KARMA : The Stars.
Berbatas layar bertukar kabar, melihat Ares dengan segala kegiatannya di rumah melalui sambungan panggilan vidio sudah lebih dari cukup untuk Marco, berharap ini bisa perlahan-lahan membantu Ares untuk sembuh.
Walau sulit digapai, setidaknya cukup dengan mampu melupakan trauma itu, sehingga Marco bisa benar-benar nyatakan eksistensinya di dekat Ares sebagai mana yang selalu ia inginkan.
“Selamat siang, Sayang.”
Wajah sang Omega bersemu buat senyum terbit hias paras si Enigma.
Jujur saja, semakin lama rasanya malah semakin rindu, tak peduli selama dan sesering apa mereka bercakap lewat udara, hanya temu yang benar-benar mampu mengalahkan kerinduan itu.
“Alpha Bunda hari ini udah ngapain aja?”
Oh, dan Marco yang memilih sebutan itu, yang akhirnya coba Ares biasakan untuk dirinya sendiri kala bercengkrama dengan Bayinya.
“Makan, makan lagi, terus makan, tadi terakhir makan juga,” kata Ares, bahkan saat ini pun sedang mengunyah jagung rebus keduanya.
Jangan tanya kenapa kalau Marco tergelak dan Ares tak mau ambil pusing yang penting hatinya senang.
“Sekarang juga makan, Bunda.”
“Iya, soalnya dikasih Jordan, tadi pagi dia buat aku kesel, jadinya dia bujukin aku pakai jagung,” cerita Ares sambil sibuk mengunyah, remah-remah jagung bahkan menoda pipi gembulnya.
Ah, Marco gemas sekali, jadi ingin makan Ares, hehehe.
“Terus kamu gak jadi kesel?”
“Jadi kok, tapi udah nggak kesel soalnya dibujuk jagung.”
“Kamu mau yang lain nggak? biar Kakak kirim ke rumah.”
“Eum?” ekspresi tanya si Alpha Bunda, buat Marco menanti dalam rusuh hatinya, ingin melahap Ares yang termenung memikirkan keinginannya sendiri.
“Aku mau…”
“Apa?”
“Ahh, ngga ada.”
Ares menatap Marco ke layar, “ngga tau soalnya suka tiba-tiba, nanti kalau ada mau aku bilang,” katanya.
Marco senyum, gatal sekali tangannya ingin mengusak rambut Ares.
“Janji?”
“Eum, janji.”
“Kamu sendirian di rumah?”
“Sama Jake, tapi Jake lagi kerja di ruangannya.”
“Oh iya!” seru Ares tiba-tiba.
“Kenapa, Sayang?”
“Kakak dimana? itu seperti bukan di rumah, tapi masa di Kantor cuma pakai kaos?”
Ahh, tentu saja Ares lebih tenang sebab Marco tidak di rumah, background yang dilihat Ares pun pasti nampak asing.
“Kakak di Rumah.”
“Rumah?”
Marco mengangguk dan tersenyum.
“Iya, Rumah Kita.”
“Rumah, kita?”
Sekali lagi Marco mengangguk.
“Iya, Sayang.”
“Pertama, Kakak benar-benar berharap kamu sembuh, dan untuk itu, Kakak sendiri juga harus berusaha, karena Kakak juga punya trauma, setelah semua yang terjadi.”
“Kamu baik-baik aja?”
Ares yang sempat meraut gelisah tersentak kecil lantas mengangguk.
“Aku baik, aku dengerin Kakak.”
Jelas-jelas Marco melihat bagaimana ekspresi Ares yang berubah lebih tertekan.
“Kamu nggak baik-baik aja.”
“Sekalipun iya, aku akan usahakan juga, aku akan bilang kalau aku udah gak bisa menahan.” Kata Ares, tetap saja jiwa Alpha tak semati itu untuk berhenti keras kepala.
“Aku mau denger lagi, kenapa Kakak sebut itu Rumah Kita?”
“Ares.”
“iya, Kak?”
“Kita boleh aja punya masa lalu yang ngga bagus, tapi soal masa depan, kita berdua bisa usahakan.”
“Rumah ini, Rumah Kita, nanti kalau semua sudah sembuh, semua sudah baik-baik aja, Kakak berhasil membebaskan diri dari semua penyesalan dan kamu akhirnya terlepas dari semua rasa sakitmu, kita punya tujuan baru untuk Pulang.”
“Kakak…” lirih Ares dengan sepasang aksa berkaca-kaca, bibirnya bergetar implementasikan pair jantung yang bertalu padankan hati yang dibalut haru.
“Kita bisa usahakan semuanya, Sayang, sekarang, Kita punya Rumah untuk Pulang.”
“Kita akan sembuh dan kembali utuh.”
