KARMA : Crown.
Hari ini Ares pergi ke Rumah Marco, bukan untuk menemui empunya Rumah, tentu saja, tapi untuk bertemu Nicholas dan Kala, Dokter William juga mampir bersama Dokter Elkan yang menangani Amnesia Marco.
“Gimana, Marco yang sekarang?”
Jadi, ternyata inilah alasan Nicholas mengajak Ares melipir, tinggalkan Tiga Alpha dan Satu Enigma di Ruang Tengah berbincang, walau tetap saja atensi Marco terus mengikuti kemanapun Ares pergi.
“Kayak bukan Marco, tapi Marco, gitu,” jawab Ares, biarkan tangannya mengusap-usap perut Nicholas, dengan tatapan penuh nan teduh pada buntalan daging bernyawa di dalam lindungan Omega yang kini jadi sahabatnya itu.
“Gimana sebenarnya perasaan kamu buat dia?” tanya Nicholas, dengan tangan yang mengusap lembut kepala Ares, membiarkan sentuhan tangannya menenangkan si Alpha yang ia tau dalam hatinya sendu.
“Aku suka Marco kok.” Jawab Ares.
“After all this time?” tanya Nicholas.
“Uhm, Always.” Balas Ares, tatapannya masih pada perut Nicholas, namun ekspresinya tak bisa bohong.
“How about Love? Do you Love him?”
“We are Mate, gimana bisa aku nggak cinta dia?”
“Nggak sedikit Mate yang membenci pasangannya.”
“Kayak Marco dulu ya? Dia buat aku jadi Mate-nya, tapi dia Benci sama aku yang udah bunuh Niki.”
“Eh, eh, kata siapa dia full benci?” Ujar Nicholas, menyanggah.
“Itu dia Denial, Ares, ada Kala sama Jake kok, bukti kalau Marco jatuh cinta duluan sama kamu, cuma memang sudah digariskan Takdir, Kisah kalian jadi Luar Biasa untuk diceritakan kembali di masa depan.” Kata Nicholas penuh kasih.
“Waktu itu, Jordan mau bawa kamu pergi jauh, karena dia berpikir kamu nggak akan bisa sembuh kalau masih dekat sama Marco, tapi tebak apa? Marco bertaruh supaya Jordan nggak bawa kamu pergi,” jelasnya kemudian.
Diraihnya tangan Ares dari bertengger di atas perutnya, diusap-usap menyalurkan semangat dan kepedulian, “Ares, waktu Marco kecelakaan, kamu Kritis, kamu hampir Pergi, dan Marco mungkin sangat kalut dan ketakutan, sampai-sampai yang dia pedulikan cuma gimana caranya untuk cepat sampai ke Rumah Sakit untuk ketemu sama Kamu, dan Marco memang sampai di Rumah Sakit tapi dalam keadaan yang sama Kritis.”
“Aku, Jake, Jordan dan Kak Kala ada disana, kami yang melihat, perjuangan kalian untuk bertahan, aku pikir, salah satu dari Kalian bakal nyerah, atau bisa jadi Kalian Pergi sama-sama, tapi kami sangat bersyukur karena kalian Selamat.”
Nicholas menepuk-nepuk tangan Ares yang balas genggam tangannya, “It’s okay, now everything’s right.” Katanya.
Ini adalah Sebuah Cerita tentang Cinta, Pengorbanan dan Takdir.
Keangkuhan dan Pelupaan.
Takdir yang membuat Ares menjadi Jahat karena Keangkuhan, melupakan Cinta Kasih sesama Manusia, mengantar Nyawa Niki pada Mautnya.
Takdir yang membutakan Cinta Marco, dibalutnya dengan Kebencian, menjadi Karma untuk Ares yang telah memisahkan dirinya dengan satu-satunya Keluarga yang ia punya.
Menjadi setara, sama-sama jatuh pada Pusaran Takdir atas Karma.
Namun sekali lagi, Takdir telah menghapus Arogansi yang membalut Cinta, menyadarkan Sang Enigma dari Putaran Takdir yang memerangkapnya dalam Dilema, akan Cinta dan Benci serta garis tipis yang membatasi keduanya.
Kematian Ares adalah Gambaran dari Rasa Takut Marco, atas Penyesalan dan Gumpalan Rasa Bersalah yang datang begitu Takdir hendak mengambil satu-satunya Keluarga yang seharusnya Marco pertahankan keberadaannya.
Maka Kematian Ares adalah Kehancuran Marco.
Rasa Takut akan kehilangan, justru menjatuhkannya pada Palung Pelupaan, sebagai Bentuk dari sebuah Pengorbanan.
Satu-satunya cara untuk melarikan diri dari Putaran Takdir hanya ingatlah satu kalimat ini; Temukan Takdirmu.
Di tengah kehampaan dan kegelapan labirin Pelupaan, Marco dan Ares hanya berlari untuk hidup berbekal ketidakberdayaan, dengan risiko Tersesat, atau Ditemukan.
Namun, Niki hari itu, dengan Cinta dan Pengorbanan, Dibantu oleh Takdir yang telah mengikat, menuntun Ares dan Marco untuk saling Menemukan, kembali.
Menciptakan sebuah Linimasa, Awal dari Putaran Takdir yang baru, dengan Cinta dan Pengorbanan dalam Pelupaan yang membakar Keangkuhan.
Telah usai;
"Marco, please stop ngeliatin aku kayak gitu!"
