Hinandra
6 min readOct 5, 2023

KARMA : You — 🔞.

⚠ // not safe for works, sex without protections, malepregnant, anal sex.

“Ini bukan kesempatan, Co.”

“Ini semua udah harus terjadi. Gue gak punya kuasa untuk ngelawan takdir sekalipun rasanya sulit untuk menerima kalian bersatu.”

“Yang saat ini dan akan selalu jadi prioritas gue cuma kebahagiaan Ares, dan kebetulan salah satu kebahagiaan terbesarnya adalah ‘lo, Marco.”

Jordan menatapnya penuh, sisipkan segala macam emosi tapi kali ini serius tanpa amarah dan sinis yang menggebu.

“Tolong bahagiakan Ares, kalau suatu hari ‘lo ngga bisa lagi mengusahakan itu, jangan bilang ke Ares kalau ‘lo berhenti mencintainya, bilang ke gue, biar gue bawa Ares pulang.”

Enam bulan usia kandungan Ares saat ia menerima ajakan Marco untuk bertinggal di Rumah mereka. Rumah yang Marco jadikan pulang untuk keduanya saat benar-benar yakin bahwa mereka sudah baik-baik saja bersama.

Mungkin belum sempurna sembuh, tapi setidaknya terikat dan berada dekat dengan satu sama lain membuat mereka merasa segalanya lebih baik, dijalani dan dilewati berdua.

Tak ada yang lebih membanggakan bagi Marco saat melihat Ares tersenyum dengan tulus menerima apapun yang Marco mampu usahakan untuknya.

Segala yang Marco mampu berikan untuk Ares yang bersedia bersama dengan Marco seutuhnya.

“Kakak serius mau cuti selama itu?”

Marco mengangguk, merangkul Ares yang sedang memeluk sekaleng biskuit madu.

“Nanti Kakak dapet uang darimana?”

Marco tergelak, menoleh pada raut polos Ares yang menatapnya sedih.

Takut jatuh miskin mungkin ya.

“Nanti kalau Anak aku lahir terus Ayahnya ngga punya uang gimana?”

Melas Ares menuntut jawaban dari Marco yang mati-matian menahan tawa.

“Kamu serius mikir Kakak ngga akan punya uang kalau ngga kerja?”

Ares mengangguk polos, “nanti kalau ngga kerja, Kakak dipecat gimana?”

“Pft—”

“Kok ketawa?!”

Marco mengulurkan tangan menyusul tawa yang lepas, “Sayang, mana ada sih yang berani mecat Presdir?”

“Iyaaa… tapi kalau ngga kerja nanti siapa yang ngatur Perusahaan, nanti kalau malah bangkrut gimana?”

“Et, doanya kok gitu?”

“Enggaaaa, maksudnya aku itu ‘kan bagaimana seandainya gitu looooh!”

Marco yang gemas menarik tengkuk Ares dan mencium bibirnya sekilas, “ada Kala kok, tenang aja, ya Alpha Bunda?” ujarnya kemudian.

“Tapi…”

“Kakak ngga kerja terus nanti mau ngapain?”

“Ya jadi bodyguard Bunda.”

Ares tersipu, rasakan jemari Marco menjawil pipi gembilnya.

“Tapi ngga digaji, gimana?”

“Ngga masalah, gajinya ngga perlu pakai uang.”

“Terus pakai apa kalau bukan uang?”

“Pakai peluk cium tiap pagi, tiap malem, tiap sore, tiap saat juga udah cukup.”

“Emang iya?”

Marco menangkup wajah Ares dan memainkan pipi gembul itu dengan ibu jarinya.

“Iyaaa, Sayang, buat Kakak ngga ada pekerjaan yang paling menyenangkan untuk dijalani selain jagain kamu, memastikan kamu dan Boss Kecil aman, nyaman dan terpenuhi segala kebutuhannya.”

Pipi si Alpha merona, bibirnya bergetar menahan senyum, matanya melengkung manis saat izinkan bibirnya lepaskan lengkung cantik terbit.

“Cieee malu-malunya Cantik banget, sengaja ya minta dicium semuka?”

Ares mengeratkan pelukan pada kaleng biskuit, Marco dan daya pikatnya mampu membuat musim semi tumbuh dalam perutnya, dibuat geli namun menyenangkan, banyak bunga, banyak kupu-kupunya juga.