Setiap Kita adalah sebuah buku dengan berbagai jenis genre di dalamnya, berbagai jenis alur yang berliku, berluka dan berlaku untuk siapa saja, dalam pentas drama kehidupan, berbekal pengetahuan kecil perihal kesederhanaan sebuah akhir yang disebut ‘bahagia.’
Tak pernah ada yang mengkaji harus bagaimana manusia agar bahagia itu tetap sederhana, sebab yang memahami arti jatuh akan mengerti makna sakit, akan menemukan cara untuk bangkit.
Marco tak sekalipun bayangkan ceritanya akan berjalan sedemikian rupa libatkan Takdir, Karma, Benci dan juga Cinta. Kematian merenggut Niki, mengantar Marco pada pusaran maut berwujud Karma, berdiri di batas setipis benang merah antara Benci dan Cinta.
Hanya takdir yang tak akan pernah gagal perihal menjerat manusia dalam lakon yang lebih drama, ibaratnya boneka, Takdir adalah penggeraknya.
Bagi Ares, setiap kali telapak tangannya bergetar dan terasa dingin buatnya sadar bahwa ia bisa jadi lebih kuat, jika memang hatinya ingin sembuh, coba tanamkan sepositif mungkin, bahwa bab berikutnya dari buku kehidupan Ares akan berisi bait-bait bertema asa yang penuh dengan suka cita, perayaan demi perayaan akan cinta dan tawa.
Di Bab baru bukunya dengan Marco, Ares sisipkan sebait doa untuk senantiasa diberikan sempat tetap rekat, terikat simpul Takdir yang mengalir dibawah kulit, bersama darah yang menggelorakan asmara asa yang kuat.
"Kakak.”
“Iya, Sayang?”
“Sekarang aku mau sesuatu.”
“Mau apa, Bunda?”
“Kamu, Kak, bisa datang sekarang dan peluk aku nggak?”
“Tapi… Sayang, apa kamu yakin?”
Ares menatap melas dengan aksa berlinang, usap dengan lengan terusannya, tunjukkan seberapa ia menginginkan Marco untuk segera datang.
“Berhenti bicara dan cepat datang, aku nggak mau tau!”
Marco hanya memikirkan segalanya perihal kondisi Ares tetap aman.
“Sayang, Kakak mau datang, tapi Kakak takut yang terjadi—”
“Aku mohon…” melas Ares putus asa.
“Jangan gitu, Sayang, usap dulu air matanya.”
Ares menggeleng, merengek dan kembali memelas, Marco bisa mati kalau begini.
“Aku akan terus nangis!” ancamnya.
“Loh, kenapa? jangan gitu dong.”
“Aku nggak mau usap air mataku! biarin aja, biarin!”
“Sayang…” bujuk Marco nan lembut.
“Nggak denger!” kukuh si Bunda Alpha.
“Kamu tau, nanti bisa aja—”
“Aku mohon-mohon loh ini!?”
“Ares — ”
“Ayah...”
Seketika Marco terdiam, dengar untuk pertama kalinya Ares sebutnya Ayah.
Demi Tuhan, Marco ingin punya kekuatan teleportasi sekarang juga.
“Aku yang mau Kakak datang, aku mau dipeluk, aku mau Kakak yang hapus air mataku, aku mau Kakak, aku mohon.”
“Anak aku juga mau Ayahnya, serius, ngga bohong, tadi Dia bisik-bisik ke aku.”
Marco yang terharu jadi melepas gelak tawa, bisa-bisanya dia dibuat terbawa perasaan dan tertawa kemudian.
“Anak kita, Sayang.”
“Iyaa, Anak Kita, makanya aku tunggu ya Ayah, aku nggak akan berhenti nangis beneran loh!”
Sambil bersiap, Marco menjawab diselip kekehan, tatap wajah merah si Bunda Alpha yang barangkali sedang dalam wahana rollercoaster perasaan sampai nyaris mencekik kewarasan Marco begini.
“Apalagi maunya si Anak Kita?”
“Katanya mau dipangku, terus dipukpuk sampai tidur, Anak Kita mau mimpi indah dipeluk Ayah.”
Jangan tanya kenapa sepanjang perjalanan untuk menemui Ares dipenuhi dengan tangisan Marco, kalimat panjang Ares yang terakhir sebelum ia bergegas berangkat tadi buatnya benar-benar merasa sembuh.
Merasa manusiawi karena bisa menangis tanpa susah-susah memaksa endapan rasa sedih dalam hatinya meluap, yang ada hanya haru, langitkan doa bahwa ia akan mampu bawakan mimpi indah untuk Anaknya.
Untuk Ares dan Dirinya sendiri.
Dan kembali pada pusaran Takdir yang masih erat merengkuh Jiwa mereka dalam panggung drama baru yang akhirnya jejak lampir kosong ‘tuk diisi cerita bersama-sama, dengan cerita yang lebih baik, lebih bahagia.