata Kepsek, Jay harus jaga attitude sama Seniornya ini.
“Duduk.”
Jay nurut, tapi mungkin karna dia kesel dan gak tahan jadi keliatan rusuh, khas orang ngambek.
“Kamu marah sama saya?”
“Engga…. saya…. cuma… kepanasan… hehe, iya,” jawab Jay, diakhiri dengan cengiran palsu.
“Ya udah, pulang aja kamu.” Kata Heeseung.
“Kenapa?!” tanya Jay ngegas.
Kernyitan alis Heeseung seperti sedang menilai tingkah grasak-grusuk Jay.
“Eh! Enggak, maksud saya, kita baru aja ketemu….” katanya lirih di akhir.
Heeseung menatap lapangan yang mulai sepi, semua siswa udah pada pulang, “keadaanmu sepertinya lebih butuh cuci muka dan tidur daripada ngobrol serius sama saya,” katanya.
Dalam hati Jay membatin lirih, ‘ini karena lo datengnya telat, Kak….’ tambah efek dramatis biar mendukung.
Tapi Jay malah menghela napas dan itu bikin Heeseung terkekeh.
“Sana, pulang.”
“Eh, tapi — ”
“Saya gak benar-benar mau bicara sama kamu, saya cuma mau menguji emosimu dengan datang telat, kalau kamu gak tunggu saya, berarti kamu gak sebegitu semangat untuk belajar sama saya.”
Deg.
Seketika Jay melongo, Heeseung gak memandangnya saat bicara dengan suara tenang dan tatapan mata teduh yang sialnya kurang ajar banget gila-gilaan membuat jantung Jay bereaksi sampai melongonya bikin Heeseung berpikir dirinya diabaikan atau malah Jaynya udah ngibrit pulang.
Tangan Heeseung melambai di depan wajah bloon Jay, “Park Jongseong,” ujarnya menyadarkan Jay dari ngebugnya, anak itu menoleh dengan dramatis menatap Heeseung membuat sang Senior terdiam.
“Park Jongseong?”
Heeseung jadi bingung, “iya, itu nama kamu ‘kan?” tanyanya.
Jay buang muka, tapi kemudian mengangguk.
“Maaf,” katanya tanpa konteks yang bisa dipahami Heeseung.
“Untuk?” tanyanya kemudian.
“Untuk nanti, saya yakin Kakak bakal kesulitan ngajarin saya.”
“Nanti saya berhenti kalau memang sulit.”
“Eh, jangan dong….”
Heeseung mundurin kepalanya waktu Jay menoleh dan seperti mau membenturkan wajahnya ke Heeseung.
Jay yang liat itu langsung mundur dan bergeser biar jauh sama Heeseung duduknya mojok-mojok kayak orang musuhan.
“Kamu bolos jam pelajaran ke-tujuh sampai sembilan.”
“Saya udah izin.”
“Diizinin?”
Jay dengan loss mengangguk, “tadinya saya kena marah, tapi waktu saya sebut Lee Heeseung, entah kenapa Guru saya langsung ngusir saya suruh tunggu Kakak, sebenarnya saya bingung dan penasaran kenapa bisa begitu, tapi baguslah saya bisa tungguin Kakak disini.”
“Jadi, kakak mau ngga jadi pelatih saya?”
Jay menoleh, tatapannya penuh harap
“Kenapa kamu kaya lagi nembak saya?”
“Eh? Kakak mau jadi pacar saya?”
“Boleh.”
“Hah?”
Jay yang tadinya cengar-cengir langsung noleh dan kaget, dengan wajah bloon dia menatap Heeseung, matanya berkedip-kedip dengan raut bingung.
Heeseung menghela napas, lalu bangkit.
“Saya mau.” Katanya.
Jay ikut bangkit dan menatap punggung Heeseung.
“JADI PACAR SAYA?!”
“Pelatih.”
Muka Jay langsung merah sempurna begitu Heeseung berbalik dan rautnya masih datar sementara Jay udah kaya kepiting rebus, gak adil banget bercanda begini tapi cuma Jay yang seriusan salting.
Bodoh.
“Kita latihan tiga kali dalam seminggu, di rumah saya.”
Setelahnya, tanpa menanti reaksi Jay, Heeseung berlalu dengan jalannya keren, menjauh dari Jay yang jatuh bersimpuh di lantai lapangan dan gebukin kursi besi yang menumpu tubuhnya.
“Ta-kut… ba-nget… huh… mama….”