“Jangan gitu…”

“Aku serius malu tau!”

Telapak tangan gendut Ares menepuk bahu Marco.

“Loh, Kakak juga serius? malu-malunya Ares cantik dan lucu,” kata Marco.

Si Alpha buang muka, terkekeh saat wajahnya terasa super panas.

“Kakak manis banget, boleh aku gigit nggak?”

“Kamu makan Kakak juga boleh.”

“Tapi nanti jadinya Kakak yang makan aku!”

Marco tergelak dengan reflek membenturkan pelan dahinya pada pipi Ares, “emangnya boleh Kakak makan kamu?” tanyanya, bergurau.

Tiba-tiba Ares menautkan jemarinya gugup, toples biskuit di raih Marco lalu diletakkan di meja.

Waktu berlalu begitu cepat, sampai Marco lupa kapan terakhir kali ia menuntaskan Rut yang datang bersama Ares. Selama ini Marco menahannya dengan bantuan obat, mengingat Ares sedang hamil dan keadaan juga cukup membuatnya khawatir sebab masih berada di rumah Jordan.

Biar bagaimanapun, secara biologis Marco tetap membutuhkan Ares untuk kegiatan itu, walau ia pun juga tak memaksa.

“Mana suaranya kok ilang?”

“Kakak…”

Dagu Ares diraih Marco, membawa pandangan si Alpha balas menatapnya, “it’s okay, Kakak bikin kamu kepikiran ya?” tanyanya khawatir.

Ares terdiam, mengulum bibir enggan menjawab, tapi Marco yakin jawabannya iya.

“Udah lama banget setiap Rut Kakak cuma bisa minum obat, maafin aku ya?”

Marco tak menyangka bahwa Ares akan mengerti maksudnya, lantas ia tersenyum kecil, mengusap lembut wajah si Alpha penuh kasih.

“Nggak perlu minta maaf, minum obat juga ‘kan bukan masalah, yang penting kamu nyaman, kamu aman, Kakak tenang.”

Ares menggeleng kecil, meraih tangan Marco, diciumnya punggung tangan itu lamat sebelum digenggamnya di atas pangkuan.

“Tapi Kakak pasti butuh itu…”

“Hey, Cantiknya Kakak, jangan sedih gitu dong, nggak ada yang perlu dikhawatirin, Kakak baik-baik aja loh ini,” Marco ulurkan tangan mengusap air mata yang meluncur dari ekor mata kucing si Alpha.

“Kakak yakin?”

Marco mengangguk mantap.

“Yakin dong.”

“Kalau gitu, sekarang Kakak cium aku.”

Marco sedikit bingung dengan kalimat perintah itu, tapi ia abaikan dan segera menuruti apa keinginan Ares.

Mencium yang niatnya hanya menyapa bibir plum sang Alpha namun Marco ditahannya lalu lingkarkan lengan pada leher si Enigma, memulai lumatan lebih dulu, memagut bibir Marco kemudian.

Tangan si Enigma terulur bertumpu di sandaran sofa di belakang tubuh Ares sementara satu lainnya lingkari pinggang sang Alpha yang tentu saja ia balas ciumannya.

Semakin dalam, semakin basah, bertukar deru napas memburu, menukar saliva yang berpadu saat ciuman semakin bergelora.

“Eumghh…”

“Heumphhh…”

Marco hendak menarik diri, namun saat pagutan terlepas, Ares menatap balas lalu segera kembali meraihnya untuk sesi berikutnya, sesap dan pagutan yang lebih dalam, lingkaran lengan lebih erat hingga tanpa sadar Marco telah menaungi tubuh Ares yang merebah perlahan.

“Sayang…”

Bertatap penuh puja, Marco tak mungkin pura-pura tidak merasakan bagaimana feromon Ares memancing dirinya, utamanya sisi Enigma dalam dirinya untuk bangkit.

“Jangan ditahan.” Kata Ares, meraih satu sisi wajah Marco, memerah padam dibuatnya.

“Tapi… Sayang…”

Ares menggeleng kecil, buat senyumnya teduh menanggalkan kekhawatiran Marco.

“It’s okay, Enigma.”

“Bukan cuma kamu, tapi aku juga mau kamu terpenuhi semua kebutuhannya.”

