Hinandra
7 min readOct 5, 2023

KARMA : Always.

Marco berjalan berat turun dari mobilnya, ia bimbang sebab sejatinya tetap takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan pada sang Omega, namun paham betul bagaimana Ares serius memintanya untuk datang.

Pelataran rumah Jordan kembali menjadi tujuan, mengetuk pintu dan segera bertemu dengan Jake yang nampak kaget melihat eksistensinya.

“Marco? ada apa, siapa yang ijinin lo kesini?” tanya Jake jelas siaga satu.

“Gue cuma berdua sama Ares di rumah, Jordan masih kerja, tolong jangan buat keributan, mending lo pergi sekarang,” ujar Jake, mengingat bagaimana Jordan begitu protektif pada Ares dan mewanti-wanti untuk tidak mengizinkan Marco untuk datang saat Jordan diluar rumah.

“Jake,” Marco rasa tangannya dingin, jantungnya berdebar kencang, mendapat sorot menghakimi dari Jake yang tak bisa ia pungkiri bahwa ia pantas walau sakitnya pun terasa amat keras, tapi Marco punya tujuan akan kedatangannya.

“Gue datang untuk Ares.”

Jake jelas tak percaya, “jangan bohong, Ares bahkan takut sama lo, nggak usah ngibul, pergi sana,” katanya dengan sangat sinis, walau sejujurnya kasian pula melihat wajah sedih Marco.

“Minimal kalau beneran mau liat Ares, pas ada Jordan aja, kalau sekarang ngga bisa, gue takut Ares kenapa-napa karena lo,” kata Jake kemudian.

Marco menghela napas, berat sekali rasa dadanya, “sebenarnya gue pun takut soal Ares yang tantrum kalau bertatap muka sama gue secara langsung, tapi gue serius kalau Ares yang minta gue untuk datang, Jake, bahkan Ares yang mohon-mohon, demi Tuhan gue ngga bohong,” jelasnya dengan ekspresi putus asa, berharap Jake akan percaya.

“Udahlah, Marco, percaya sama lo bukam cuma susah tapi rasanya gak mungkin, gue ngga mau denger apapun, lebib baik lo balik sekarang sebelum gue panggil polisi,” kata Jake dengan raut dingin.

Marco mundur, langkahnya terasa berkali lipat lebih berat, tangannya pasrah di kedua sisi tubuh yang lemas, memang rasanya semua ini pantas untuknya tapi Marco sama sekali tak mampu biasakan diri dengan situasi dibenci sana-sini.

“Gue pamit, titip salam sama Ares.”

Marco berbalik, membawa langkahnya menjauh.

Menghitung setiap kali kakinya menjajaki halaman menuju arah keluar.

“Kakak!”

“Eh, Ares!?”

Teriakan Ares dan Jake bersahutan, lalu saat Marco berbalik, tubuhnya harus terbentur dengan tubuh Ares yang berlari menyongsong dan segera melompat ke dalam rengkuhannya, erat memeluk Marco yang jelas terkejut hingga wajahnya resah.

“Ares…”

“Kenapa mau pergi? ‘kan udah dibilang aku yang minta Kakak untuk datang?!”

Marco malah dimarah.

“Ares!” Jake berjalan mendekat dan berseru dengan ponsel di telinganya.

“Kakak diusir sama Jake ya?” tanya Ares pada Marco yang lantas tergagu.

“Jake, kenapa usir Kak Marco?”

“Hah?” Jake speechless, “tap… tapi, Res… ini Marco…” katanya, bingung mau katakan, bagaimana ya?

Tapi Ares malah marahi dirinya, bahkan Marco juga.

“Kakak nggak bilang ya kalau aku yang minta Kakak buat datang?!”

“Eu… bi… bilang Sayang… cuma, Jake…”

“Enggak, ih, Jake harusnya tanya aku dulu, jangan main usir-usir Kak Marco!”

“Aa… nu… itu, maksud gue ‘kan gini ya Res, Jordan— ”

Ares mundur dan menatap Marco dan Jake bergantian dengan raut menghakimi.

“Aku udah izin sama Jordan tau!”

Jake sama Marco kompak saling tukar pandang, bingung.

Bagaimana bisa Ares jadi begini? berubah drastis.

Jake menyenggol lengan Marco supaya menanggulangi Ares yang marah-marah.

“Sayang…” panggil Marco selembut mungkin.

“Aku mau dipangku aja loh susahnya minta ampun!”

