KARMA : Withstand.
Tiga bulan berlalu selepas Marco dinyatakan amnesia, banyak hal penting di masa yang telah terlewati ia lupakan bak tak pernah terjadi, dalam hidup, Marco tak pernah tau akan berakhir menjadi manusia hilang arah, hidupnya untuk masa kini dan masa depan, namun bagaimanapun masa lalu adalah sebuah pelajaran, Marco ingin kejelasan, terutama perihal apa-apa saja yang ia lupakan mengenai garis takdirnya bersama sang Omega.
Jangan kira Marco tak berusaha, ia selalu beri begitu banyak tanya pada Kala, akan betapa ia ingin tahu segala yang ia lupa, memancing Nicholas untuk bantu ia buat Kala ceritakan semuanya, namun sepasang suami istri itu berkata bahwa Ares tidak mengizinkan mereka untuk memenuhi permintaannya, dan tidak, mana mungkin Marco marah pada Omega-nya, sebab selalu saja ia justru jatuh pada setiap kali Ares berkata bahwa jangan memaksa untuk ingat segalanya, pelan-pelan saja jika memang memori lalu akan kembali maka Marco tidak perlu menyakiti diri dengan berusaha keras mengingat semua.
Tapi kali ini biarlah Marco mengusahakan untuk dirinya sendiri, Marco siap menelan apapun risiko dari upayanya mengingat masa lalu yang ia lupa, dengan bertanya pada Jordan.
Entah kenapa, Marco merasa ada yang berbeda dari sahabat Ares ini, semacam ada dinding kokoh yang tak kasat mata di antara ia dan Jordan, interaksi mereka memang terbilang biasa, namun jelas saja Marco paham bagaimana protektifnya Jordan terhadap Ares, padahal Marco adalah Matenya.
“Panjang ceritanya,” kata Jordan kala Marco coba tanya.
“Lo pasti nggak bilang Ares kalau sekarang lo ada disini,” kata Jordan seraya bangkit dari kursinya, menghampiri Marco yang bahkan menunggunya setengah jam di ruangan.
“Semua orang gue tanya soal ingatan gue, mereka gak mau jawab satupun pertanyaan, Jo, gue Mate Ares, sahabat lo, gue mau tau segalanya tentang cerita kami, jadi gue harap lo sudi bantu gue mengingat semuanya, lewat sudut pandang ‘lo,” jelas Marco segera to the point.
Jordan menatapnya serius berbatas sebuah meja kaca, “lo yakin?” tanyanya, “Ares sering bilang sih, dia nggak mau lo memaksa untuk mengingat masa-masa yang lo lupain karena amnesia ini, dia khawatir lo akan kesakitan karena beberapa kali dia liat lo coba untuk mengingat semuanya,” ujarnya kemudian.
Tapi kalau boleh jujur, Jordan siap melihat Marco kesakitan jika memang dia berniat mengingat semuanya, siap lahir dan batin.
“Yakin, gue akan terima apapun risikonya termasuk Ares, gue bisa urus soal marahnya nanti, yang penting sekarang usaha dulu, udah tiga bulan dan gue cuma dapet sakitnya tanpa berhasil mengingat apa-apa,” jawab Marco dengan kukuhnya.
Bukan soal Ares yang marah, tentu saja, kalau Marco berhasil mengingat semuanya, bukankah kemungkinan besar dialah yang pasti akan kembali ke mode Iblisnya?
Mohon maaf saja, Jordan sudah cukup dengan semuanya, perihal Marco, Jordan benar-benar trust issues.
“Okay,” sahut Jordan, “gue akan bantu,” tambahnya.
Akhirnya Marco bisa tersenyum lega, setidaknya satu orang ada di pihaknya walau terhitung berbohong pada Ares yang melarangnya memaksakan diri.
“Apa yang mau lo tau pertama kali?” tanya Jordan kemudian.
