Kiran terbangun di siang hari, tubuhnya udah bersih dan dibalut bajunya Evan. Evannya gak ada, sepertinya sudah pergi untuk check sound. Kiran gak mau memikirkan apa yang dikatakan Evan pada semua orang karena dia absen hari ini.
Kamar Evan besar banget, Kiran sendirian disini, tiba-tiba kepikiran kalo Evan udah biasa sama keadaan seperti ini, atau lebih tepatnya terpaksa terbiasa karena keadaan.
“Tcih!” decih kesalnya sendiri waktu sadar kalo dia mikirin Evan. Lalu Kiran menggulung dirinya dengan selimut dan mengambil nafas panjang lalu semakin merapat pada pelukan kain tebal yang menghangatkannya.
Ada aroma Evan disana.
Untuk beberapa saat Kiran bermalas-malasan sampai perutnya berbunyi, mau gak mau Kiran bangkit dan menyeret langkah pincangnya menuju dapur, tapi matanya menangkap sesuatu yang mencolok di kabinet, sebuah kotak hijau dengan pita, hadiah.
Terus ada tulisan tangan Evan, isinya, “Sorry i can’t give you the gift in person, but happy birthday, please take care of your health... Ayah…” dibaca Kiran dengan nada baper di akhir.
Udah Kiran duga kalo sebenarnya si Evan itu gak sepenuhnya bohong, gak sepenuhnya menggunakan kesedihannya sebagai bagian dari jebakan semalam, itu bajingan emang sedih beneran. Kiran bilang mudah untuk tau Evan bohong atau enggak dan jangan ragukan Kiran, si Evan emang manipulatif tapi Kiran yakin matanya gak akan pernah bisa bohong.
Pun dengan air mata Evan yang jatuh di pipinya semalam.
“Majikan bodoh.” Hardik Kiran seraya meletakkan kembali hadiah itu ke tempatnya semula.
Pukul empat sore Evan pulang, Kiran sudah bersiap dengan pakaian Evan yang bisa dia pakai. Membuat Evan kaget waktu Kiran dan tas yang biasa dibawa bekerja udah rapi di ruang tengah.
“Lo udah ngga sakit?” ujar Evan seraya mendekati Kiran tapi ditahan.
“Mandi sana ‘lo bau matahari,” ucap Kiran cuek.
Evan memble, sedih banget ditolak, tapi dia beneran gak nyentuh Kiran setelahnya, soalnya udah wangiy banget Kiran, takut ternoda sama bau mataharinya Evan.
“Lo di rumah aja, Kiran,” kata Evan.
“Ngga, gue mau kerja.” Kata Kiran.
“Lo udah makan?” tanya Kiran.
“Udah.” Jawab Evan.
Suasananya kaya biasa-biasa aja, Evan jadi degdegan.
Kiran apa gak mau ngamuk gitu?
“Mau makan lagi?”
“Ngga, minum aja yang seger,” kata Evan.
“Okay,” ucap Kiran, pergi ke dapur bikin minum.
Evan pun ngintil.
“Kiran, Kiran,” panggilnya sambil tarik-tarik ujung baju Kiran.
“Kenapa masih disini?” ujar Kiran gak ngalih atensi ke Evan.
“Ki — ”
“Mandi, Evan.”
“Tapi — ”
“Mandi.”
“Okay.” Evan pasrah, menyeret langkah ke kamar dan mandi sambil mikirin Kiran.
Dia udah memperhitungkan risikonya dari sudut pandang Kiran, yang paling Evan takutin adalah Kiran yang mengundurkan diri.
Dua puluh menit kemudian Evan kembali, udah ganteng, udah wangi.
“Kiran!” serunya sambil berlari, udah gak kuat overthinking sendiri dan akhirnya menerjang Kiran dengan pelukan erat.
Kiran tenggelam dalam rengkuhan juga rengekan gak jelas Evan.
“Kiran….”
“Gausah dibahas.” Kata Kiran, pelukan dilepas.
“Tapi kalo lo ikut nanti ketemu sama Jun — ”
“Ya terus kenapa?” tanya Kiran, gak natap Evan.
“Semua ini rencana gue, biar gue yang urus.” Kata Evan.
“Iya terserah, tapi gue juga punya hubungan gue sendiri sama Juna, jadi lo urus aja urusan lo itu, gue bakal urus diri gue sendiri,” kata Kiran dengan nada yang sanggup membuat Evan diam.
“Tapi gue gak akan lepas pantau kalian,” kata Evan mutlak.
“Uhm, iya-iya,” kata Kiran.
Manggung kali ini penuh kemurkaan. Leader Enhypen plus drummer alias Juna bermain dengan sangat barbar dan ngamuk banget walau itu justru membuat penggemarnya pada jejeritan, melihat tatapan Juna seperti siap membunuh dengan hanya memandang itu bikin kaum hawa blingsatan, ingin dihamili.
Tetap saja Kiran tau betul apa sebab Juna menjadi bengis dan sangat menakutkan di manggung kali ini. Begitu turun pun saat yang lain pada dadah-dadah ke penonton, Juna gak mengubah ekspresinya sampai harus di bantu Shion untuk gerakin tangannya.
Kiran yang liat itu akhirnya melipir kembali ke backstage, menyusul kepergian Juna yang jelas mau menyendiri bersama rokoknya.
Juna pergi ke tempat paling sepi di belakang barisan tenda backstage. Ngerokok dan bengong. Sampai datanglah Kiran yang berdiri di belakang Juna.