Jake tutup mulut super heran saat Marco mundur dan menahan napas, takut tiba-tiba Ares menyembur api karena marah. Hiperbola.

“Ka… kamu nggak kenapa-napa, ‘kan?”

Ares mengulurkan kedua tangannya yang dingin dan bergetar, membuat Marco enggan menyentuhnya, takut.

“Kenapa… Kakak bahkan ngga mau sentuh aku…” Ares mendangak, wajahnya merah, matanya segera penuh dengan basahnya air mata, bibirnya melengkung sedih dan bergetar.

“Pegang, Co, pegang!” ujar Jake panik, mendorong Marco untuk meraih Ares.

“Ta… tapi… Ares…”

“Kakak nggak sayang aku!”

“Heuwaaaa!”

Hap!

Marco segera meraih Ares yang berseru, suarakan tangisnya kencang yang membuat jantung Marco semakin ribut, berpikir ia akan sulit membuat Ares bisa disentuhnyaa namun ternyata justru Ares sendiri yang merengek seperti bayi untuk pelukan darinya.

Marco bingung.

Bahkan Jake terus saja terheran-heran, hingga lupa kalau mereka masih di halaman.

“Masuk, jangan disini, nanti kepanasan!” kata Jake.

“Gendoooong~” rengek Ares tanpa diduga, Marco mengulum bibir bawahnya karena gemas.

“Gendong aku cepet!” Ares memeluk erat leher Marco hingga Enigma-nya itu merunduk.

Terlalu terheran hingga banyak terdiam, bingung.

Tapi kemudian Marco meraih Ares ke dalam gendongannya, mendengar hela napas panjang dari labium sang Omega yang pula mendusel di bahunya, seakan-akan suarakan kelegaan, Marco tersenyum simpul.

“Eh, jangan disini, ayo ke kamar!”

Jake hampir serangan jantung kala itu, Ares menolak saat Marco hendak menurunkannya di sofa ruang tengah.

“Ares!” tegur Jake, khawatir.

“Eum… Sayang, Jordan belum pulang, jadi sebaiknya kita—”

“Enggak! Aku maunya di kamar, kenapa sih? Kakak nggak mau ya nemenin aku?!”

“Bu… bukan gitu, Sayang, maksud Kakak, nanti Jor—”

“Iiihhh, stop Jordan Jordan terus yang mau dipangku itu aku, bukan Jordan!”

Jake menahan napas saat bingung harus takut dengan gaya apa lagi melihat tingkah Ares hari ini, sudah macam kerasukan tapi ini benar-benar Ares.

“Ayo ke kamar, Kakak!”

Marco menelan ludah berat, menoleh pada Jake yang menghela napas dan menatap melas, “turutin aja, jangan tutup pintu, awas lo! gue liatin dari luar,” katanya.

Marco jadi ingin tertawa kencang dengan situasi ini, rasanya, senang tapi terkejut, luar biasa.

“Ayooooooo!”

“Oh! Iya, iya Sayang, sabar ya…”

Marco pun kembali melanjutkan langkah, menuju kamar Ares yang masih dia ingat betul letaknya dimana.

Jake benar-benar mengekori mereka, memantau di luar kamar yang pintunya tetap terbuka sambil menghubungi Jordan supaya datang lebih cepat dan juga menghubungi Nicholas perihal Ares dan tingkahnya yang tiba-tiba tidak takut Marco.

“Itu biasa, Jake, orang hamil pasti melalui fase mood swing yang luar biasa, Ares bisa lebih dari itu nanti, tapi kabarin gue terus ya kalau dirasa ada yang berlebihan sampai mengkhawatirkan, untuk sekarang dipantau terus karena kebetulan disitu ada Marco, mood Ares bisa berubah kapan aja kalau yang menghadapi ngga pinter menjaga suasana hatinya, tapi semoga Marco cukup bisa menjaga mood Ares tetap seperti sekarang.”

Begitulah sekiranya info dari Nicholas, yang membuat Jake menghela napas heran, bingung dan tercengang, “apanya yang seperti ini? kaget gila, ntar kalau dia tantrum ngamuk-ngamuk, gue yang digebuk gimana?! bagus kalau dia ngamuk gebukin Marco, kalau malah nyakitin dirinya sendiri gimana? sedih lagi gue!”

Jake memutar tubuhnya, melihat ke dalam kamar dimana Ares di pangkuan Marco, memeluk Enigma-nya erat-erat dan entah apa yang mereka bicarakan sebab suaranya terlalu kecil untuk bisa Jake curi dengar.