“Ares,” jawab Marco, “soal siapa Ares yang sebenarnya, karena gue tau kalau Kala bohong soal Ares adalah teman Niki,” katanya.
“Iya bener, dia bohong, Ares gak pernah berteman dengan Niki,” kata Jordan, “Ares itu—”
drrt… drrt…
Ponsel Jordan dan Marco berbunyi secara bersamaan, nama Jake dan Kala tercantum di layar.
Keduanya kompak mengangkat panggilan secara bersamaan.
“Hallo?”
“Jordan, cepet susul ke Rumah Sakit, Ares pingsan!”
“Co, Ares pingsan dan sekarang dibawa ke rumah sakit, gue tunggu, Co, cepet nyusul!”
Detik berikutnya Marco dan Jordan langsung berlari keluar, secepat-cepatnya menyusul ke Rumah Sakit dimana Ares dibawa untuk ditangani.
Berada dalam satu mobil, Marco dibalik kemudi dan Jordan bertukar pesan soal Rumah Sakit tujuan dengan Jake yang mewanti-wanti dirinya untuk tidak panik, sedikit trauma soal kejadian Marco celaka tempo lalu, dan sekarang malah Marco juga yang mengemudi begitu ngebutnya.
Dan gagal sudah rencana Marco mencari tau soal ingatannya, kini seluruh pikirannya penuh dengan Ares dan bagaimana serta kenapa Omega-nya bisa sampai pingsan.
Namun dalam panik yang menyergap, Jordan memperhatikan, menangkap betapa serius dan fokus pandangan Marco demi memastikan bisa secepatnya sampai di Rumah Sakit dan menemui Ares.
Pikirnya hanya, bagaimana jika Marco sudah berhasil mengingat segalanya, apakah Pria itu akan tetap sejatuh bangun ini mencintai sahabatnya?
Akankah Marco akan tetap menyayangi Ares seperti saat ini walau suatu hari ia telah mengingat kembali perihal siapa Ares yang sesungguhnya?
Ares terbangun dan segera rasakan nyeri menusuk tangannya, sebuah infus tertancap disana, dan berat ditangan satunya, sebab Marco genggam erat sambil tertidur di posisi duduk, ahh, Ares langsung paham dengan keadaan ini.
Pandangannya menerawang jauh, tatap lurus langit-langit putih khas rumah sakit dengan suhu sejuk dan bebauan khas obat yang anehnya justru membuatnya tenang.
Lamat ia tutup mata, rasakan debar di dada yang muncul sejak Ares bawa pikirannya pada sebuah kenyataan yang sudah bisa ia ketahui tanpa bertanya, nyatanya Ares tak hanya masuk angin biasa.
Setiap muntah kosong atau hanya air liur, sakit kepala, suasana hati yang lebih seperti kesetanan juga hal-hal aneh yang dia rasakan bukanlah tanda bahwa ia hanya masuk angin, setidaknya Ares pernah mengalami hal ini walau hanya sebentar, dulu.
Air mata meluncur bebas tanpa diminta, tak mampu tahan dan ya ini salah satunya, bagaimana Ares menjadi begitu emosional, namun Ares hanya ragu, mampukah ia bertahan selama sembilan bulan untuk akhirnya bisa melahirkan bayi dalam kandungannya kini, sebab sekalipun Marco sampai berjanji nan manis bahwa ia tak akan meninggalkan Ares apapun yang terjadi.
Dari apa yang sudah pernah ia alami, tinggalkan trauma dalam diri, bahwa Ares lebih takut Marco mengingat semua masa lalu mereka dan segala yang sudah pulih akan kembali hancur berantakan.
Bagaimana Ares akan bertahan jika benar hal itu kejadian?
“Sayang?”
Lamat ia berpikir hingga tak sadar Marco telah terbangun dari tidurnya, menoleh balas menatap yang lebih tua, “Kakak jangan sedih,” ujarnya melas.
