Hinandra
4 min readMay 27, 2024

Flashback, lip lock jinx.

Kiran sudah bekerja selama dua minggu dengan Evan. Awalnya, Kiran bekerja dengan orang lain, tapi karena dapat tawaran gaji yang lebih besar akhirnya Kiran pilih kerja sama Evan.

Sebenarnya, kerjaan Kiran gak terlalu berat ataupun buruk sama sekali. Malah lebih ringan kerja sama Evan yang gaji nya lebih besar daripada sama orang sebelumnya yang gaji nya standar tapi kerjanya cukup berat. Sebab, Evan sendiri sudah cukup tertata, semuanya. Jadi Kiran cuma harus jadi alarm untuk ingetin jadwal keseharian Evan dan juga ngintilin Evan kemana-mana, kalau yang satu ini, atas perintah Evan sendiri, misal kalau Evan mau pergi tanpa Kiran, ya Kiran off.

Lumayan lah, Kiran gak menyesal menerima bekerja dengan Evan.

Sampai suatu malam, jam kerja Kiran udah selesai, dia lagi makan malam di kostannya dan Evan telepon.

“Hallo, Evan?”

“Lo dimana?”

“Di kost, ada apa?”

“Ke rumah gue sekarang.”

“Tapi jam kerja gue udah selesai dua jam yang la — ”

“Dateng aja, sekarang. Lo gue bayar.”

Denger soal bayaran, Kiran pun langsung bergegas selesaikan acara makannya dan pergi ke rumah Evan.

Walaupun menggerutu karena malam itu cukup dingin dan seram untuk Kiran yang penakut, Kiran tetap bisa sampai di rumah Evan dengan ojol yang untungnya ramah.

Tingnong!

Walaupun Kiran udah disuruh langsung masuk, dia tetap terbiasa pencet bel dulu, setidaknya biar ada tanda kalau dia udah sampai.

“Evan?” panggilnya canggung soalnya itu rumah terang semua tapi sepi.

Ngomong-ngomong, Evan gak mau dipanggil Boss atau bahkan Kak meski Kiran lebih muda satu tahun dari dia. Evan maunya dipanggil Evan dan itu mutlak, Kiran iyain aja daripada si Evan marah.

“Ev — ”

“Tapi aku udah lakuin banyak hal buat kamu, Evan!”

“Selama ini kita selalu habisin waktu sama-sama, apa itu gak ada artinya buat kamu?”

Kiran langsung mundur teratur waktu Evan keluar sambil nyeret perempuan yang bajunya acak-acakan, bahkan kaya belum kepakai sempurna.

‘Setidaknya biarin lah dia benerin roknya dulu,’ ujar Kiran dalam hatinya.

Perempuan itu menggedor pintu rumah Evan untuk beberapa saat sampai dia ngamuk-ngamuk lalu pergi sambil maki-maki Evan.

Evan yang berdiri di jendela, memastikan perempuan itu benar-benar udah hilang lalu hela nafasnya terdengar seraya kedua tangannya meraup wajah yang ketara banget raut kesal dan lelahnya.

“Evan?” tegur Kiran dari belakang.

“Ada apa?” tanya Kiran dengan raut kasian.

Berpikir si Evan habis dikhianati oleh perempuan tadi, lalu mereka berantem dan berakhir dengan adegan pengusiran itu.

“Kiran.”

“Iya?”

Evan berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah, pergi ke dapur dan mengambil sekaleng alkohol dari dalam kulkas, Kiran berdiri di hadapannya berbatas counter dapur.

“Cariin gue Lonte.”

“Hah?!” kaget Kiran terheran-heran.

Lalu mengorek telinganya, berpikir dia salah dengar, “gi-gimana?” ujarnya waktu mau memastikan.

Evan nampak masih kesal, tapi Kiran tau bukan kesal sama dia, cuma tetap aja, Kiran yang lemot bisa nambah buruk mood Evan.

Tak!