Marco tersentak dari lamunannya saat bentakan bernada risih dengan wajah kesal dari Ares tertuju padanya.
Marco langsung gelagapan, karena tertangkap basah sedang menatap bodoh pada Ares.
Semua ini karena Mimpi Basah dengan Mimpi Super Erotisnya semalam, dengan Bintang Utama ya dirinya dengan Ares, Marco sudah gila.
Bagaimana bisa mimpi itu terasa amat sangat nyata? Hingga Marco pikir ia benar-benar pernah melakukan hal-hal tak senonoh tapi nikmat itu dengan Ares sebelumnya.
De Javu, istilahnya.
"Kenapa... mukanya kok merah gitu? Kak, demam ya? Maaf, tadi nggak sengaja ngebentak, soalnya aku—"
"Ares."
"I-iya?"
Tatapan takut Ares tertuju padanya, namun Marco hanya ingin mencoba ini, sekali saja, kalau boleh seribu kali dalam sehari, tapi sekali dulu, semoga berhasil.
"Kak?"
"Boleh cium nggak?"
Demikianlah, Marco dengan Kebodohannya;
Yang mana memang menyentak keras hidup damai Ares setelah menandaskan setengah teh hijau di cangkirnya, apa tadi?
Cium?
CIUM?
“Nggak boleh ya?” tanya Marco, terdengar sedih dan Ares panik.
“Eh, bukan! Nggak, maksud aku, itu, Kak, anu loh, maksudnya—”
“Maaf.”
“Jangan minta maaf terus!”
Marco tersentak, saat Ares membentak, lagi.
Ares bisa merasakan seluruh tubuhnya gemetar saat Marco diam, memandang lurus, fokus, serius, Ares merasa tubuhnya seketika lembek, kecil, tidak berdaya dan tatapannya berubah melas.
“Nggak sengaja, jangan sedih…” kata Ares lirih.
“Sedih…” ujar Marco, pura-pura, tapi Ares percaya.
Bodoh.
“Jangan… jangan sedih dong, aku nggak sengaja, hiks…” dan ya, yang mintanya jangan sedih malah sudah banjir lebih dulu.
“Jangan marah, Kak, hiks… aku nggak sengaja, beneran deh, minta maaf…” ujar Ares, mendekat dan meraih lengan kemeja Marco yang ujungnya dilipat hingga siku, ditarik-tarik berusaha meraih atensi Marco.
“Kakak…” rengek Ares, kelepasan.
Dalam hati sedang memohon, jangan sampai tiba-tiba jiwa Iblis Marco muncul, bisa tamat betulan riwayat hidup Ares.
“Aku—”
Jantung Ares benar-benar seperti akan meledak saat tiba-tiba saja Marco menoleh dan secepat kilat mengulurkan tangannya meraih dan menahan pergelangan tangan Ares pula mendekat dengan gesit mendorong tubuh Ares bersandar pada sofa.
Napas Ares sengaja ditahan, takut.
“Napas.” Bisik Marco.
De javu.
“Napas.”
“Ares, lo aman, lo baik-baik aja, sekarang ambil napas.”
Begitu Ares membuka mata dan mengambil napas panjang—
“Aku–hmphh!”
Sebuah ciuman menahan suaranya, beberapa detik yang mendebarkan disusul dengan debaran baru yang semakin kencang saat lumatan demi lumatan disusul dengan sesap dan pagutan tertaut dari Marco dan Ares;
Tentu saja, Ares tidak menolak ciuman itu, ciuman yang tak didasari emosi, amarah yang menggebu, atau keinginan untuk membunuh yang pekat seperti dulu, hanya ada kelembutan dan penghayatan dari hangat yang tercipta.
Tangan Marco melepas pegangannya dari pergelangan tangan dan menggantinya jadi genggaman pada jemari Ares yang balas erat kemudian, satu tangan lainnya, Marco bawa meraih pinggang sang Omega, menariknya lebih dekat.
“Eumhh…” lenguh Ares tanpa sengaja.
Marco melepas sejenak pagutannya, hanya untuk kembali meraup bibir Ares yang dibuatnya rekah, merah nan manis, candu.
Tiba-tiba hangat semakin terasa, wajah yang semula bersemu kini merah padam, tubuh Ares merasakan gejolak yang berbeda di detik-detik sebelum Marco menyesap bibir bawahnya dengan lamat, menarik diri tanpa memutus atensi, berbagi deru napas yang memburu, tatapan yang bertaut dari jarak yang teramat dekat.
Setiap detik dari mimpi itu terulang dalam ingatan Marco. Dan ya, nyatanya setelah berpuasa selama beberapa bulan oleh karena keadaan yang memaksa, Marco tak lagi mampu menahan diri.
“Kak…” tegur Ares, saat tubuh panas Marco menaungi dirinya, dahi sang Enigma bersentuhan dengan bahunya, detik berikutnya, napas Marco terdengar berat, juga sentuhan dari hidung bangir sang Enigma di perpotongan leher Ares, buat seluruh tubuhnya meremang, Ares menyandarkan kepalanya pada sofa, menutup mata saat merasakan reaksi alami dari tubuhnya ketika sang Mate mengalami Rut.
Semakin lama, rasanya semakin panas, membakar kewarasan hingga Rut Marco berdampak pada sisi Omega dalam tubuh Ares.
Kedua lengan Ares mengalung pada leher Marco, begitu sang Enigma nan erat memeluk pinggangnya;
“Omega, can i?”
“Sure, just eat me up, Enigma.”