Sebab dari tatapan Marco sudah jelas bagaimana Pria itu melewati hari ini dengan berita bahwa Omega-nya pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.
“Kan, benar apa kata Kakak,” kata Marco seraya membelai lembut rambut Ares, “kamu itu bukan cuma masuk angin, kamu butuh Dokter, kamu butuh perawatan khusus, dan kalau aja kamu mau nurut, nggak mungkin sekarang kamu harus berbaring disini,” katanya dengan selembut mungkin, Marco bukan marah, mana bisa lagipula.
“Maafin aku, Kakak…” mohon Ares dengan tangan yang digenggam Marco, “akunya nakal, nggak nurut, maaf,” imbuhnya nan melas.
“Nggak, udah jangan minta maaf, yang penting sekarang kondisi kamu, ada yang sakit nggak? mau Kakak panggilin Dokter? Biar kamu juga tau gimana keadaan kamu sekarang, jadi kamu lebih nurut kalau Kakak kasih tau nanti.”
Ares terkekeh kecil, menggeleng ringan, “aku udah tau kok keadaanku,” katanya, lantas senyum kecil waktu Marco mendekat dan mencium keningnya lamat, bertahan di sisi Ares yang menatapnya lekat, “cie… yang mau jadi Ayah,” kata Ares dengan nada canda.
Bercanda dengan detak jantung yang berpacu, bisa Ares usahakan melawan sergah resah dalam dirinya, bisa, sebab Marco yang ini adalah Marco yang melupakan kenyataan bahwa Ares adalah seorang pembunuh adiknya.
“Jangan nangis dong, Kakak ‘kan Enigma,” ujar Ares saat Marco bahkan tak hisa berkata-kata guna membalas candaannya.
“Kakak kelewat seneng tapi juga sedih,” kata Marco, “karena kamu harus sampai sakit begini karena hamil,” katanya.
Ares berusaha, menahan dirinya, bagaimanapun dulu saat pertama kali Ares hamil, sakitnya bahkan berkali lipat lebih berat dari ini.
“Nggak apa-apa, ‘kan i dedicate to you my life and this is my sacrifice, Kak, percaya deh kalau aku bahagia saat ini,” kata Ares kemudian, yakinkan Marco bahwa ia baik-baik saja.
“Kalau kamu bahagia, Kakak lebih dari itu, Sayang, nggak semua Alpha di dunia bisa mengandung, begitu kata Dokter, nggak semua Enigma beruntung menemukan Alpha yang bisa memberikan keturunan tapi lihat, seberapa beruntungnya Kakak memiliki kamu, Ares.”
Tangis Ares kian jadi, yang bahagia bercampur haru, walau dalam hati sisipkan ragu, tidak, manusiawi sekali bahwa Ares tetap mengizinkan dirinya untuk merasakan setiap perasaan yang ia punya secara logis dan emosional.
Namun Ares hanya berusaha percaya, bahwa bila memang Takdir berkata semua akan baik saja maka Ares akan mengusahakan yang terbaik untuk menjalani semua.
Bersama Marco dan bayi dalam kandungannya, berharap Niki kini bisa mendapatkan jalan terbaik di Dunia-nya.
“Tolong jaga kami dengan baik ya, Kak, aku juga akan mengusahakan yang terbaik untuk Anak Kita.”
Permintaan yang manis untuk tentu saja Marco kehendaki.
“Tentu, Sayang, Kakak akan jaga kalian sebaik dan semampu Kakak, apapun untuk kalian, Kesayangan Kakak.”
Dan walau bisa saja suatu hari Marco kembali dari masa amnesianya, Ares hanya berharap Pria itu berbaik hati sedikit saja membiarkan Ares melahirkan Anaknya dengan sepenuh hati.
‘Kalau suatu hari nanti Kakak ingat siapa aku, aku izinkan Kakak untuk ingkar janji, tapi tolong jangan pernah benci Anakku.’