Latihan terakhir.
Selepasnya Jay jadi gigih, latihan lebih semangat, lebih tangkas dan berambisi dari sebelumnya, tapi senyumnya lebih banyak, lebih lebar, lebih berwarna dari sebelumnya.
Dua latihan terakhir berlangsung di gymnasium sekolah, di kolam renang setiap petang. Terhitung sudah dia pekan sejak malam dimana Jay menciumnya, jujur Heeseung merasa rindu anak itu, sebab betapa semangatnya Jay berlatih sampai mengabaikan Heeseung padahal Heeseung adalah pelatihnya. Tapi di sisi lainnya, Heeseung senang asal Jay senang. Walau dia rindu mencium Jay juga, mengingat sebentar lagi tugas Heeseung selesai, rasanya sedikit sedih harus berpisah dengan Jay.
“Kamu suka ya sama Jay?”
Heeseung yang sedang perhatikan Jay di menit-menit terkahir jam latihan terkesiap mendengar suara yang muncul tepat di sebelah telinganya, dan Kepala Sekolah sedang tersenyum menyebalkan padanya.
“Apa alasan Anda berpikir saya suka anak itu?”
“Kamu liatin dia dengan raut sedih begitu, kamu ngga mau pisah sama dia ‘kan?”
Kepsek dengan kumis tebal itu terdengar sangat meledek, walau benar tebakannya.
“Tembak lah nanti setelah kejuaraan, jadikan dia pacar.” Kata Kepsek kemudian.
Heeseung gak membalas dan cuma menatap datar pada Jay yang sedang mengobrol dengan rekan sesama perenangnya.
“Bersenang-senanglah saat jatuh cinta, Heeseung, kamu juga sudah cukup hebat dalam hal lain sepanjang hidupmu, kalau kamu menemukan seseorang yang bisa membuatmu bahagia, berkencanlah, Ayah selalu mengizinkan.”
Heeseung menatap kerpegian Kepala Sekolah, langkah riang pria paruh baya itu membuat Heeseung mengembangkan senyum. Sebuah kenyataan yang lucu kalau sebenarnya Kepala Sekolah adalah Ayahnya sendiri, sosok yang ikut andil membuat Heeseung menderita di era-nya saat ada di posisi yang sama dengan Jay, dulu.
—
“Kak Heeeeung!”
Heeseung berbalik waktu Jay serukan namanya, tepat di lapangan dimana pertama kali mereka ketemu. Jay tersenyum tengil saat berdiri tepat di hadapannya.
“Saya belum berterimakasih,” kata Jay.
Satu alis Heeseung naik, “untuk apa?” tanyanya.
“Untuk semua, untuk waktu Kakak mau melatih saya.”
“Sebenarnya itu bukan apa-apa, pada dasarnya kamu memang sudah hebat.”
Jay mengangguk, lalu menggeleng, lalu tersenyum, lalu memeluk Heeseung yang membuat empunya membeku.
“Terimakasih sudah bantu saya menemukan tujuan dan menghiraukan semua tekanan, terimakasih sudah melatih saya dengan galak dan keras, hehehehe, terimakasih juga, untuk… ciuman-ciumannya.”
Untuk yang terakhir, Jay terdengar gugup, saat Heeseung hendak mendorong anak itu, Jay mengeratkan pelukannya, ingin tetap sembunyikan rona wajahnya.
“Sebentar lagi, Kak Heeseung, sebentar lagi.” Kata Jay lirih.
Entah apa maksudnya, Heeseung memilih untuk tetap diam dan membawa lengannya memeluk balas Jay, lalu perlahan-lahan senyum terbit diwajah Heeseung.
Malam itu, setelah sekian lama Heeseung mengizinkan dirinya berhubungan kembali dengan romansa, oleh karena pemuda dalam pelukannya, yang entah sejak kapan pastinya dia mampu meluluhkan hati Heeseung yang lama beku.
“Terimakasih kembali, Jongseong.”