Hinandra
4 min readJun 19, 2023

KARMA : Dilemma.

“Kenapa kamu bawa aku kesini?”

Ares berbalik, menatap Marco yang berdiri di hadapannya, Pria itu dengan wajah dinginnya, menatap pada dua orang yang kini berdiri di ujung beranda Rumah, menatap pada dirinya dan Ares, untuk salam perpisahan.

“Sana, pulang.” Kata Ares, menunjuk Rumah besar di belakang sana dengan wajah dingin yang tak diubahnya sedikitpun.

“Marco…” lirih Ares terdengar seperti rengekan.

“I Free you.” Ucap Marco.

Ares menggeleng, “Ma-Marco… ngga, nggak gini, maksudnya—”

“Pulang, Lo gue bebasin dari Karma yang gue bilang, bukan harusnya lo senang?” tanya Marco kemudian, jatuhkan ekspresi enggan pada Ares.

“Tapi — Marco… Kenapa, nggak! aku nggak mau pulang, aku nggak mau!” tolak Ares dengan segera meraih dan menggenggam erat telapak tangan besar milik Marco.

Dapat dirasakan betapa tremor membalut tangan Ares sampai pada genggaman tangannya pada Marco, tatapan Ares kembali basah dengan gurat luka yang tak ada habisnya.

“Kenapa gini, Marco?”

“Kenapa…. harus Pulang?”

Ares menggeleng, “aku nggak mau…” ujarnya sendu.

“Aku nggak mau pulang—”

“Kenapa? Gue kasih lo Bebas, gue balikin kehidupan lo—”

“NGGAK!” bentak Ares.

“NGGAK, KAMU NGGAK MENGEMBALIKAN APAPUN!” katanya.

“KAMU UDAH AMBIL SEMUANYA! KAMU UDAH HANCURIN HIDUPKU, MARCO!”

Sang Enigma lantas anggukan kecil kepalanya, raut dengan datar jatuh pada pandangan sang Omega, “boleh ‘lo anggap setimpal sama Niki yang lo ambil dari kehidupan gue, Ares.”

“Kita, sama-sama sudah saling menghancurkan.” Ujar Marco, mendekatkan wajahnya pada Ares yang terpaku, bungkam dengan mata yang terus fokus pada fitur wajah Marco.

Yang barangkali akan dilupakannya saat telah dijemput oleh maut nantinya.

“Dan, selesai.” Kata Marco.

“Marco…” lirih Ares nan sendu.

“A Karma wrapped in Blood, erased by arrogance, it’s over.” Ujar Marco, seraya melepas genggaman erat tangan Ares, biarkan tubuh kurus itu berdiri tanpa penyangga, biarkan air mata diwajah Ares terus luruh tanpa ada yang hapuskan.

“Ares!” seru Jordan bersama Jake yang berlari menyongsong Ares yang hendak mengejar Marco.

“NGGAK! NGGAK, MARCO!”

Tubuh Ares segera ditahan oleh Jordan, Jake berdiri memeluk Ares dari arah depan, “Ares, biarin dia pergi, biarin dia bebasin ‘lo!” seru Jake kemudian.

“Nggak! Jangan, jangan biarin dia pergi, tolong! Tolong tahan dia!” kata Ares tetap berontak.

“Ares!” bentak Jordan yang menahan tubuh ringkih Ares dari belakang.

Marco berjalan tanpa berbalik, tanpa menoleh, terus hingga sampai di sisi mobilnya, barulah pandangan mereka kembali bertaut untuk beberapa detik yang lamat.

“MARCO!”

“Udah, Ares, udah!” seru Jake.

“Nggak! Nggak mau udah, lepasin! Aku mau–Marco! Jangan pergi, Marco!”

“MARCOOOOOO!”

Brugh!

Tubuh Ares limbuh, jatuh bersimpuh di lantai halaman yang hangat sore itu, Marco meninggalkan dirinya, setelah Pembebasan yang ia janjikan, bukanlah sebuah pengampunan lewat pencabutan nyawa.

Tapi yang lebih menyiksa daripada Mati adalah ditinggalkan Pergi saat kehidupan tetap berjalan.

