Hinandra
4 min readJun 19, 2023

KARMA : Fate III

cw//tw : harsh words, bullying, psychology issues.

“Jordan kemana?”

Jake hampir jatuhin nampan yang baru aja dia angkat dari bench dapur, siap buat dia kasih makan malam untuk Ares, namun empunya datang sendiri.

“Jordan ada kerjaan, Res, tadi dia berangkat pas lo masih tidur.”

“Nggak tega bangunin soalnya, jadi gue suruh langsung jalan aja, maaf ya.”

Jake meletakkan nampan dengan sepiring lengkap menu makan malam, segelas air putih dan kemudian duduk di kursi ujung, sementara Ares lantas menghela napas.

“Sakit kepala ya, Res?” tanya Jake kemudian, ekspresinya kikuk, canggung dan sedikit takut.

Ares menatap lurus keluar, melihat halaman belakang yang hijau nan sejuk, rumah selalu baik-baik saja tanpa dirinya, tapi, sebaik-baiknya rumah ini, Ares sudah merindukan Rumah dimana selama ini ia dikurung di dalamnya, Rumah Marco.

Rumah Niki.

“Res, gue mau minta maaf. Atas apa yang terjadi sama ‘lo, gue ikut andil di dalam rencana Marco. Gue yang bantuin Marco untuk bisa balapan sama ‘lo dan kasih tau alamat Rumah Sakit ‘lo waktu itu, maafin gue, Res, gue tau ‘lo pasti benci sebenci-bencinya sama gue karena gue ikut jahatin lo, tapi gue juga bingung, gue sedih karena…”

“Aku tau…” sela Ares, tanpa balas menatap Jake.

“Aku tau kamu begitu karena kamu benci sama aku, Jake.”

“Res…”

Lantas menolehlah Ares, diberinya tatapan kosong pada Jake yang semakin jatuh pada rasa bersalah, entah kenapa firasatnya berkata bahwa kedukaan ini justru yang sangat menyiksa Niki.

“Semua orang yang kehilangan pasti sedih hatinya, Jake.”

Dan begitu Ares mengukir senyum getir menghias wajahnya yang pucat, saat itulah Jake kembali menangis.

“Marco… udah tunjukkan ke aku, gimana sakitnya ditinggalkan.”

“Aku membunuh Niki. Dan, menghilangkan Niki dari kehidupan Kalian, kamu membantu Marco, dan menyadarkan aku bahwa semua ini konsekuensi dari apa yang aku lakukan, aku minta maaf, ya, Jake?”

“Ares… udah… nggak apa-apa, gue udah ikhlas, gue merasa bersalah banget sama ‘lo, waktu gue tau lo keguguran, gue merasa gue jahat banget, seharusnya gue gak bantu Marco hari itu, ta–tapi…”

“Tapi semuanya udah terjadi, Jake.”

Ares menghapus air matanya dan bangkit.

“Kepalaku sakit banget, Jake. Aku mau tidur lagi aja, boleh? Maaf nggak bisa nemenin ngobrol, besok kita bicara lagi ya?”

Jake gak tau harus jawab gimana selain mengangguk, Jake pasti menyinggung perasaan Ares, sebagai Omega yang kehilangan Anaknya, Ares pasti hancur.

Pasti rasanya seperti ikut bersama Janinnya pada Kematian.

Kematian Jiwa.

“Ares!’ tapi Jake berseru, tepat saat Ares menapaki anak tangga pertama menuju kamarnya.

“Beberapa bulan sebelum ‘lo kenal sama Niki, Marco dateng ke Sirkuit buat nonton Balapan dan malam itu, dia lihat ‘lo, Res.”

“Jauh sebelum hari dimana ‘lo balapan sama Niki, Marco udah kenal duluan sama ‘lo, dan,” Jake menjeda, takut.

Takut Ares tak akan percaya saking sudah hancur dirinya diluar dan dalam oleh perbuatan Marco.

“Dan, malam itu, Marco jatuh cinta sama ‘lo, Ares.”

“Ares?”

“HEH, GUYS!’

“Itu Ares ‘kan?!”

“ARES!!”

Suara-suara keras itu datang dari kumpulan orang-orang yang dilewati oleh Ares, ditariknya tudung hoodie hingga tutupi wajahnya, Ares terus berjalan tanpa hiraukan teriak-teriakan orang padanya.

