Hinandra
3 min readOct 5, 2023

KARMA : Forevermore.

“Kamu seorang Alpha, Ares.”

“Kehamilan pada Alpha benar-benar langka, dan bertahan hingga mampu melahirkan bayi itu nyaris tidak mungkin karena riskan.”

“Tubuh Alpha jelas punya kondisi yang berbeda dengan Omega yang memang pada dasarnya bisa mengandung, sekalipun Alpha dengan rahim memang ada dalam jumlah yang sangat-sangat kecil di dunia ini.”

Ares tersenyum pada Dokter Shakala yang selama ini menangani kehamilannya, seorang Dokter khusus yang merupakan sepupunya Jordan.

“Aku sudah sampai di titik ini, Dokter, aku sudah menerima apapun kondisi dan risikonya nanti, aku siap.”

“Tapi keluarga kamu harus tau, Ares.”

Dokter Shakala tentunya hanya ingin menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya, namun Ares sendiri memintanya untuk sedikit bersandiwara, menutupi kenyataan bahwa kehamilan Ares yang merupakan seorang Alpha ini sangatlah berisiko.

“Biar mereka tau, kalau memang sudah waktunya, Dok.”

“Kenapa kamu sembunyikan fakta ini?”

Ares nampak berpikir sejenak, yang sejujurnya tak punya alasan khususz sebab kondisinya pun baik-baik saja, hanya kenyataan memang melahirkan bayi sebagai seorang Alpha tercatat tidak mungkin, pasti gagal pada akhirnya.

“Aku diberikan kesempatan untuk mengandung, barangkali memang aku mampu untuk melahirkan seorang bayi.”

“Tapi keadaan ini harus kamu beritahu pada keluargamu, terutama Jordan dan Marco.”

“Keadaanku baik-baik aja kok, Dok.”

Dokter Shakala menaikan kacamatanya, seraya kemudian menghela napas pasrah, “kamu harus bertahan,” katanya.

“Saya percaya Dokter bisa membantu saya,” kata Ares.

Dokter Shakala menatapnya penuh, teduh, “saya akan usahakan yang terbaik,” ujarnya.

Ares tentu saja punya tekad, sebagai Alpha, Ares punya pilihan dan tujuan yang wajib mampu ia wujudkan.

“Saya akan berjuang untuk melahirkan anak kami, apapun risikonya, saya akan menjadi satu yang berhasil dari seribu kegagalan kehamilan yang dialami Alpha di seluruh dunia, saya akan bertahan, Dokter.”

Sepulang dari Dokter, Ares dan Marco pergi ke Pemakaman, mengunjungi Niki, bersama buket bunga yang dibawa Marco sementara Ares di genggamnya di sisi yang lain.

“Hati-hati Sayang.”

“Aku hamil ya, Kak, bukan jompo.”

Ares mendengus saat Marco menuntunnya saat naik tangga, demi apapun, Ares bukan Kakek Jompo.

“Tapi perutmu loh besar begini, Kakak takut kamu keberatan, kalau jalan susah jadinya Kakak tuntun.”

“Aku kuat tau, Kak,” ujar Ares diselipi manyun manja.

“Iya tapi tetap aja, Kakak cuma mau memastikan kamu aman setiap kamu melangkah, Sayang.”

Ares memandangi Marco yang meletakkan bunga di atas pusara Niki.

Berjongkok di sisi, mengusap batu nisan bertuliskan nama sang Adik.

“Selamat sore, Niki.” Sapa Marco kemudian.

Ares berdiri karena tak mungkin berjongkok, memandangi Marco yang bercengkrama dengan Adiknya dalam semayam.

Membawa lagi semua memori kembali pada saat-saat dimana Ares mempersiapkan segalanya hingga berakhir mengantar raga tanpa jiwa Niki bertinggal di dalam pusara ini.

“Niki.”

Lamat terasa pusaran waktu, tangan Ares mengusap perutnya, delapan bulan terlewati, satu purnama lagi menuju persalinan, maka Ares akan sampai pada saat-saat mendebarkan dimana ia harus berjuang mengorbankan segalanya untuk mewujudkan penebusan Karma-nya.

Melahirkan kembali Niki, hadirkan jiwanya ke dunia sebagai seorang anak dari Enigma dan Alpha yang merupakan Kakak kandungnya, dan seseorang yang telah membunuhnya.

“Aku masih terus berusaha semampuku untuk menebus semuanya, kamu harus memastikan aku sudah melakukan yang terbaik.”

“Untuk itu, lahirlah dengan sempurna, hiduplah dengan bahagia bersama kami nantinya, apapun akan aku lakukan untuk membayar hutang Karma-ku, Niki.”

Ares punya banyak hal yang ia rajut dalam mimpi-mimpi nan indah, dalam bayangan akan kehidupan yang berjalan normal dan sederhana, mengusahakan kebahagiaan yang luar biasa bersama. Merayakan setiap situasi dengan sepenuh hati.

“Suatu hari nanti aku akan menjadi Seorang Ibu, aku hebat ‘kan?”

Marco tersenyum tentunya, mengusak rambut Ares dalam rebah dan peluk erat mereka.

“Luar biasa, kamu selalu sempurna, selamanya.”

“Dan, jangan ragukan Kakak.”

“Apa yang Kakak bilang itu fakta, buktinya nyata, nggak perlu ragu, kamu sungguh luar biasa, Sayang.”

Pelukan Ares mengerat, menyandarkan kepalanya dibahu Marco, mendengarkan detak jantung sang Enigma jadi lullaby yang mengantarnya pada kantuk.

“Kakak juga, luar biasa. Selamanya.”

Karena bagaimanapun Ares usahakan tetap berjuang, berpikir positive dan menjalani semua apa adanya, ia tetap resah dalam hatinya, bercengkrama dengan dirinya sendiri.

Mampukah ia bertahan dan mempertahankan bayi dalam kandungannya?

“Kakak.”

“Iya Sayang?”

“Aku ingin bahagia selalu sama Kakak, sama anak Kita, selamanya.”

“Tentu. Kakak pasti akan mewujudkannya, Ares, selama kita punya kita, apapun halangannya, akan Kakak hadapi semuanya.”

“Aku bersyukur cerita kita berakhir sebahagia ini.”

Marco mengeratkan pelukannya, menjatuhkan ciuman di pucuk kepala Ares.

“Cerita kita akan terus berlanjut dan penuh dengan kebahagiaan, Sayang.”

“Karena cerita yang bahagia, seharusnya nggak pernah ada akhirnya.”

—Selesai.

No responses yet