Dan jangan tanya mengapa Marco menangis, menjatuhkan dahinya ke bahu Ares, buat si Alpha bisa rasakan napas panas sang Enigma yang terdengar berat, dalam pengaruh Rut yang dibuat Ares dengan feromonnya.

“Kakak takut kamu kenapa-napa, Sayang…” ujar Marco putus asa. Tubuhnya panas bukan main, sakit di bagian selatan mulai membunuh kewarasannya.

“Aku percaya sama Kakak, you’d never hurt me.”

Marco bangkit, menempelkan dahinya dengan Ares, menyatukan hidung mereka, mencium bibir si Alpha penuh cinta, “i would never hurt you.” Ujarnya kemudian.

Ares memejamkan matanya, memeluk erat tubuh Marco yang panas, “we are Mate and this is my Sacrifice, eat me up, Enigma.”

Pertama kali dalam sepanjang hidup Marco benar-benar amat berhati-hati menyentuh Ares, membawa sapuan tangannya menjamah tubuh polos sang Alpha yang merebah dengan kedua kaki terbuka dibawahnya.

Perut besar yang entah bagimana magisnya mampu membuat Marco semakin gila, paras si Alpha yang berkali lipat jadi lebih menawan bangkitkan libidonya hingga langit ke tujuh.

“Mnghh… Kakak… ahhh…”

“Kalau sakit, bilang ya…”

“Heu.. mhhh… i… yahh…”

Stimulasi jari Marco berhenti, tangan Ares bergerilya menyentuh miliknya sendiri yang berdiri. Marco mendekat, membawa kejantanannya yang sudah berpuasa berbulan-bulan sejak terakhir kali yang entah pastinya kapan.

“Sayang…”

“Eunggg…”

“Kakak masuk…”

Jleb!

“EMNGGH!”

“Hhh… mhhh…”

Marco mendorong miliknya lantas merunduk, meraih tangan Ares untuk digenggamnya, menciumi wajah Ares yang dibalut ekspresi kesakitan, bibirnya bergetar dengan mata yang memejam erat.

Rintihan terdengar dari bibirnya.

“Sayang…”

“Ngga apa-apa?”

Ares usahakan buka matanya, menatap balas nan sayu sang Enigma, mengangguk kemudian ia, “aku… sakithh.. ka… kalau Kakak diem terus…” ujarnya terbata.

“Kakak gerak pelan-pelan, kalau kesakitan, bilang ya…”

Ares mengangguk membalas ujar lembut Marco, baginya menjadi Enigma apalagi seorang Marco yang brutal dan bringas adalah sebuah hal yang sulit dikendalikan, dirinya yang Alpha saja pernah amat sangat bajingan dalam hidup namun Marco begitu tertata, begitu lembut saat melakukan matting bersamanya, setelah segala macam tragedi yang telah terjadi, ini adalah saat dimana Ares dibuat takjub atas pembuktian Marco dan perubahan dalam dan luar dirinya.

“Ahhh… Kak… mnghh… hh… ahh…”

“Sakit banget ya?”

Marco berhenti.

“Eunghhh… sakithh…”

Marco mengubah posisi Ares, membuatnya menyamping sehingga Ares tidak perlu membuka kaki dan menekan perutnya. Marco coba untuk kembali bergerak.

“Ugh… shh… Kak…”

“Ngga sesakit tadi, ‘kan?”

Ares mengangguk, maka Marco bergerak lebih cepat, gerakan yang membuat tubuh Ares turut mengikuti, membuat miliknya bergesekan dengan bantal yang menumpu perutnya, rasanya dibuat melayang begitu luar biasa, tangannya meremat bantal dengan bibir yang tak usainya desahkan nikmat dan membuat Marco semakin bersemangat memacu geraknya.

“Mhh… Ares…”

“Euhh… hah… Kak… ahh… ha.. ahh…”

“Ffhh… hngghh… Enigma…”

Ares menekan dahinya pada bantal saat menahan desak pelepasan yang memburu, Marco bergerak, menghentak berhati-hati, namun pasti.

“Sedikit lagi.. mhh… Sayanghh..”

“Aku… keluar…”

Marco menarik diri dan muntahkan sarinya diluar, sementara Ares sibuk mengatur napas, si Enigma merunduk, menciumi wajah Ares yang berpeluh, merona merah dan tentunya tetap cantik luar biasa.

“You’re perfect, thank you, My Love, My Omega.”

—to be continue.

No responses yet