Hinandra
5 min readJul 5, 2023

KARMA : Timeline.

Ares sedang menelungkupkan kepala di atas meja, berbantal kedua lengan yang bertumpuk, deru napasnya memburu, semburat merah bersemu hias wajah, sepanjang ruas jari bergetar, kakinya menghentak-hentak rusuh pada lantai yang dingin, siang menuju sore, pukul tiga kurang yang hangat, dan Ares sedang bingung-bingungnya dengan hasil karya lepas kendalinya pada ruang obrolan bersama Marco.

“Ares suka kakak.”

“Jadi mau Kakak aja, boleh?”

Bagaimana ya, menjelaskan esensi dari riuh gaduh dalam dadanya, Ares tidak mampu menceritakan sengat mengerikan yang membuat jantungnya memompa darah lebih cepat, gelora yang menyesakkan namun pula tak ingin ia lewatkan.

“Ares, kenapa?”

Jake turun, membawa gelas kotor ditangannya, melihat wajah Ares merona, disentuhnya dahi si Alpha, “loh nggak demam, kok mukanya merah?” tanya Jake, nada bicaranya halus, setidaknya kini melihat Ares bagi Jake justru membuatnya merasakan hangatnya kehadiran Niki, dan Jake tidak akan mau tau kenapa bisa begitu.

“Jake.”

“Iya?”

Jake dibalik konter dapur, memandangi wajah Ares yang meraut bingung, macam mau bilang sesuatu tapi barangkali tidak tau harus pilih kata mana untuk suarakan.

“Menurut kamu, aku harus...”

“Harus apa?” tanya Jake, lama-lama gemas juga dibawa penasaran.

“Aku bingung,” ujar Ares, putus asa.

“Ada apa sih ini? gemes deh!” balas Jake, lantas mendekat, “kamu mau apa?” tanyanya.

“Aku—”

tintin!

“Huh?” Ares termenung, sebentar.

Lalu bertatapan dengan Jake, “siapa?” tanyanya.

“Marco…” jawab Ares, kecil.

“Jake,” panggil Ares seraya bangkit, “aku udah bilang Jordan kok, katanya boleh,” adunya.

Ares lantas berlari kecil meninggalkannya, menumui Marco.

Jake menggeleng, mau heran tapi ya bagaiamana, “susah deh kalau udah terlanjur bucin,” katanya.

Tapi Jake senang, asal Ares baik-baik saja, dan pikirnya kini Marco pun jadi lebih baik, mengingat kali terakhir saat Pria itu berkata bahwa ia mencintai Ares dan bertaruh nyawa dengan Jordan demi Ares agar tak dijauhkan darinya.

Tempo hari, Jordan hampir mengamuk kalau saja Ares tak langsung menjelaskan pertemuan tidak terencananya dengan Marco yang mengantarnya pulang selepas dari Sirkuit, yang bisa Jake simpulkan ya barangkali memang harus setidak terduga ini Takdir yang berputar di sekitar mereka, terutama Marco dan Ares.

“Jadi kangen Niki.”

“Kakak.”

Marco yang berdiri di Beranda rumah Jordan pun berbalik, saat terdengar suara langkah kaki di susul terbukanya pintu utama, memunculkan eksistensi Ares lengkap dengan senyum kecilnya.

Detik itu pula mengawali membekunya tubuh Marco, secara fiksional, barangkali kakinya dipaku pada lantai dan atensinya fokus pada fitur wajah tirus Ares, sorot matanya yang tegas namun juga bergaris lembut, menatap Marco dengan ekspresi yang polos, manis sekali.

“Kak?”

Ares maju, sisakan selangkah menjarak, melambai gemulai di depan wajah Marco yang terus saja diam, “Kak, Marco, Hallo?” tegurnya lagi.

Hap!

“Kak!”

“Iya, sayang?”

“Huh?”

“Iya, kenapa?”

Marco memang kembali ke Bumi, namun menerbangkan Ares ke langit, membaca pesan teks dan mendengar langsung dari Marco kata itu, kata ‘sayang,’ yang mampu membuatnya semakin heran, apa benar ini Marco yang sama yang telah memutar balikkan kehidupannya?

“A-ayo masuk,” kata Ares, tak biarkan Marco dapat melihat wajahnya. Malu.

“Boleh?” tanya Marco.

“Boleh.”

Maka masuklah sepasang Mate itu, Ares melarikan diri sebentar, setidaknya untuk menyuguhkan secangkir kopi tanpa gula untuk Marco. Jangan tanya kenapa bisa tau, selama dipenjara di Rumah Marco, hanya itu yang selalu Ares lihat harus selalu ada untuk si Tuan Rumah.

