Hinandra
5 min readJun 16, 2023

KARMA : Fate.

“No!”

Nicholas membentak Kala ketika Suaminya itu memaksakan kehendaknya untuk mengantar Ares pulang ke Rumahnya.

“Gak bisa, Kak!” katanya.

“Aku gak bisa biarin Ares dipulangin dalam keadaan kayak gini!” ujarnya marah.

Kala menghela napas, “Sayang—”

“Nggak! Aku bilang nggak, tetap nggak, Kak—”

“Dengerin dulu, Nicho, dengerin Kakak, ini bukan keinginan Kakak, ini perintah Marco.”

“Oh, Damn! That Men, oh, Tuhan, Marco itu terbuat dari apa sih, Kak?!” amuk Nicholas dengan wajah kesal.

Kala melangkah mendekat, mengusap-usap bahu sang Omega, untuk menenangkannya sebelum lepas kontrol, “calm down, honey, take care of the baby,” ujarnya seraya mengusap perut Nicholas, sang Omega tengah mengandung, usia dua bulan.

Tepat saat Nicholas mengetahui kehamilannya, saat itulah Ares terbangun dari koma. Hari yang tak akan pernah Nicholas lupakan, saat ia harus mengorbankan kebahagiaannya mendapatkan kabar baik bahwa ia tengah mengandung, justru Nicholas harus menjelaskan kepada Ares bahwa ia telah keguguran.

Nicholas akan selalu mengingat kegagalan ini, bahwa ia tak mampu menolong Ares dengan mempertahankan janin kecil dalam kandungan sang Alpha, yang kini adalah Omega dari Monster bernama Marco.

“The baby is sad too, Alpha, we won’t let Him go.” Ucap Nicholas dengan sorot melas.

“Marco jahat banget, ini keterlaluan, dia udah bunuh anaknya sendiri, dia udah buta oleh dendam, Niki pasti juga gak suka hal ini, aku yakin, Kak.” Kata Nicholas dengan menggebu, suaranya bergetar, sedih dan kesal, Nicholas yang tau bagaimana hancurnya Ares selama ini.

Kala menelan kekesalannya, sejujurnya, ingin Kala tendang kepala Marco dengan sepatu besi, tapi bagaimana ya, Kala sudah tak habis pikir, tidak lagi mampu dan mau mencoba mengerti pola pikir Marco.

“Ares tinggal sama kita aja, ya?”

Kala menoleh pada Nicholas.

“Nggak bisa, sayang, Ares harus pulang ke rumahnya sendiri.”

“Kak, Ares bisa aja tantrum sewaktu-waktu, belum tentu bakal ada yang memahami Ares sebaik aku, kalau Ares lepas dari pengawasanku, nanti dia macem-macemin dirinya sendiri gimana?!”

Kala sudah kehilangan akal, menyerah sudah. Biarlah, bagaimanapun itu.

“Ares baik-baik aja, justru lebih bagus kalau dia keluar aja dari sini, Rumah ini yang jadi saksi kesakitannya, semakin lama disini, Ares gak akan pernah sembuh.” Ujar Kala kemudian.

“Tapi…”

“Omega, dengar.” Tuntut Kala.

Nicholas patuh, “iya…” lirihnya, menunduk dan tersengguk.

“A wise man once said, we all brought here by Fate, don’t worry about Love, if they are Destined for each other, they will come back Together, no matter how hard it is, Love will always find a way to Life and Bet to stay Whole in Eternity.”

Entah kenapa malam ini Area tidak hisa tidur. Biasanya, baru merebahkan diri sudah jatuh ke alam mimpi. Hidup setelah terbangun dari koma membuatnya menjadi manusia lemah, sedikit-sedikit mengantuk, sedikit-sedikit sudah lelah, padahal yang dilakukan hanya duduk diam, memandangi diri di cermin, menatap keluar jendela dan membereskan kamar Marco yang sebenarnya tidak pernah berantakan.

Tak sekalipun Niki datang ke mimpi Ares. Bahkan saat Koma pun Ares hanya mengitari ruang kosong hingga akhirnya terbangun saat terjerembab begitu saja ke dalam lubang cahaya merah yang menyilaukan, mendapati dunia setelah satu purnama ia tinggalkan dalam lelapnya koma.

Ares keguguran.

Marco menghilang.

Tidak, Ares tidak lagi mampu berpikir jernih, sebab itu saat Kala dan Nicholas mengajaknya Pulang dan yang dimaksud adalah Rumah Marco, maka Ares hanya diam.

Seakan-akan Dunia yang dapat ia kendalikan kini ia biarkan saja bebas mengendalikan dirinya.

Ares memejam, mencoba menjemput pelukan alam bawah sadar.

“Kak Ares.”

Dan matanya segera terbuka.

“Niki?” beonya seraya bangkit untuk duduk.

Menoleh sembarang dan tak menemukan eksistensi pemilik suara.

“Kak Ares, ayo, ikut Niki.”

Suara Niki terdengar amatlah jelas, kaki Ares terjulur menyentuh lantai yang dingin, telinganya awas mengikuti arah suara Niki menuju keluar kamar.

“Niki, kita mau kemana?”

Ares melangkah dengan kaki tanpa alas, menjejak lantai dingin nan keras, malam tiba nan cepat, Purnama bersinar di langit nan cemerlang.

