KARMA : Chaconne.
Jordan benar-benar dibuat menyesal karena apa yang terjadi sama Ares sekarang. Seharusnya, dulu ketika Ares bersikeras dengan niat buruknya mencelakai Niki, Jordan gak langsung mundur dan lepas tangan, seharusnya Jordan bergerak buat menghalangi Ares yang membayar orang untuk sabotase Mobil Niki.
Seharusnya, Jordan gak biarin sahabatnya itu dibutakan oleh Nama Besar yang sedang ditantang oleh seorang Omega yang cukup terkenal di Lintasan, barangkali Niki memang salah memilih lawan, tapi Ares lebih bodoh lagi karena telah salah memilih jalan pintas untuk menang.
Biar gimanapun, Ares sudah membunuh satu nyawa walau gak secara langsung dengan kedua tangannya.
Mobil Niki menabrak pembatas dan terjun bebas ke jurang yang dalam mengantar jiwa sang Omega berpulang ke pangkuan Tuhan dan dengan mudahnya Ares selamat dari penyelidikan kepolisian karena Uang yang dia miliki.
Tapi sayang, kini bukan dinginnya penjara dan jeruji besi yang menahan Ares dalam belenggu penghakiman. Namun Marco dan segala macam upaya pembalasan dendamnya.
“Alpha.”
Jake datang, menyentuh bahu Jordan, membuatnya tersentak dari lamunan.
“Mikirin Ares ya?” tebak Jake seraya duduk si sebelah Jordan yang lantas mengangguk lesu.
Gurat resah dan sedih jelas dari wajah Jordan, “aku yakin dia pasti gak baik-baik aja saat ini, Jake, yakin seratus persen.” Katanya.
Jake menahan amarahnya, menahan seruan emosi yang selalu datang kala situasi ini terulang, dimana ia akan dibawa ke obrolan pasal Ares dan selalu memutar kembali kebencian Jake perihal apa yang telah terjadi pada Niki.
“Kamu juga harus coba buka mata kamu lebar-lebar dan inget kalau sahabatmu itu Pembunuh.” Ujar Jake dengan raut datar.
“Jake…” tegur Jordan dan sang Omega membuang muka, acuh.
“Perlukah kamu ada diposisi Tahel untuk tau rasanya menunggu kematianmu setelah Omega-mu mati lebih dulu ditangan orang jahat?” tanya Jake dengan sorot rumit, yang jelas Jake mulai muak.
Jordan harus sadar bahwa Ares memang salah.
“Jawab aku, Alpha.” Tuntut Jake.
“No, Omega, No need to, Maafin aku, ya?” balas Jordan, waktu sadar kalau sebaiknya mengalah sebelum obrolan jadi semakin berat.
“Berpikir pakai Logika, Jordan, sekali Pembunuh mau dengan cara apapun Penghakiman itu diberikan, tetep aja jadi Pembunuh!”
“Omega, Ares itu—”
“Berhenti untuk selalu dengerin perasaan kamu! Aku juga punya perasaan, Ares sahabatmu itu masih hidup dan happy-happy setelah kepergian Niki, sahabat aku yang nyawanya direnggut Ares si Licik itu!”
“Tapi sekarang Ares sekarat!” bentak Jordan, kelepasan.
“Aku bahkan gak tau gimana jelasnya keadaan sahabatku, Ares memang jahat, dia seorang Pembunuh dan aku tau hal itu sejak awal, tapi aku menyerah dan biarin dia nerusin niat buruknya, Aku juga Pembunuh, Jake!”
Napas Jordan terburu, emosinya menekan dada, Jake tercenung dengan mata basah, wajahnya merah antara marah dan sedih, kesal dan ingin mengamuk tapi ditahan.
“Aku gak mau ada diposisi Tahel yang kehilangan Omeganya, akupun gak mau ada diposisi Marco yang kehilangan Adik satu-satunya, aku gak mau kehilangan kamu, Jake, juga, gak mau kehilangan sahabatku, Ares.”
Kedua tangan Jake mengepal diatas lutut, mendengar suara Jordan yang penuh kesedihan pula sorot matanya yang menyuarakan pedih, Jake gak bisa untuk gak sedih.
