Hinandra
5 min readJul 3, 2023

KARMA : Oblivion.

This is a story about Pride and Oblivion.
Love and Sacrifice and Fate.
If you want to escape from this twist of Fate.
Remember these two words,
Find Me.

Ares terbangun setelah terbebas dari tidur panjang yang ia akhiri dengan mimpi indah, setidaknya bermain ayunan sendirian di bawah cerah mentari memayungi padang rumput yang sejuk sudah cukup untuk membasuh segala macam mimpi abstrak nan menakutkan yang membayangi tidurnya.

Namun yang dapat ia ingat hanya itu, sejelas kenyataan, hanya ada Ares, angin yang terbangkan surainya, denyut dua jantung yang bersinkronisasi dalam tubuhnya, iya, sebuah pelipur duka untuk Ares yang telah kehilangan Darah Dagingnya.

Dan, Niki. Tentu saja, walau hanya sekali, dalam tangis tak bersuara, dalam jatuh tak berdasar, Ares bertemu Niki dalam gelap tak bercelah hingga akhir yang tak mampu ia ingat, dalam pikir berkata mutlak bahwa Niki akan membencinya, bahkan bisa lebih buruk lagi, dan Ares sudah siap.

Selalu siap.

Marco terlibat sebuah kecelakaan.

Ares berpikir bahwa bisa jadi inilah Karma itu, lagi.

Begitu Ares melewati masa kritis, justru Marco yang datang dengan keadaan nyaris kehilangan nyawa seusai terlibat sebuah kecelakaan yang bahkan tewaskan beberapa pengguna jalan lain, bukan Marco yang salah, walau ada andil dirinya pula mengemudi melewati batas kecepatan, kecelakaan itu tercatat sebagai sebuah kecelakaan maut sebab setiap korban kehilangan nyawa, ajaibnya hanya Marco yang bertahan, namun dalam keadaan Koma.

Saat Ares sedang dalam masa kritis, berjuang untuk tetap hidup, saat itu Marco sedang ditangani di UGD dengan segenap daya upaya para Medis. Kala, Nicholas, Jake dan bahkan Jordan, empat saksi hidup yang bahkan saking kalutnya terlibat dalam Putaran Takdir Marco dan Ares sudah tak mampu menjelaskan bagaimana perasaan mereka;

“Ares bertahan.” Ucap Dokter William pada Jordan.

Disaat yang sama, “Marco selamat, namun saat ini sedang dalam keadaan Koma akibat cedera otak yang dialaminya.” Ucap Dokter Elkan, Dokter yang menangani Marco, kepada Kala yang seketika langsung rubuh, sudah tak kuasa.

Entah sudah sebanyak apa titik-titik Realisasi Karma yang terjadi pada mereka satu persatu, dan jika boleh jujur, Kala mulai takut;

Jordan mulai tak lagi mampu berpikir dengan bijaksana, Jake dan Nicholas hanya mampu menangis dan berharap tidak ada lagi yang terjadi, yang akan membuat Kisah ini semakin Rumit.

Namun, jangan khawatir, tentu saja tak akan semudah itu, Tangis dan Harap tak akan mampu untuk mengungguli Rencana Semesta.

Sepekan kemudian, Ares tersadar dari Koma, kalimat pertama yang ia lontarkan adalah sebuah tanya, dengan wajah pucat nan sendu, penuh sembilu, menyiratkan rindu nan pilu;

“Dimana, Marco?”

Jordan jadi yang paling tersiksa saat berhadapan dengan Sahabatnya, harus bagaimana Jordan menjelaskan keadaan?

Bagaimana jika Ares justru akan semakin terpuruk? kemungkinan baginya untuk sembuh akan semakin sulit.

Namun tidak, Ares tersenyum tipis, tersirat garis miris dibalik kekehan kecilnya.

“Apa lagi kali ini?” tanyanya.

Jordan menghela napas, pandangannya turut menyendu, sudahlah, mau bagaimanapun, Ares akan tahu pada akhirnya.

“Marco Koma, Res, seminggu lalu saat lo kritis, dia ngebut karena mau datang ke Rumah Sakit untuk temuin lo tapi akhirnya kecelakaan, dan Koma karena cedera otak.”

Senyum Ares terbit, namun rasanya Jordan tak sanggup mengartikan bahwa lengkung bibir pucat Sahabatnya tengah menggerilya bahagia, tidak, tentu saja.

