End of the new beginning.
Dua pekan genap berlalu sejak kematian Beomgyu.
Dan, bahkan bagaimana sederhana nya kematian Beomgyu membuat Jay kepikiran, rasanya seolah-olah Heeseung gak mau biarin Beomgyu banyak omong, apa maksudnya supaya Beomgyu gak menceritakan lebih banyak kebohongan Heeseung selama ini?
Tapi, entah kenapa rasanya lemes banget, dua minggu ini, tiap kali Jay meragukan Heeseung, tubuhnya langsung loyo, lesu banget, minggu lalu bahkan Jay bisa langsung tidur tanpa sadar tiap kali overthinking.
Nafsu makan Jay gak bagus, tapi dia tetap memaksa dirinya untuk makan demi bocah di dalam perutnya. Terkadang anak itu bergejolak sendiri saat Jay lagi bengong, atau saat Jay lagi fokus melakukan sesuatu, seperti gak mau banget Jay sampai lupa sama Heeseung.
Bapaknya anak itu.
Sepertinya Jay memang harus berserah kepada takdir, saran Jake terlalu masuk akal sampai Jay kesal sendiri sama pikirannya yang bikin Jay tersiksa. Jay bingung, penuh ragu yang menggangu.
Saat ini cuma kehadiran trio bokem yang mampu mengisi kehampaan hati Jay.
Ngomongin itu, saat ini Jay tinggal di rumah yang bener-bener jauh dari pemukiman, entah kenapa Heeseung membeli rumah sejauh ini, tapi memang keadaannya luar biasa menenangkan, gak ada suara bising, yang ada cuma pemandangan pepohonan, lapangan rumput, langit bersih dan sungai mengalir yang cukup besar, Sunoo dan Jungwon suka latihan disana.
Trio bokem mendapat mandat khusus dari Heeseung untuk menjaga Jay setelah semua yang terjadi.
Ni-ki bilang, Heeseung minta maaf soal meragukan kehebatan Jay dalam melatih mereka, juga minta maaf langsung ke trio bokem karena udah pernah berniat membunuh mereka lewat Sunghoon, nyatanya, Heeseung benar-benar untung mendapatkan trio bokem menjadi anak buahnya.
Mau gak percaya tapi yang bilang Ni-ki.
Tapi ini Lee Heeseung loh, seorang ketua Gangster yang jahat dan gak berperasaan itu, minta maaf?
“Jay.”
Deg!
Jay kaget, padahal dia tadi udah liat Heeseung di halaman. Sekarang begitu orangnya ada di belakang Jay, baru denger suaranya manggil aja Jay udah lemes.
Dua minggu gak melihat wajah Heeseung secara langsung.
Dua minggu Jay sembunyi di rumah orang yang dia hindari.
Dua minggu Jay mengurung dirinya sendiri dalam belitan overthinking.
Dua minggu….
“Boss.”
Gak ada yang salah dengan penampilan Heeseung. Tubuhnya tetap tinggi tegap, bahunya masih lebar dan kokoh, cara berdirinya masih sama, tatanan pakaiannya yang serba gelap pun tetap Lee Heeseung sekali.
Yang membuat tatapan Jay melemah begitu berbalik dan bertemu pandang dengan Heeseung adalah betapa menyedihkan sorot yang terlempar dari jelaga Pria itu.
Heeseung punya sepasang mata yang memberikan kesan rapuh yang membuat Jay tertegun melihatnya.
“Syukurlah, lo baik-baik aja sekarang.”
Dan, Lee Heeseung, suaranya yang selalu berkesan tegas itu melemah, ketegangan yang biasanya terukir dari alis yang menukik dan rahang yang keras itu kini melembut, berganti senyum kecil yang walau begitu, tetap gak bisa membuat kesedihan di mata Heeseung pudar.
Seketika Jay merasa jadi orang yang jahat.
Tapi apa yang membuat Heeseung jadi begini?
“Lo kenapa jadi begini, Boss…?”
Jay mendekat, kakinya seolah bergerak sendiri, matanya gak henti mematri wajah Heeseung yang menggurat lelah, lesu banget. Heu, kasian amat.
“Karena kesalahan gue sendiri, Jay, gue hampir aja kehilangan lo.”
Dan, seolah gak ada jeda, jantung Jay dibuat nyala lebih kencang lagi. Kedua tangannya turun dari wajah Heeseung, dibawa oleh tangan yang genggam Jay hangat.
Tangan yang kemudian meraih Jay untuk mendekat, untuk mendekap erat tubuh Jay.
“Maaf Jay, gue gak tahan, rasanya berat banget dua minggu gak ketemu.”
“Gue kangen banget, Jay.”
‘Boss… kenapa… jantung gue…!?’ batin Jay panik, tapi aslinya tubuh Jay pasrah.