Terlalu banyak yang ikut berubah setelah Marco dinyatakan Amnesia, terlalu banyak namun entahlah, Ares tidak tau harus bagaimana, bersyukur atau justru bersedih karena ini bukan Marco yang dulu;

“Kakak nggak kerja?”

Setiap kali hening, pasti Marco sibuk memandangi Ares, membuat si Alpha justru hanyut dalam salah tingkah, setiap kali Ares lempar tanya, Marco akan tersentak dan tersenyum kecil, kikuk, canggung, terasa pekat, namun tak seperti Ares yang ingin kabur, Marco justru tak ingin pergi.

“Kerja, tapi tadi,” katanya.

“Kakak bolos ya?” tanya Ares, sedikit berusaha menelan kecanggungan, aduh, intinya malu, malu terus, malu sekali.

Diluar ekspektasi, Marco mengangguk, senyum lagi, “iya,” katanya, “kakak mau ketemu kamu soalnya, kalau kerja ‘kan nggak bisa ketemu,” tambahnya.

Ares menunduk, kedua tangannya saling cubit satu sama lain, bingung harus bagaimana menanggapi Marco, mereka terbiasa beradu umpatan dibalut arogansi dan keras kepala itu kini berbincang hangat, seakan tak pernah ada balada kekacauan hidup sebelumnya.

“Ada apa?”

“Apa?”

“Mau ketemu aku, ada apa?”

Marco diam, sejenak untuk berpikir, namun berakhir cengengesan macam anak kecil, lucu, aduh kok bisa?

Kemana jiwa-jiwa Iblisnya?

“Kepikiran terus, jadi nggak bisa fokus kerja.”

“Kepikiran apa?”

“Kamu.”

“Aku, kenapa?”

Sesungguhnya Ares tak sanggup, tapi pahamilah, ia hanya ingin tau.

“Rindu.”

“Aneh ya?”

Ares diam, tak mengangguk, tak pula menggeleng, ia hanya tetap menatap balas Marco dan menanti kalimat selanjutnya.

“Kakak Amnesia.”

“Aku tau.” Ujar Ares.

“Hari itu, maaf karena Kakak melupakan kamu.”

“Kakak lupa semuanya. Semua memori yang seharusnya ada kamu di dalamnya, Kakak lupa.”

“Maaf.”

Sebaik-baiknya Ares menahan raut wajahnya untuk tetap tenang, binar matanya tak akan mampu berbohong, bahwa apa yang dilihat Marco saat ini adalah kesedihan, kekecewaan, rasa sakit yang tak mampu ia jabarkan sebab segala hal telah ia lupakan, namun yang mampu ia pastikan, Ares juga Rindu, Ares merindukannya.

“Bukan keinginan Kakak untuk kecelakaan dan Amnesia, jadi, jangan minta maaf.” Ujar Ares, dengan kedua tangan bertaut di atas meja.

Kacau. Harinya seakan dibuat seperti rollercoaster, suasana hatinya dibawa naik dan turun, berkelok rumit dan mendebarkan, takut namun menyenangkan.

“Kakak mau tau, semuanya, yang Kakak lupakan.”

“Nggak peduli akan selama apa sampai Kakak bisa mengingat semuanya, nggak peduli sesakit apa kepala Kakak kalau mencoba untuk mengingat—”

“Kalau gitu, jangan dipaksa, kalau memang harus lupa, bahkan selamanya, nggak masalah, Kak, asal Kakak nggak perlu kesakitan,” ujar Ares menyela, tentu saja.

Ares hanya sudah terlalu baik mengenal rasa sakit secara harfiah, dan jangan lagi, jika mencoba mengingat segalanya membuat Marco harus menanggung begitu banyak rasa sakit di kepalanya, lebih baik lenyap saja semua memori, asal Pria itu baik-baik saja.

“Tapi ada kamu disana, Ares, ada kamu di dalam memori yang Kakak lupakan, kata Dokter, Kakak bisa ingat lagi setidaknya enam sampai sembilan bulan setelah dinyatakan Amnesia.”

“Kak.” Suara Ares tercekat di tenggorokan, hanya saja tatapannya jelas, berkata bahwa ia hanya khawatir, ia hanya resah untuk kedatangan rasa sakit lagi dalam kehidupan mereka.

“You don’t have to.” Kata Ares, lirih.

“I choose to, i choose you, Omega.”

Ares terdiam, saat dengan amat serius tatapan Marco jatuh padanya.

Namun pahamilah, Ares mulai takut, bagaimana jika Marco mengingat semuanya?

Bagaimana jika, seluruh memori tentang eksistensi Ares dalam Hidup Marco telah kembali?

Apa Marco akan kembali seperti dulu?

Apa ia akan kembali membenci Ares dengan sangat?

“I beg you to save me, i’m twisted, so, please, take my hand.”

“I dedicate to you my life and this is my Sacrifice, Omega.”

—to be continue.

No responses yet