“Juna.”
Dan menoleh si empunya nama, “Kak Kiran?” gumamnya.
“Boleh duduk sebentar nggak?” tanya Kiran, mencoba tetap tenang.
“Silakan,” kata Juna.
Kiran mengambil jarak beberapa jengkal, mereka duduk di anak tangga paling atas menghadap pemandangan kota dengan cahayanya yang masih sibuk.
Juna sendiri udah paham esensi kedatangan Kiran, milih buat mulai duluan.
“Gue ngga tau kalo hubungan kalian ternyata udah sejauh itu.” Katanya.
Kiran tersentak, gak sanggup menoleh, dia malah menunduk.
“Bahkan lebih jauh dari yang gue bayangin,” kata Juna lagi.
“Gue ngerti kenapa ‘lo gak coba jelasin ke gue tentang itu, tapi saat lo bilang kalo lo gak ada hubungan lebih dari sebatas kerja sama Mas Evan itu rasanya kaya lo ngasih gue harapan, Kak.”
“Yang entah kenapa lo biarin gue untuk ngebuat harapan itu jadi besar banget, entah lo sebenarnya ngerti atau nggak sama perasaan gue, tapi Mas Evan jelas gak akan biarin gue berhasil dapetin ‘lo.”
“Juna….” Lirih Kiran gak kuasa.
“Uhm, sekarang gue paham,” kata Juna, “hubungan kalian udah di tingkat yang lebih jauh daripada yang bisa gue ngerti, makanya kalian gak nunjukin apa-apa, atau mungkin itu cara kalian sendiri sebagai orang dewasa,” katanya.
“Nggak perlu disesali, Kak.”
“Tapi — ”
“Lo mau nggak ngelakuin ‘itu’ juga sama gue?”
Diserang dengan pertanyaan itu, Kiran bungkam, jelas, bagaimana mungkin Kiran bisa?
“Lo… nggak bisa, ‘kan?”
Raut dingin dan tegas Juna menghilang, kesedihan kembali menguasai dirinya, Kiran berhenti bicara, mengangguk sebagai jawabannya.
“Ya udah, Kak, terimakasih banyak untuk semua waktunya selama ini.”
Kiran sampai di titik akhir.
Sekarang giliran dia yang bicara.
“Juna.”
Empunya nama pun menoleh berkat betapa serius suara dan tatapan Kiran.
“Gue minta maaf kalau kebersamaan kita selama ini membuat ‘lo akhirnya merasa terluka. Gue memang nyaman sama ‘lo, lo anak yang baik, bahkan Evan pun sering muji ‘lo di depan gue.”
“Tapi, maaf sekali lagi, tanpa perbuatan Evan kemarin pun, gue nggak bisa jadi pacar ‘lo, Juna.”
Dan tersentak Juna dibuatnya, “kenapa?” tanyanya reflek.
“Karena memang itu yang gue pilih.” Jawab Kiran.
“Karena Mas Evan orang yang ‘lo pilih?” ujar Juna dengan tatapan penuh luka.
Kiran mau mengelak lagi seperti sebelumnya, Kiran mau bilang kalo hubungannya dengan Evan gak akan jadi ‘seperti itu’ sebab bisnis adalah bisnis tapi kali ini Kiran diam sebagai jawaban. Belum memastikan ini ‘iya’ tapi juga paham betul kalau jawabannya bukan ‘tidak.’
“Terimakasih, Kak Kiran.”
“Walaupun sedih banget tapi gue tau gue ditolak dengan jelas dan pasti, itu udah cukup.”
“Gue gak menyesal sedikitpun karena suka sama ‘lo, gue juga mungkin masih akan tetap suka sama lo untuk beberapa waktu ke depan, gapapa, ya?”
Kiran sontak mengangguk kecil, “lo boleh tetep suka sama gue selama yang ‘lo mau, Juna,” katanya.
Kemudian, Juna pamit duluan kembali ke backstage, Kiran berdiri di titik yang sama seraya melepaskan segala sesak di dada bersama hela nafas panjangnya.
Kiran tau dari tadi ada Evan yang mengintip dari balik tenda, sebenarnya Kiran mau nangis mau ketawa mengingat apa yang terjadi kemarin plus saat Juna melihat penyatuan mereka. Tapi, di sisi lain, Kiran terpikirkan seberapa besar Evan menginginkan dirinya untuk tetap berada dekat dengan si Majikan bodoh itu.
“Oiy, Evan!” ucap Kiran tanpa berbalik.
“Sampai kapan lo mau ngintip disitu?” tanya Kiran sekali lagi.
Lalu munculah Evan dengan raut badmood.
“Gue udah bilang ‘kan? gue gak akan kemana-mana sebelum kutukan ‘lo itu sembuh.”
Sekarang, Kiran sukses membuat Evan semakin diperbudak oleh ‘kutukan’ nya sendiri sebab Evan gak ingin Kiran pergi, Evan gak mau Kiran berhenti berada di sisinya.
Tapi aneh banget rasanya kalau berdoa supaya ‘kutukan’ ini tetap membelenggu dirinya demi mempertahankan keberadaan Kiran.
Tapi sudahlah, lagi-lagi Evan cuma bisa berpikir kalau yang penting adalah sekarang Kiran masih dan akan tetap bersamanya, itu semua sudah cukup.
selesai.
demonycal property.