KARMA : The Sacrifice.
Lima belas menit waktu tempuh dari Kantor menuju Rumah, dimana Dokter William menunggu kedatangan Marco. Dengan lima menit terakhir yang diambil Marco diam dibalik kemudi setelah sampai dan menatap pada Mansion megahnya.
Walau jantungnya berdebar tanpa alasan, Marco lantas buang muka dan menghela napas, acuh pada apa yang dirasakannya.
Langkah lebar sang Enigma kini menuju Ruangan Ares, dimana di depan pintu kembar itu berdiri Dokter William bersama seorang Dokter lainnya, kalau gak salah ia adalah Nicholas, Omega-nya Kala.
“Selamat Sore, Marco.” Sapa Dokter Nichole.
“Sore,” balas Marco singkat, “jadi, ada apa ya, Dok?” tanyanya segera pada Dokter William.
“Ayo ikut kami, Marco,” ajak sang Dokter yang sebenarnya lebih muda dari Marco itu, masuk ke dalam, menemui Ares yang memejam, tertidur.
Dokter Nicholas berdiri di ujung tempat tidur, sementara Dokter William bersama Marco bersisian di sebelah ranjang dimana Area berbaring.
“Dia kenapa, Dok?” tanya Marco kemudian.
“Keadaannya baik, kondisi tubuhnya sudah stabil, luka-lukanya sembuh dengan cepat, semuanya bagus sehingga akhirnya Ares sadar.” Jelas Dokter William kemudian.
Marco malah fokus menatap wajah damai Ares dalam lelapnya.
“Tapi setelah melalui pengecekan lebih lanjut, ah, atau, nggak bisakah kamu merasakannya, Marco?” tanya sang Dokter yang merupakan seorang Alpha.
Marco menoleh dengan raut bingung, “merasakan apa, Dok?” tanyanya.
Marco denial.
“Ares sedang mengandung.” Kata Dokter Nicholas.
“Seharusnya kamu bisa merasakannya, Marco, setelah Omega ditandai, maka simpul mate akan terhubung, kalian akan berbagi segala hal termasuk rasa, barangkali, kamu bisa merasakannya, tapi nggak tau itu apa.” Jelas sang Dokter kemudian.
Dokter William mengangguk setuju, “dan ini adalah sebuah keajaiban, Marco, seorang Alpha tidak akan pernah bisa hamil, tapi keadaan Ares saat ini adalah nyata, bahwa dia sedang mengandung dan bukan siapa-siapa lagi yang merupakan ayah dari anak ini, kamu tau maksud saya.” Katanya.
“Ini yang ingin saya bicarakan, dikeadaan seperti ini, saya sangat berharap kamu memikirkan segalanya lebih matang, Marco, Ares sedang mengandung anakmu, kalau kamu masih saja memperlakukan dia dengan buruk, saya nggak tau lagi harus gimana memberi saran yang terbaik untuk kehidupanmu.” Ujar Dokter William, dengan niat hati yang baik.
Walau tau kalau Marco mana pernah sudi menerima nasehat, itu akan membuatnya merasa bahwa dia telah keliru.
“Sudah?” tanyanya dingin.
Dokter William melempar pandangan sekilas pada Dokter Nicholas, “sudah, semoga kamu bisa pertimbangkan saran saya, kami permisi, Marco.” Ucapnya seraya undur diri setelah sempat berbagi tepukan ringan di bahu Marco.
Kedua Dokter itu lantas menutup pintu setelahnya benar-benar meninggalkan Marco hanya berdua dengan Ares yang terlelap.
“Bangun.” Ujar Marco nan dingin.
Telapak tangannya menepuk pipi Ares yang masih berhias luka lebam samar, perlahan mata itu terbuka dan langsung balas menatap pada Marco yang begitu dekat dengan wajahnya.
Ares bisa merasakan hembusan napas hangat sang Enigma, aroma dari feromon yang kala Ares hirup udara mengisi rongga dadanya turut serta melegakan dahaga kehidupannya selama dua pekan tertawan alam bawah sadar.
“Enigma.” Panggil Ares terdengar lemah.
“I’m pregnant.”
“The Doctors said, I’m— ”
“Nice,” sela Marco.
Entah kenapa rasanya Ares bahagia bukan main, rasanya membuncah begitu melihat Marco tersenyum, mengusap pipinya dengan elusan sayang, menatapnya penuh pula dengan feromon yang terhirup menenangkan.
“Lo keliatan bahagia dengan berita ini, benar?” tanya Marco penuh kelembutan.
Ares mengangguk kecil, pula tersenyum kembali setelah sekian lama.
“Gue mau hidup, untuk Anak ini. Untuk Ni—”
“Tentu. Lo harus hidup.” Sela Marco.
Tiba-tiba menyeringai dan membuat Ares bungkam dalam sesak yang tiba-tiba mencekik pernapasannya.
“Lo harus tetap hidup untuk bisa gue lihat gimana ‘lo kalau gue bunuh Anak yang lo sayang banget ini.”