“Kak Ares, jalan terus, jangan berhenti.”

“Niki, kamu dimana?” tanya Ares, walau bingung ketara jelas tapi kakinya tetap melangkah.

“Niki ada dihati Kakak, jadi, ikuti kata Hati, ikuti Niki.”

Demikian Ares menelan kebingungannya, melangkah melewati setiap pintu yang sudah tertutup hingga sampai di halaman belakang Rumah yang sangat luas, kaki-kaki Ares digelitik rumput yang sejuk, tubuhnya hanya dibalut piyama, malam yang cukup dingin memeluk Ares di bawah Bulan Purnama.

“Niki?”

Ares masih berusaha menemukan Niki, dalam kosongnya setiap jarak pandang, apa Ares benar-benar sudah gila ya? hingga mendengar suara Niki menjadi senyata ini yang mana bisa saja hanyalah halusinasi.

Ares mulai menggigil saat angin dingin lewat bahkan membuat hidungnya memerah karena dingin.

“Kenapa diluar padahal kedinginan?”

Dari arah belakang terdengar suara. Tubuh Ares berdiri kaku setelah sempat tersentak kaget. Matanya sedikit membola dengan ekspresi tak menyangka.

Segera ia berbalik dan, “Marco?!” serunya, reflek.

Pria empunya nama kini berdiri di hadapan, tidak, tadi suara Niki dan sekarang Marco, tidak-tidak, bisa jadi ini juga bagian dari halusinasi Ares lagi.

“Ma-Marco…” Ares menutup mata dan berkata lirih nyaris tak terdengar.

Tangan Ares naik, menepuk-nepuk kepalanya dan berkata, “ayo sadar, Ares, ini pasti halu lagi, tadi Niki sekarang Marco, kamu nggak gila!” begitu.

puk! puk! puk! hap!

Mata Ares terbuka, begitu ada yang menahan tangannya memukul kepala, dan dia adalah Marco yang kini begitu dekat dengannya.

“Lo nggak halu.” Kata Marco.

Kedipan mata Ares terekam lamat menjadi pusat atensinya, kepalan tangan Ares melemah, namun Marco tetap erat genggam pergelangan tangannya.

“Aku… nggak halu?”

Marco diam untuk menjawab.

“Ka-kamu… Marco…” lirih Ares dengan raut tak percaya dan perlahan matanya basah lalu—

hap!

Melompat dengan cepat melingkarkan lengannya di leher Marco, memeluknya begitu erat, yang membuat Marco sedikit terhuyung dan reflek melingkari pinggang Ares dengan lengannya.

Marco kaget, sungguh.

“Marco…. Kemana aja?”

“Ma-Marco…”

“Apa?”

Ares menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Marco, menghirup lamat-lamat feromon khas sang Enigma.

“Marco, Niki…”

Sorot mata Marco rumit, lurus menatap fokus, tidak mungkin.

Lagi.

Niki berdiri beberapa langkah besar disana, menatap luruh pada Marco dengan Ares dalam pelukannya.

Niki hanya diam dengan wajah pucat khas Roh yang tertahan dalam kehidupan setelah kematiannya yang belum bisa pulang ke Rumah yang semestinya sebab belum waktunya.

“Niki…”

Lirih Marco dalam kesedihan mendalam, membuat ia lantas membalas pelukan Ares, menenggelamkan wajahnya di bahu yang lebih muda dan menangis bersama.

Menangisi Takdir yang mengikat simpul Karma mereka menjadi ikatan rumit yang Mati, sulit untuk dilepas, sulit untuk diluruskan.

Namun ikatan Takdir sudah terjalin sejak saat setiap pasang jiwa ditakdirkan untuk lahir ke dunia.

Sama halnya Marco dan Ares.

Mereka adalah Dua yang satu, tercipta menjadi Beda untuk temu lalu menyatu.

“Marco.”

Malam itu, Ares tenggelam dalam rengkuhan Marco. Untuk pertama kali dalam kehidupan mereka berada di jarak dekat, baru kali ini mereka tidak terlibat drama sakit yang menjerat.

“Hm?”

“Kalau, Aku nggak bisa melahirkan Niki, biar aku temenin Niki aja, ya?”

Marco tak mampu langsung mengerti, namun tak bodoh pula untuk tau kemana arah ucapan Ares.

“Caranya?” tanya Marco.

“Kematian.” Jawab Ares.

“Niki pernah bilang, katanya Niki nggak bisa pulang ke Rumah Tuhan.”

“Dan, Niki minta supaya Kelahiran mempertemukan lagi kalian berdua.”

“Tapi… aku gagal, Marco.”

Sesungguhnya Ares sudah banjir air mata, namun dalam pelukan Marco yang bisa jadi besok tidak akan lagi bisa dia rasakan sehangat ini, Ares akan melakukannya atau tidak sama sekali.

“Untuk itu, kali ini aku mohon, Enigma"

“Terimalah Pengorbananku. Sebagai bentuk Karma yang akan aku bayar dengan Kematian. Aku akan temani Niki, selama apapun nanti.”

“Kamu sudah berhasil menjadi Maut untuk Anakku. Sekarang, jadilah Maut Untukku, Enigma.”

—Selesai.

No responses yet