Hinandra
4 min readJun 23, 2023

KARMA : Limbo.

cw// flashback and almost full of narration.

Kala berdiri di belakang Marco, sementara Ares sedang ditangani oleh Nicholas dan Dokter William. Lagi, untuk kesekian kali, ini Ares tumbang dalam pelukan Marco. Setelah tak lagi mampu mempertahankan kesadaran, biarkan rasa sakit menariknya ke dalam tidur tanpa bisa dibangunkan, selama Ares tidak ingin.

“Kalian itu terhubung, kalau perasaan lo mencekik padahal lo baik-baik aja, itu artinya Mate lo yang lagi kenapa-napa, Co, Ares mungkin lagi dalam bahaya.” Ucap Kala saat diterkanya Marco dalam keadaan yang tidak baik namun ditahannya dalam diam.

Tapi mata mana bisa berbohong, sekalipun Marco berusaha menyangkal, matanya bersuara tak secara harfiah, bahwa Marco tengah kalut, berpikir tak tentu arah, kacau dalam benak, rancu tak karuan.

“Mungkin dia lagi otw bunuh diri.” Ujar Kala sebelum pergi.

“Seharusnya lo udah cukup tau gimana rasa sakitnya kehilangan Niki, sekarang, bukannya lo jagain satu-satunya orang yang bisa lo jadiin keluarga, malah lo rusak hidupnya, lo biarin dia pergi dan bebas jemput mautnya sendiri, Ares gak ada lima belas di dunia ini, cuma satu, kalau dia Mati, ya lo pun akan Mati, itu udah Pasti.”

“Kenapa lo fokus sama dendam? Disaat Niki sendiri nunjukin ke lo sebaiknya lo harus gimana, ‘lo gak belajar dari Tahel, ‘kah? Dia meninggal, untuk Niki. Mereka Mate, jiwa mereka menyatu, sampai ke dimensi manapun, mereka bakal tetep jadi Mate.”

Kala menepuk ringan bahu Marco, “Lo bisa pilih, Hidup terus bareng Ares, perbaiki semua yang bisa kalian perbaiki atau Mati dan biarin semua waktu yang udah lewat jadi sia-sia.”

“Kita memang nggak bisa memilih Takdir, Co, tapi kita bisa berdamai sama Takdir kita, think of it, gue balik dulu.”

Kala pergi, tinggalkan Marco dalam hening, jantungnya berdetak ribut, isi kepalanya berseliweran menciptakan pusaran memori rusuh yang membingungkan.

Yang Marco pikirkan hanya Ares, dan Niki, dan semua yang telah terjadi, dan detik demi detik yang terasa sangat lamat, menyayat hati Marco dengan fakta bahwa semua rasa yang coba ia kalahkan dengan setumpuk kebencian kini telah memenangkan perang dalam dirinya.

Maka bangkitlah ia, bergerak serampangan, menyalakan mesin mobil, memacu cepat membelah jalanan tengah malam yang dingin, mengikuti insting dan koneksi dari Mate Sign dirinya dengan Ares, sebab biar bagaimanapun, Marco dan impulsif-nya telah mengunci sang Alpha kini menjadi Omeganya.

Langkah Marco berubah lari, menghampiri kerumunan yang sibuk memisuh dan menghujat seseorang yang Marco cari, seseorang yang terduduk, menunduk, tutupi telinga, diam dan Marco tidak lagi mampu menahan diri, dari denyut nadi yang bersinkronisasi dengan aliran darah yang menggelorakan Takdir keduanya;

“Enigma…”

Lirih suara Ares terdengar menampar keras dunia Marco, yang lantas kembali naungi tubuh ringkih itu dengan erat, yakinkan Ares bahwa;

“You are saved now, Omega.”

Tapi tidak. Nyatanya Ares tidak akan bangun hanya karena pagi telah datang. Tubuh kurus dibalik lembutnya selimut biru muda itu tetap diam diposisi yang sama, memejam damai bak sedang bermimpi indah hingga enggan untuk sadarkan diri bahwa masih berdenyut nadi di Dunia ini.