“Res?” Jordan takut, takut saat Ares menunduk dan tergelak, namun punggung yang disentuh Jordan bergetar.

Ares tertawa, dengan air mata.

“Jordan…”

Secepat kilat Jordan merasakan sepasang matanya panas, saat berhadapan kembali dengan netra berkabut duka dari sepasang jelaga redup milik Sahabatnya, “iya, Res?” tanyanya, lirih.

“Anterin gue, mau liat Marco.”

Tentu. Tentu saja Jordan akan turuti apapun kemauan sang Sahabat, apapun asal hati Ares lega, apapun itu akan Jordan korbankan demi Ares dan kehidupan Baru yang lebih baik, harus.

“Ayo, gue anterin lo ketemu Marco.”

Pekan demi pekan berlalu, Ares hidup dalam ruang lingkup yang baru, walau bingung harus menyebut dirinya apa, Alpha atau Omega? Tidak jelas.

Kadang Ares tergelak, merasa Bodohnya Dunia tak ada habisnya, dan Ares masih saja berusaha, di balik pasrah yang ia berikan kepada Alam Semesta, yang entah kenapa Si Bodoh Dunia itu justru mengabulkan setitik kecil harapan Ares untuk bertahan;

Bukankah Bodoh sekali Dunia ini?

Atau memang, tak pernah ada yang pandai perihal mengatur Takdir, bahkan Dunia sendiri.

Bila di analogikan, Dunia adalah permainan catur, dan Ares adalah Bidaknya, digerakkan oleh Keangkuhan, di jatuhkan oleh Kesombongan, namun semua telah usai, tidak tahu pasti, tetapi yang jelas, kini Ares kosong.

Hampa.

Apa itu kehidupan Baru? Jika jiwa mu masih hidup di Masa Lalu?

“Selamat pagi, Marco.”

Ares selalu ingin bertanya, bagaimana rasanya berada diposisi yang beberapa kali Marco buat Ares harus merasakannya? Koma.

Limbo.

Bagaimana rasanya dijerat kegelapan hidup yang tak hidup?

“Marco.”

Tidak, tentu saja Ares tidak tahu harus bagaimana menjelaskan perasaannya kini, apa yang ia miliki untuk Marco hingga seringkali mengunjungi ruang rawat sang Enigma.

Bukankah terlalu aneh jika menyebut kata Cinta disaat apa yang ia terima selama ini justru tak pernah menggambarkan Cinta yang sesungguhnya.

Hanya ada Keangkuhan, Kesombongan, Kuasa di atas Kuasa.

Hingga Marco lepas kendali akan siapa dirinya, hingga Dendam membutakan mata hatinya, sampai seluruh kebaikan melebur akibat bara panas amarah dan kebencian.

“Marco?”

Jemari sang Enigma bergerak-gerak kecil, membuat Ares lantas berdiri, menekan tombol dengan panik, lantas memperhatikan tangan Marco yang bergerak semakin jelas, perlahan napas Marco menjadi lebih cepat, disusul dengan sepasang matanya yang terbuka, membola menatap langit-langit ruangan, dan Ares hanya mampu terperangah.

Tubuhnya diraih untuk keluar sementara Dokter dan Perawat menangani Marco. Jake dan Nicholas ada bersamanya di luar, memandang resah dari balik dinding kaca yang memisah.

“Ada apa?” lirih Ares dengan tatapan takut, kalut.

Nicholas berusaha menenangkannya, Jake mengusap-usap punggung Ares yang bergetar.

“Marco akan baik-baik aja, Res.”

Beberapa saat kemudian, Dokter William menghampiri mereka dengan ekspresi yang rumit, sulit sekali sepertinya menjelaskan keadaan, sehingga Dokter Muda itu hanya memberikan ruang untuk Ketiganya masuk, menemui Marco.

Marco yang baik-baik saja.

Duduk dengan alur napas normal, kepalanya dibebat perban, tertunduk menatap kosong pada infus yang tertancap ditangannya.

“Marco.”

Beberapa detik lamat setelah suara Ares mengalun di tengah nan senyapnya ruangan sejuk itu.

Ekspresi wajah Marco nampak linglung, beberapa saat kemudian nampak bingung.

Jake dan Nicholas sudah siap mengeratkan genggaman tangan mereka pada Ares yang berada di tengah-tengah.

“Lo siapa?”

Marco memang kembali, ia baik-baik saja namun melupakan semuanya.

Melupakan Ares, dan segala cerita mereka;

—to be continue.

No responses yet