“Boss….”
Jay benar-benar ngerasain rapatnya tubuh mereka dalam pelukan itu, sampai perut Jay nempel sama perut Heeseung yang keras.
Pelukan itu usai, walau Heeseung gak rela, mereka memilih untuk duduk. Sesuai rencana, mereka akan bicara.
“Gue mau jelasin.”
“Gue bakal dengerin.”
Heeseung natap Jay lamat-lamat, wajah Jay udah gak pucat lagi, tubuhnya tetap tumbuh lebih berisi, perutnya, jari jemari tangannya bahkan terlihat lucu karena berat badannya naik, jarinya ikut membantet. Tapi Heeseung yakin menemukan gurat lelah di mata Jay.
“Lo keliatan cape banget, Jay.”
“Lo juga, keliatan menyedihkan banget, Boss.”
Heeseung terkekeh, kalo dipikir-pikir lagi malah jadi lucu ini mereka seperti bertukar skenario.
“Gimana caranya lo bertahan menghadapi gue selama ini?”
Dapet pertanyaan begitu, Jay diam.
Sebab Heeseung dengan muka sedih itu malah senyum.
“Sekarang gue paham kenapa lo mutusin untuk keluar dari tim.”
“Lo — ”
“Enggak, itu bukan karena gue gak tahan menghadapi lo, Boss,” ujar Jay menyanggah. Entah kenapa hatinya gak enak banget liat Heeseung begitu di depan matanya.
“Gue cuma mau berhenti ngejalanin misi, gue mau fokus ngurus anak gue, hidup sebagai gue yang udah gak terikat sama tanggungjawab sebelumnya, gue memilih berhenti membunuh karena gue mau menghidupi anak gue.”
“Tapi ternyata memang gak bisa,” imbuh Jay.
“Bisa.” Kata Heeseung.
“Lo bisa berhenti, lo bisa berhenti jadi pembunuh bayaran, tanpa harus keluar dari tim.”
“Tanpa harus melepas ikatan dengan tim,” final Heeseung.
“Kenapa?” tanya Jay.
“Karena anak lo itu anak gue juga.”
“Boss….” Lirih Jay gak percaya.
“Kenapa…?” ujar Jay heran, “apa lo gak pernah kepikiran kalo anak ini bukan — ”
“Pasti pernah.” Kata Heeseung.
“Waktu gue nolak kehadirannya, saat-saat kaya gitu gue menggunakan pikiran itu untuk menyangkal, bisa jadi dia bukan anak gue.”
“Tapi entah kenapa gue kehalang sama betapa percaya dirinya gue kalo selama ini lo cuma nge-seks sama gue sampai akhirnya lo hamil.”
Jay tertegun, ya memang benar. Satu-satunya seks yang dia lakukan bersama orang lain adalah Choi Soobin.
“Banyak malam gue lewatin untuk bergelut sama pikiran gue sendiri, rasanya aneh memaksa yakin kalo lo hamil anak orang lain disaat lo hampir gak ada akrab sama siapapun di tim, gue yakin lo gak akan mau juga nge-seks sama sembarang orang dan,” Heeseung menjeda.
“Dan?” tanya Jay penasaran.
“Dan gue yakin cuma gue yang bisa bikin lo puas.”
Tau-tau keduanya blushing.
Semoga adik bayi gak denger perbincangan orang tuanya.
“Bener sih, Boss.”
Tanpa disangka Jay ngomong gitu.
‘Sialan! Kenapa perut gue geli banget!?’ batin Heeseung yang sedang ngebug.
“So-soal Soobin….” Jay gugup banget, entah kenapa takut tapi ngerasa harus menjelaskan.
“Tenang, ceritain semua yang lo lakuin sama dia, gue gak akan apa-apain lo, atau kalo lo takut, kita bisa tinggal di kamar yang berbeda terus lo cerita lewat tel — ”
“Nggak,” ujar Jay, menggeleng menolak, “gue bisa,” dengan tatapan penuh ragu, tapi sekali lagi, perasaan Jay berkata ia harus percaya pada Heeseung kali ini. Sejauh yang sudah dilewati, Heeseung keliatan gak mengancam sama sekali.
Kalau begini entah kenapa rasanya, Heeseung udah setara dengan Monster.
“Malam itu ngidamnya kerasa aneh banget,” kata Jay memulai, dan wajahnya merona merah.
“Setelah makan malam, biasanya gue baca buku dulu supaya ngantuk, tapi malam itu gelisah banget rasanya, panas dan gak bisa tidur, gue coba buat nahan dan paksa tidur, tapi tetap gak bisa, gue mau cari angin keluar kamar langsung ketemu dia dan akhirnya, itu… anu…”
“Gapapa, gue udah paham sampai sana,” kata Heeseung, omongannya kaya yang legowo, tapi muka merahnya, tangan yang mengepal dan tarikan nafasnya khas banget orang marah, tapi ditahan.