Tidak, Ares belum mati, namun tidak pula Hidup.

Limbo untuk kesekian kali.

Dan barangkali Dokter William akan segera muak memberi tahu Marco bahwa Ares dalam keadaan Koma, tubuhnya baik-baik saja, namun begitupun tak membuat Ares lekas sadar dan memohon pada Marco untuk diambil saja nyawanya.

“Ini terakhir kali saya bicarakan hal ini, Marco. Entah sampai kapan Kamu akan melibatkan kami ke dalam Takdir ini,” ujar Dokter William, sesaat setelah menjelaskan kondisi Ares, “saya nggak punya hak untuk mengurusi urusanmu, tapi, janganlah terlalu membenci seseorang, biar bagaimanapun, Ares tetaplah Manusia biasa, berhak atas hidupnya, sekalipun dia sudah melakukan hal buruk di masa lalu, apa kamu adalah Tuhan, sehingga merasa berhak untuk menghukum Ares sampai separah ini?” ujarnya kemudian, terdengar agak sarkas dan Marco bergeming.

Dokter William lantas berlalu, tinggalkan Marco dalam ruangan khusus dimana Ares kembali mengisi ruang kosong di atas brankar, dengan infus di punggung tangan, suara-suara mesin yang bantu pastikan bahwa Ares masih bernyawa, suara dengan garis-garis bergerak menggambar kehidupan Ares dalam tidur yang entah kapan ia akan bangun.

Marco mendekat, melangkah dengan setiap kali suara ketuk seakan menyalakan lagi satu persatu memori dalam ingatan, perihal Marco dan Ares sejak detik tercatat hati Marco jatuh suka pada eksistensi si Alpha kemudian rekam pahit dari kenyataan dimana Ares yang jatuhkan sakit pada hati yang sama, hati yang Marco biarkan jatuh pada sang Alpha, dipatahkan oleh kenyataan bahwa Ares pula sosok yang telah bawakan maut untuk Adiknya.

Raut tak berseri, bibir pucat terkatup rapat, tak lagi biarkan indera pendengar tersiram sua ringis, teriak, pekik nan kesakitan, permohonan untuk dibiarkan hilang nyawa;

Bagaimana jika Ares benar-benar pergi? Menyerah untuk hidup tanpa Marco yang renggut jiwanya.

Sebab benar, Marco bukan Tuhan.

Bagaimana jika, Tuhan yang mengadili Ares, menghakimi Marco.

Memutus tali takdir yang telah mengikat, untuk menarik keduanya ke arah berlawanan, berjauhan, amat jauh hingga tak sanggup untuk raih satu sama lain;

Bagaimana jika Karma dibayar dengan Karma itu kini menghukum Marco dengan menghilangkan Ares dari kehidupannya?

Lantas, bagaimana akhirnya jika Marco melangkah pada titik dimana ia harus berakhir sebab Belahan Jiwanya telah lebih dulu tiada?

Air mata itu lantas luruh, tak dapat lagi Marco bendung. Rasanya campur aduk, seluruh sakit dan rasa yang menyesakkan itu kini menggumpal jadi satu, membentuk pukulan demi pukulan keras membuat Marco terperangkap dalam Limbo-nya sendiri.

“Omega…”

Dan, biarlah Marco jatuhkan seluruh Arogansi, jatuhkan segenap Ego yang merajai sisi Enigma dalam diri, menumpu ketidakberdayaan pada genggaman erat tangan yang tak pasti kapan lagi akan balas sama eratnya, Marco jatuh pada keadilan dari segala sakit yang ia berikan, kini sakit itu membunuh dirinya perlahan-lahan.

“I lost everything.”

“Become an Uncontrollable Monster.”

Ares jatuhkan air mata dalam lelap, sebab suara patah arah Marco dapat terdengar sampai pada ruang rehat dalam kehampaan alam bawah sadar.

“But now, i know what i have to do, i know.”

“To Follow the Fate, Omega, Our Fate.”

—to be continue.

No responses yet