Tapi lantas Jake terkekeh, jantungnya terasa lebih bernyawa melihat pemandangan itu, Marco dan Ares berhak untuk hidup yang lebih baik, sama halnya seperti doa Jordan yang dibagi padanya setiap malam.

“Jordan harus liat ini!”

cekrek!

Suara jepretan kamera ponsel Jake membuat Marco menoleh.

Jake melempar senyum lalu cengengesan kecil, mengacungkan satu ibu jari pada Marco entah untuk maksud apa, tapi Marco hanya bisa balas dengan anggukan kecil.

Jake pikir ia harus melipir, sebelum benar-benar berakhir menjadi cctv hidup disana.

“Aaahhh! after all this time, kenapa mereka lucu banget kalau lagi begini?!” ucap Jake seraya mengirimkan foto yang diambilnya pada Jordan.

Duduk di sofa ruang tengah, menanti Jordan yang katanya sedang dalam perjalanan.

Menatap teduh pada potret manis Marco yang memangku Ares, “i hope, you will always be happy,” doanya dengan sepenuh hati.

“Ares.”

“Uhm?”

“Kakak jantungnya berisik!”

Marco mengulum bibir bawahnya saat itu, Ares yang menyandarkan kepalanya di bahu Marco jelas bisa rasakan seberisik apa sumber kehidupannya di dalam sana.

“Iya… itu karena ada kamu, Sayang, dengerin aja, ya?”

Ares tersenyum, mendusel hidungnya di bahu Marco, “Kakak lucu,” katanya.

Taukah Ares bahwa Marco bahkan sudah hampir meledak menahan diri sebab Ares dan tingkahnya, bagaimana ia berbicara membuat Marco mati-matian menahan gemas.

“Tadi Kakak mau ngomong apa?”

Marco malah nge-bug.

Ares menarik diri, mengulurkan tangannya berletak di kedua sisi bahu Marco yang terdiam tepat di hadapannya.

Kepala si Alpha miring dengan raut wajah bingung.

“Kakak?”

“Ah.. iya, Sayang?”

Marco kaget begitu sadar dari lamunan dan wajah menggemaskan Ares yang menatapnya penuh raut bingung dan heran begitu dekat dengannya.

“Kakak mau ngomong apa tadi?”

“I… itu… kamu…”

“Aku…?”

Marco bingung, haruskah ia tanyakan bagaimana kondisi Ares saat ini? Marco hanya takut sebenarnya Ares sedang memaksakan diri berada sedekat dan serapat ini dengannya.

“Kakak mikirin apa?”

Marco menghela napas, menatap Ares dengan binar payah, rindunya sudah setinggi langit. Marco menyerah.

“Kakak selalu mikirin kamu.”

“Sama, aku juga selalu mikirin Kakak.”

Marco tersenyum.

“Mikirin Kakak gimana?”

“Kapan Kakak dateng lagi.”

“Sekarang.”

“Uhm, tapi tetap kepikiran.”

Tangan Marco terulur mengusap pinggang Ares dengan lembut, “kepikiran apa?” tanyanya.

“Kenapa Kakak bengong-bengong terus? Kakak takut sama aku ya?”

Mana ada Marco takut dengan buntalan mochi macam Ares?

Harusnya, Ares yang takut dengannya.

“Kakak mikirin keadaan kamu.”

“Kita sedeket ini, Sayang, Kakak takut di dalam sini kamu sedang ngga baik-baik aja,” Marco menepuk dada Ares pelan lantas si Alpha meraih telapak tangannya.

Segera erat bertaut genggaman, kedua tangan yang dingin dan bergetar, Ares menatap Marco dengan begitu intens, “Kakak juga ngga baik-baik aja ‘kan?” tanyanya lembut.

Marco terpaku dalam tautan tatap yang erat, mengangguk menjawab pertanyaan itu.

“Sekarang aku pikir aku ngga masalah apapun situasinya asal ada Kakak bersamaku.”

“Asal Kakak di dekatku, aku tau kalau Kakak nggak akan ingkar janji, maka aku juga nggak perlu menepati janjiku untuk berhenti menggantungkan harapan bahwa Kakak akan selalu ada di sisiku.”

Genggaman tangan itu mengerat, tepat saat Ares mendekat untuk meninggalkan sebuah ciuman di bibir Marco.

“Kita mungkin sama-sama sakit, tapi selama kita juga terus sama-sama, kita bisa saling membasuh untuk sama-sama sembuh, Enigma.”

—to be continue.

No responses yet