Pantat kaleng menyentuh keras keramik counter.

“Cariin gue Lonte malam ini juga.”

Kiran langsung terdiam, ini dia udah yakin dengan pendengarannya.

“L-Lonte?”

“Lo gak bisa?”

“Eh?!”

Kiran berjengit mundur waktu tatapan tajam Evan menusuk padanya. Jantung Kiran langsung berisik.

“Di-dimana gue bisa dapetin — ”

“Dimanapun, malam ini juga, gue gak mau yang cacat apalagi penyakitan, mahal juga gak masalah, asal dia bersih dan gak baperan!”

“Ke-kenapa lo gak cari sendiri? atau tanya temen-temen lo? mereka pasti lebih tau daripada gue yang — ”

“Kalo gue bisa cari sendiri gak akan gue minta lo untuk cariin.”

Tatapan Evan makin keruh, Kiran gemetar, matanya melirik jam, hampir jam dua.

“Lo bisa pergi ke rumah bor — ”

“Gue mau disini.”

“Tapi gue gak tau hal-hal semacam itu, Evan.”

Kiran jujur, dia sendiri aja belum pernah nyentuh perempuan, apalagi soal perlontean, jelas-jelas Kiran nol besar!

“Lo gak perlu paham soal semacam itu, lo cuma harus pergi, cariin gue Lonte untuk malam ini, sebelum pagi datang, atau lo yang akan gue pecat tanpa pesangon sedikitpun!”

“HA?! mana bisa begitu — ”

“Kenapa gak bisa kalo kerja lo aja gak becus?!”

Jam dua malam itu Kiran keliling, dengan bingung dan pengen meledakin rumah Evan, gak mungkin ‘kan dia tanya ke orang-orang dimana tempat jual Lonte?

Bisa dikatain orang gak waras Kiran.

Lagian Evan yang bener aja kenapa sih?! Kenapa harus Lonte dan malam ini juga?! Kenapa juga harus Kiran yang jadi tumbal padahal bukan Kiran yang pengen ngentot?!

“Berpikir Kiran… berpikir…” ujarnya sepanjang jalan, udah mah malem-malem, dingin banget, pikiran kacau karena diancam bakal dipecat.

Sampai bibir Kiran hampir beku jam tiga kurang, pintu rumah Evan dia buka dengan langkah lemas. Mungkin ini adalah akhir dari segalanya, Kiran akan dipecat tanpa pesangon sepeser pun. Mungkin ini adalah karma Kiran karena sudah mengkhianati majikan terdahulunya demi gaji yang lebih menggoda.

“Evan.”

Punggung Evan bersandar di kursi, kaleng-kaleng beer terbuka di hadapannya, lebih dari lima Kiran rasa.

“Gue gak berhasil dapetin apa yang lo minta.” Kata Kiran walau takut setengah mati.

Lalu Evan menoleh padanya, matanya merah, sorotnya rumit, wajahnya merona, rambutnya berantakan, Evan kacau banget.

Kiran pengen lari tapi kakinya serasa dipaku ke lantai, alhasil cuma bisa kembali menunduk begitu sempat menatap Evan untuk beberapa detik.

“Ambilin hape gue di kamar.” Titah Evan.

Oh, masih waras.

Kiran langsung putar haluan menuju kamar Evan, melakukan perintah dengan baik, meskipun bingung, atau mungkin juga karena Evan sedikit mabuk, jadi pemecatannya ditunda.

“Dia taruh hape dimana sih?” ujar Kiran bingung, udah keliling kamar besar itu tapi masih gak ketemu.

Ceklek!

Tubuh Kiran kaku, waktu Evan berdiri di depan pintu setelah menguncinya dari dalam.

“Evan?”

Tatapan mereka bertemu, Evan yang lurus tajam menatap Kiran yang bingung dan takut. Ada apa dengan Evan?

Apa Kiran bakal digebukin karena gak berhasil bawa Lonte untuk Evan?

— to be continued.

No responses yet