“Ares, berhenti!”

Namun seseorang mencegat jalannya.

“Lo… kenapa jadi kurus begini, Res?”

“Hahahaha, mampus lu kena karma!” sahut sebuah suara dari kumpulan orang dibelakangnya.

“Jangan dengerin, Res, lo baik—”

“Maaf, Rega, aku permisi.” Ujar Ares pada Rega, satu-satunya orang yang setidaknya peduli padanya.

“Res, tapi—”

Ares sudah lebih dulu melewati Rega, berjalan menjauh dengan kepala tertunduk, setiap orang yang melihatnya, selalu mengujar kebencian dan hinaan, namun Ares tetap berjalan, tak peduli wajahnya basah banjir air mata, jantungnya berdebar kencang, tangannya gemetar hebat dibalik saku hoodie, dingin bak mampu membekukan telapak tangannya.

Hingga sampailah langkah Ares, terhenti di tempat dimana awal dari ceritanya dengan Marco dimulai.

Cerita rumit dari semesta yang telah memberinya kesempatan untuk menjadi penjahat, dan merasakan kejahatan itu kembali kepada dirinya.

Entah ini sudah setimpal atau kurang, atau justru lebih, Ares tak ingin pikirkan.

Tiba-tiba telinga Ares berdengung memekak, suara-suara dalam kepalanya berteriak semakin keras bersahutan hingga Ares limbung, berjongkok dengan kedua tangan pukuli kepala keras-keras.

“HAHAHAH! UDAH GILA DIA SEKARANG!”

“Ini si Alpha arogan, sekarang jadi Omega, sinting pula!”

“Kasian bener nasib ‘lu, Res, Ares!”

“Lagian, pantes lah lo begini, Pembunuh!”

Ares berusaha untuk bangkit, untuk berdiri dan kabur, tapi dalam kondisi seperti ini, Ares cuma bisa merunduk dan menjambak rambutnya keras-keras, menahan sakit kepala yang berdenyut, detak jantungnya begitu cepat hingga perlahan-lahan Ares mulai sesak napas dan suara tawa orang-orang yang mengelilinginya kini membuat Ares kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

“Udah gila gini dibuang dia sama si Marco, kasian bener!”

“Mana kurus banget gini, jadi gak waras, mending ‘lu mati dah, Res, Ares!’

“Niki pasti puas liat lo begini di dunia sekarang, Res, makanya jangan jahat!”

“Dasar sok berkuasa, akhirnya jatuh juga lo, makan tuh karma!”

Ares meremat hoodie dibagian dada yang sakit bukan main. Napasnya mulai tipis-tipis, seluruh tenaganya habis untuk menahan serbuan rasa sakit, jiwa dan raganya.

“Maaf… Maafin aku…” lirihnya super kecil.

Tak terdengar di antara riuh rusuh orang-orang menghardik dirinya.

Dan, jika Karma berarti sebuah Pengorbanan, kali ini Ares ijinkan tubuhnya jatuh, bentur aspal sirkuit yang dingin malam itu, tubuhnya dingin, terduduk lesu dengan tangan menutup telinga, berusaha tak mendengar caci maki orang-orang yang kelilingi dirinya, namun sia-sia saja sebab suara yang lebih menyiksa tertinggal di dalam kepalanya.

‘Marco…’

“MINGGIR LO SEMUA, BANGSAT!”

Tepat saat tubuh Ares ambruk, suara teriakan penuh penekanan itu terdengar disusul rangkulan erat dari seseorang menyangga tubuh Ares dari jatuh.

Seketika semua orang mundur teratur, sebab feromon Marco mencekik pernapasan, membuat mereka lebih baik kabur sebelum mati hanya karena Keberadaan Marco.

“Napas.” Tuntut Marco, menepuk tengkuk Ares yang lunglai.

“Ares, lo aman, lo baik-baik aja, sekarang ambil napas.” Ujar Marco, seraya meraih dan genggam kedua tengan Ares dengan satu tangannya.

“Enigma….” lirih Ares, dengan napas putus-putus.

Kenapa selalu Kembali di saat Ares sudah pasrah untuk Mati?

“You are saved now, Omega.”

—selesai.

No responses yet