“Ares masih hidup.” Kata Jake.
“Marco gak mau dia mati.”
“Aku gak tau apa alasannya pastinya. Keterlibatanku cuma sampai hari dimana aku bantu Marco tau alamat Rumah Sakit Ares dirawat.”
“Setelahnya, Marco gak biarin aku tau apapun, tapi yang aku yakin, Marco gak akan bunuh Ares.”
Karena Takdir ada di aliran darah, maka Jake tau apa yang sedang Jordan rasakan didalam hatinya, oleh sebab itu, Jake merasa bahwa, gak seharusnya dia marah sama Jordan karena mereka sama-sama punya perasaan yang berhak dihargai.
Dan Simpul Mate itu terhubung, jadi yang bertaut akan selalu menemukan caranya sendiri-sendiri untuk kembali rekat setelah renggang.
“Kenapa, kamu bisa seyakin itu?”
“Setelah kamu tau sendiri apa yang diterima Ares atas nama Karma-nya dari Marco.”
“Omega…”
Jordan menatap Jake yang balas menatap sendu, sesungguhnya Jake sedih, sudut hatinya menyimpan rasa kasihan untuk Takdir yang mengikat Marco dan Ares.
“Sebelum semua ini terjadi, jauh sebelum Ares kenal Niki, Marco sudah lebih dulu kenal Ares, dan…”
Jake menjeda kalimatnya, untuk menangis saat sesak di dadanya terasa menghimpit.
“Dan?” tanya Jordan.
“Dan, Marco jatuh cinta sama Ares.”
Raungan suara tangis teman-teman Niki kembali berputar memekakkan telinga. Hujatan demi hujatan dari Jake membuatnya merasa sesak bak tenggelam dalam lautan rasa bersalah.
Ares limbo.
Ares berada di antara Hidup dan Mati.
Hidup yang terasa Mati, dan Mati yang nyatanya ia masih Hidup. Di tengah-tengah penghakiman dari Masa Lalu, dimana Niki ditemukan tewas dalam Mobil yang jatuh ke Jurang akibat mesin yang disabotase Ares oleh bantuan orang-orang suruhannya.
Dan, kini Ares mengerti.
Bahwa Jordan benar, perihal Given-Taken.
Apa yang Ares ambil disaat itu, kemenangan yang semu.
Dan apa yang didapatkannya kembali kini, kehampaan dalam hidup yang abu-abu, limbo.
Setiap detik terdengar jeritan keras suara dirinya sendiri yang berteriak minta dibebaskan. Ares mendengar suaranya sendiri seperti tenggelam dalam dinginnya lautan dan meminta diselamatkan.
Ares mendengar suaranya sendiri seperti tubuh dibakar panasnya api yang berkobar tanpa pernah padam dan jeritan-jeritan itu membuat Ares frustasi akan ketidakjelasan hidupnya.
Ares tersesat di tengah padang tandus malam hari, dengan Bulan Merah yang menyinari, suara langkah kaki yang berisik, napas yang memburu, dikejar perasaan takut, disusul derap langkah terseret tanpa wujud, langkah bayangan dirinya sendiri yang terluka parah, dibawa lari menghindari apa yang tidak pasti.
“Berhenti.”
Langkahnya benar-benar berhenti, dihentikan oleh kedua lutut yang membentur tanah, mengalirkan darah dari luka yang seketika tercipta.
“Niki…” lirih Ares pada pemuda dengan seluruh pakain berwarna putih dihadapannya, membelakangi cahaya Bulan Merah, kontras dengan warna gelap yang mengungkung.
Ares berpikir bahwa barangkali Niki akan menendang jiwanya ke Neraka untuk akhirnya sampai pada kematian.
“Jangan sedih.” Ucap Niki, dengan labium yang pucat, langkahnya mendekat.
“Jangan menyesal.” Ujar Niki, saat tau bahwa seluruh nyawa dari tatapan mata Ares menyuarakan rasa bersalah.
“Satu yang pasti dari Hidup adalah Mati.”
“Jadi, kalau sekarang Hidup kak Ares belum pasti, berarti belum boleh Mati.”
Ares langsung menggeleng ribut.
“Nggak! Gue mau mati aja, Niki.”