“Marco…”

Ares tak tau, siapa yang memeluknya erat sambil meraung tangis, Ares tak sadar siapa yang membawa tubuhnya masuk ke dalam rumah, yang Ares tau, ia hanya ingin segera Bebas yang sesungguhnya namun Marco selalu saja memenuhi pikirannya.

Bahwa hanya Marco yang boleh melakukan itu, hanya Marco yang bisa mengakhiri hidup Ares.

“Niki, maaf.”

“Jadi, kenapa lo gak bunuh dia itu karena lo sebenarnya Cinta dia, ‘kan?”

“Sekarang kalian itu Mate, lo nandain dia lebih dari satu kali, bahkan udah sampai tahap menghamili, Co, kenapa? tiga bulan melarikan diri berharap lo bisa matiin perasaan lo tapi nyatanya malah semakin jadi, iya?”

Marco terus saja bengong menatap pasir yang jatuh dalam tabung transparan di atas meja kerjanya, di depan sana, ada Kala yang sedang mengomel untuk betapa suntuk si Alpha itu akan tingkah kawan Enigma-nya yang benar-benar sangat Enigmatis.

Misterius, sulit dipahami, sulit dimengerti. Bahkan oleh Marco sendiri.

How Mad the World.

“Coba gue tanya, setelah lo melakukan semuanya sampai hari ini lo pulangin Ares ke rumahnya, apa lo puas?”

“Apa hati lo lega?”

“Co, apa lo udah ngerasa bebas?”

“Sekarang, setelah sekian lama sejak subuh dimana lo balik dengan begitu gembiranya lo cerita ke gue betapa lo naksir berat sama Alpha yang lo lihat dari jauh bernama Ares.”

“Setelah kepergian Niki, setelah semua kekacauan yang lo berikan ke dalam hidup Ares sampai detik ini, apa kebencian lo itu bisa mengalahkan perasaan Cinta lo untuk Dia?”

Kala yang semula berikan pandangannya pada Lukisan Niki di ruangan kerja Marco itu lantas berbalik, berikan tatapan seriusnya pada sang karib yang jatuhkan air mata entah untuk merepresentasi perasaan mana dalam tabula rasa miliknya.

“Garis batas antara Cinta dan Benci itu setipis sehelai tisu dibagi dua, Co.”

Mate met by Fate.” Ujar Kala.

“Bang.” Jatuh suara Marco disusul tertunduknya kepala sang Enigma.

“Lo bisa marah dan emosi, lo bisa amuk gue sampai mati tapi sekalipun itu terjadi, lo gak akan pernah bisa nyangkal dari omongan gue, Co.” Ujar Kala, saat matanya lihat kepalan tangan Marco nan erat di atas meja.

Enigma, si paling Superior, mana mau diberi nasehat, maunya selalu benar, sekalipun salah, ya pasti akan membela diri hingga dinyatakan benar.

“Lo, Marco, Lo Cinta Ares.”

“Ketika lo mencintai seseorang sampai cinta itu berubah jadi sakit, maka nggak ada lagi rasa sakit, yang ada cuma cinta.”

Kala langsung undur diri tanpa niat bicara apapun lagi setelah menggebrak semesta Marco dengan beberapa petuah bijak darinya.

Meninggalkan Marco berpikir, biarkan dia berusaha mengalahkan arogansi dan egoisme dalam dirinya. Biarkan Marco memerangi kebencian atas dasar Kejahatan yang telah Ares lakukan di masa lalu dan memutar kembali yang telah terjadi pada Ares oleh kedua tangannya hingga detik dimana Alpha yang telah Marco ubah pribadinya menjadi Omega itu memohon untuk tidak ditinggalkan.

Namun, Marco, sekali lagi, melarikan diri atas nama Pengecut yang tak berani tunjukan bahwa ada cinta dalam hatinya untuk Ares.

Ada jatuh cinta, yang tersimpan apik dalam tabula rasa, sebelum jatuh sakit tutupi cinta itu dengan segumpal benci yang membutakan kemanusiaan.

“Niki, maafin Abang.”

—to be continue.

No responses yet