Jay udah hapal tabiat Heeseung.
“Jay…?”
Jay pindah dari duduknya di sofa, bersimpuh di bawah, menunduk di hadapan Heeseung.
“Untuk semua yang gue lakuin dan mengkhianati lo, Boss, gue minta — ”
“Maaf.”
Heeseung meraih dagu Jay supaya menatap padanya, lalu berbisik melanjutkan kalimat Jay seraya mencium bibir anak itu.
Jay tertegun ketika Heeseung melakukannya.
Sekarang baru kerasa kedudukan yang sesungguhnya.
Baru kerasa Lee Heeseung dan Park Jongseong yang sebenarnya.
Tapi kali ini, gak kerasa seperti seorang Tuan dan Budaknya.
Sebab ciuman yang biasanya bergelora panas dan penuh nafsu sekarang malah terasa lembut dan penuh haru.
Sentuhan Heeseung tanpa sadar membawa tubuh berisi Jay sampai di pangkuannya, duduk menyamping dengan satu lengan bertengger di bahu Heeseung.
“Nnh… Boss…”
Sapuan lidah terasa menggelitik, lumatan demi lumatan terasa menggilas lembut saat mereka kelepasan saling memagut. Tangan Heeseung merengkuh pinggang dan mengusap-usap perut buncit Jay, sementara satu tangan Jay membelai satu sisi wajah Heeseung.
“Gue mau cerita.”
“Ini ada hubungannya sama kebenaran dari apa yang dibilang Beomgyu hari itu.”
“Dan mungkin juga bisa bikin lo berhenti overthinking.”
“Karena entah kenapa, gue yakin kalo selama ini, lo juga punya perasaan ‘itu’ untuk gue, Jay.”
“Gue ngelepasin keperjakaan gue di umur lima belas tahun,” kata Heeseung yang bikin Jay kaget, shock.
“Ada temen gue namanya Asahi, dia anak Yakuza, orang tua kami temenan, kami dilatih bareng sejak umur sepuluh tahun, sepanjang lima tahun berikutnya kami habisin waktu sama-sama terus setiap hari, sampai di umur lima belas, kami penasaran sama yang namanya seks, lalu akhirnya, sore setelah latihan kami ngelakuin itu, kami masih tidur di satu kamar yang sama sampai pagi gue bangun, Asahi hilang.”
“Gue bingung sampai satu minggu penuh setelahnya uring-uringan gak jelas, lalu tiba-tiba ibu gue meninggal, orang tua Asahi pembunuhnya, mereka berkhianat, tapi akhirnya dieksekusi tepat di depan mata gue sendiri.”
“Dan cuma mereka, gue rasa Asahi pergi melarikan diri, karena udah tau orang tuanya punya niat jahat ke keluarga gue, karena itu isi suratnya cuma permohonan maaf.”
Mulut Jay kerasa ditahan banget, lidahnya seolah beku, antara pengen ngomong tapi bingung apa yang mau diomongin.
“Gue mutusin buat lupain semuanya, gue ngejalanin hari seperti biasa, sampai di umur enam belas gue ketemu sama orang baru, dan singkat kata kita udah siap buat nge-seks, malah penis gue gak mau bangun.”
“Demi apapun….?” ujar Jay, kali ini shock nya kebablasan.
Heeseung tersenyum tipis, yang biasanya miris tiap inget kenangan pahit ini, sekarang melihat Jay yang shock dan menatapnya dengan raut pengen mewakili Heeseung untuk menangis itu, entah kenapa hati Heeseung ngerasa adem, gak sesek lagi seperti saat sebelumnya mengingat trauma dalam hidupnya ini.
“Setelahnya selama berbulan-bulan gue stress mikirin keadaan gue yang gak normal, lalu akhirnya gue hidup sebagai gue yang gak punya nafsu untuk menggagahi seseorang.”
“Umur dua puluh dua gue ketemu lo yang waktu itu baru sembilan belas tahun, luntang-lantung di jalanan, setelahnya kita mulai pelatihan, sampai tiga tahun berlalu, lo udah resmi jadi salah satu anggota tim.”
Bagian ini, Heeseung terkekeh, terus ngusap perut Jay.
“Seks pertama kita, empat tahun yang lalu.”
“Lo bunuh Yeonjun, lima tahun yang lalu.”
“Gimana caranya gue hamilin anak orang disaat penis gue aja gak bisa bangun?”
Seluruh wajah Jay langsung merah semerah tomat mateng.
Kenapa harus sefrontal ini?!
“Eh?!”
Jay langsung nunduk, waktu tangan Heeseung ketendang oleh gerakan dari dalam perutnya.