“Tolong, biarin aja gue mati, sekalipun gue masuk Neraka, gue mau.”
“Gue mau masuk Neraka dan mati, pergi dari Dunia, pergi dari semua siksaan ini, gue mau lepas — ”
“Untuk disiksa di Neraka?” tanya Niki menyela.
“Kak Ares. Neraka nggak sebaik itu mau memberikan keringanan pada seorang Pembunuh.” Ujar Niki, terdengar sarkas dan Ares bungkam.
“Niki… Gue takut. Gue takut banget sama Marco.” Ucap Ares kelewat jujur, dari matanya yang mengulirkan deras darah, dari luka-luka yang tiba-tiba saja muncul disekujur tubuhnya.
“Rasanya sakit banget, Ki. Apa nggak bisa biarin gue mati aja? Gue serius lebih mending masuk Neraka daripada kembali hidup dan disiksa Marco, tanpa bisa mati entah apa alasannya.”
Niki memejam, takut. Wujud Ares perlahan-lahan berubah menjadi sangat mengenaskan. Banyak luka diwajahnya, tubuhnya jadi telanjang bulat dengan begitu banyak bekas luka berdarah, pukulan dan jejak-jejak menjijikan.
Ares bersujud dalam permohonannya, pada Niki yang bahkan bukan apa-apa. Sama Limbo, dalam kehidupan setelah kematian.
“Kita sama, Kak Ares.” Ucap Niki, memberanikan buka mata.
Menatap pada wajah Ares yang menyedihkan, sudut bibirnya koyak namun terus menyuarakan tangis.
“Kakak hidup, nggak bisa mati.”
“Aku mati, nggak bisa hidup di dimensi yang seharusnya.”
Ares menatap melas, kembali terasa sesak di dadanya yang seolah dicongkel dengan pisau membelah tulang rusuk.
“Kita sama-sama tersiksa.”
“Kita semua, sedang menerima Karma.”
Kepala Ares jatuh tertunduk.
“Semua ini salah Gue, Niki.”
“Gue Pembunuh. Gue berhak untuk semua ini, tapi kenapa ‘lo nggak bisa pergi ke dimensi yang seharusnya?”
Niki menekuk kakinya, membiarkan lutut menyentuh tanah yang bersimbah darah dari luka-luka di tubuh Ares.
“Alam punya Hukum yang nggak bisa kita tebak, Alam dan Karma adalah sebuah Enigma, Kak Ares.”
“Kakak bunuh aku, dan bikin Abang dendam. Realisasi dendam itu, sekarang membawa Kakak disini, dan kenapa aku nggak bisa pergi ke dimensi yang semestinya? Karena kalian.”
“Karma buruk Kakak datang dari Abang, dan Karma Abang jatuh ke Aku.”
“I-itu nggak adil!” kata Ares.
“Kenapa jadi ‘lo yang kena?!” Amuknya.
Niki menggeleng kecil, “cuma Alam yang tau jawabannya, Kak.”
“Niki…”
“Kak Ares.”
Niki menerima uluran tangan Ares yang membuat pakaian Niki jadi bernoda merah.
“Gue harus gimana, untuk menebus Dosa Besar ini, Niki?”
Inilah yang Niki tunggu, pertanyaan yang Niki nantikan berdasar dari hati Ares yang telah menyatakan kesalahannya, menundukkan egonya, mengakui dosanya.
“Kakak sudah membawakan Kematian yang memisahkan aku dengan Abang.”
Niki balas menggenggam erat tangan ringkih Ares, membuat darah mengalir dari luka ditelapak tangan sang Alpha.
“Jadi, tebus dosa Kakak dengan mempertemukan lagi, aku dengan Abang.”
“Gimana caranya, Niki?” terdengar putus asa, Ares melempar tanya.
Niki menatap Ares untuk jeda yang sangat lama. Mengingat satu malam dimana ia bertemu Malaikat dengan sayap yang terbakar, yang berkata bahwa jika Kematian enggan menelan jiwamu, maka kembalilah Hidup.
Oleh sebab itu, satu-satunya Cara yang mampu menghidupkan kembali jiwa Niki adalah—
“Sebuah Kelahiran.”