Terus usapan tangan Heeseung lebih ditekan, seperti noel-noel gitu.
“Ehhh….?? ini emang begini apa ada masalah?!” panik muka Heeseung.
Jay yang tadinya salting malah ngerasa lucu liat Heeseung panik.
“Dia emang begitu, Boss,” kata Jay.
“Bentar, coba turun dulu,” kata Heeseung, Jay diturunin, di dudukin pelan-pelan banget di sofa, dia masih ngeri kalo ternyata gerakan emosional dari dalam perut Jay yang mengenai telapak tangannya adalah sebuah masalah.
Gantian Heeseung yang berlutut, di bawah, Jay duduk, di sofa.
Wow.
Hanya adik bayi yang bisa membuat seorang Lee Heeseung berlutut.
Dug! dug!
“Astaga!”
“Eh?!”
“Dia ngapain sih di dalem, main bola apa ya?”
Heeseung deket banget ngeliatinnya, bener-bener perut Jay melendung-melendung karena tendangan super si adik bayi.
“Jay, sakit ngga?”
Jay mengulum bibir lantas mengangguk.
“Ngilu.” Katanya.
“Ini dia bergerak gini sejak kapan? setiap hari?” tanya Heeseung nan agresif.
“Sering, tapi gak setiap hari, sejak umur lima bulan kemarin,” kata Jay.
“Ada obatnya ngga kalo begini?” tanya Heeseung, malah tampang dia yang kaya orang naber.
“Ini bukan masalah kok, Boss, jadi ngga perlu obat,” kata Jay dengan tabah dan sabar.
“Tapi sampai ngilu gitu, apa nggak — ”
Jay menggeleng.
“Engga masalah, obatnya cuma diusap-usap, nanti dia tenang sendiri.”
“Diusap-usap?” tanya Heeseung, lalu memperagakan dengan tangannya, “begini?” tanyanya memastikan usapan tangannya di perut Jay sudah benar.
Jay mengangguk, bibirnya terkulum, tapi senyumnya gak bisa disembunyikan. Ini kali pertama adik bayi menendang dengan excited banget, entah tendangan itu bermaksud menyapa atau justru nantangin gelut bapaknya, tapi Jay senang sekali.
Seperti ada buncah rasa lega yang meledak di dadanya dan membuat ikatan overthinking yang selama ini mengikat erat membuatnya sesak itu musnah!
“Boss.”
“Coba berhenti manggil gue Boss.”
“Ngga mau.”
“Kenapa?”
Heeseung masih diposisi yang sama, duduk di bawah sambil berbincang dengan anak ajaib dalam perut Jay.
“Udah enak manggil Boss.”
“Panggil nama aja apa ngga bisa?”
“Masa nanti udah ada anak tetap manggil Boss?”
“Kan itu lo sendiri yang suruh, katanya gue anak buah, jadi manggilnya ya Boss.”
Heeseung kicep tapi hanya untuk sejenak, melihat suasana sudah mulai mencair, hati Jay juga sepertinya sudah melunak.
“Sekarang gue yang memutus ikatan Boss dan Anak buah itu.” Katanya.
Jay diem, bukan gimana cuma dia gak bisa mengolah kata untuk membuat mulutnya mengeluarkan suara karena saking seriusnya tatapan Heeseung juga suaranya yang halus tanpa keraguan sedikitpun.
“Bicara soal kedudukan, lo minta apapun gue kasih, lo mau apapun, gue turutin.”
“B-Boss….”
“Sekarang yang ada cuma Lee Heeseung, ayah dari anaknya Park Jongseong.”
“Dan segera, kapanpun lo siap, Lee Heeseung yang sama, akan menjadikan lo seorang Lee Jongseong.”
“Gue, Jay, gue sendiri yang akan menciptakan ikatan baru di antara kita.”
“Ikatan yang disebut suami dan istri, kita akan jadi orang tua, kita akan latih anak-anak kita jadi sekuat ibu dan ayahnya.”
Dan tau-tau sepasang tangan mereka bertaut tepat di perut Jay.
Jay gak sadar dia menangis dan gak tau apa alasan dari betapa banjir air matanya dan gak menemukan kata-kata yang tepat untuk disuarakan.
Heeseung memang dasarnya satset satset, saking to the pointnya, Jay gak punya celah untuk meragukan semuanya kalau Heeseung bahkan tetap berlutut, menatapnya tanpa putus dan menegaskan suaranya tepat di hadapan Jay, juga simpul erat tangan mereka bersentuh dengan hangatnya perut Jay yang kembali bergejolak, seolah si adik bayi tau apa yang sedang dirasakan oleh Ibunya.
“Lo mau ‘kan, Jay?”
[ to be continued ]
demonycal property.