Hinandra
5 min readJan 8, 2024

ECCEDENTESIAST : Dynasty.

kyungbeom ft. chanbeon.

⚠️ // psychology issues, suicide attempt, suicidal.

Ponsel Dabeom terus berdering dengan nama Kyungjun muncul di layar, Chanyoung menghela napas bahkan setelah ponsel di atas nakas itu berhenti bergetar lagi entah untuk yang ke berapa kali.

“Lo harus ganti perban, Bang.”

Jaeyong datang beberapa saat yang lalu, sempat pergi mengantar seorang Dokter yang sudah selesai mengobati Dabeom, “oiy, Yoon Chanyoung,” ada kesal yang terselip dari panggilan Jaeyong sebab Kakaknya terus saja terpaku pada Dabeom yang tertidur setelah tantrum sampai benturkan kepalanya sendiri ke dinding hingga terluka.

“Nanti aja.”

“Sekarang, ayo gua bantu.”

“Yoonseo, apa dia udah dateng?”

Jaeyong menghela napas sebab Chanyoung tak mendengarkannya dan malah membawa topik lain, “katanya masih di jalan, sama yang lain,” jawabnya.

*Lo masih punya cukup waktu bahkan untuk makan siang, ayo.”

Chanyoung menghela napas dan bangkit, tinggalkan Dabeom dalam kamarnya untuk kemudian mengganti seluruh perban yang membalut luka di tubuhnya.

“Sebenarnya kenapa lo jadi begini, Bang?”

“Lo masih bisa pergi aja dan biarin Dabeom sama Kyungjun, apapun itu, bukan urusan lo, dia bahkan nolak lo waktu itu, buka mata lo, lo belum pernah jadi selemah ini sebelumnya.”

Sebuah cermin menampilkan seberapa kacau tubuh Chanyoung karena Kyungjun dan kemarahannya saat itu, awalnya, awalnya sekali, Chanyoung berpikir kalau anak itu benar-benar serius dan jatuh cinta pada Dabeom, hingga menolong saat itu, membawanya pergi ke Rumah Sakit dengan segenap rasa khawatir, Chanyoung pikir ia akan pergi saja dan menyerah, tapi hari itu, saat yang seharusnya ia ajukan surat perpindahan Sekolah, Chanyoung menemukan Kyungjun nampak sangat puas ketika keluar dari ruangan Kesiswaan dan menyeretnya ke Ruang Arsip.

Lalu semua yang ada di rekaman itu terjadi, rekaman yang Chanyoung ambil secara acak.

Tapi lihat apa yang ia dapat?

“Setidaknya Dabeom harus tau Kyungjun aslinya gimana,” kata Chanyoung.

“Terus untungnya buat lo apa? yang ada lo babak belur kaya gini,” Jaeyong kesal, demi apapun.

“Gua udah dewasa,” kata Chanyoung, “gua mau ngerasain semua, bahkan rasa sakit ini,” imbuhnya.

“Ya tapi lo gak dapet apa-apa, goblok!”

“Gua gak butuh apa-apa.”

Chanyoung bangkit dan berlalu pergi, tinggalkan Jaeyong yang kebetulan harus menerima telepon sehingga tak bisa memarahi Kakaknya yang aneh itu.

Atau, Jaeyong saja yang tak mampu mengerti.

“Hallo, Yoonseo? Eoh… lo udah di bawah? …. iya, gua ke bawah sekarang.”

“Sebenarnya lo punya apa sampai Kyungjun dan Abang gua rebutin lo kaya gini, Jin Dabeom?”

Dabeom bangun beberapa saat yang lalu, duduk secara mendadak membuatnya pusing sampai luka di dahinya berdenyut sakit, tapi cahaya menerangi ruangan besar itu dari barat, matahari mulai tenggelam, itu artinya ia sudah melewatkan cukup waktu sejak hal terakhir yang dia ingat adalah Chanyoung yang membawa ia ke Rumahnya.

Matanya mematri setiap sudut ruangan, kakinya memijak lantai perlahan mendekati sebuah lemari dan meraih sebuah figura dimana itu adalah dirinya sendiri, berdiri bodoh dan hormat ke bendera bersama Wooram dan Juwon di belakangnya.

Kalau tak salah ingat, ini adalah saat Dabeom dan kedua teman bodohnya itu terlambat masuk sekolah saat upacara penerimaan siswa baru, dan Chanyoung memotret mereka?

Dabeom membawa langkahnya keluar, bahkan melewati orang-orang berseragam rapi yang ia temui sepanjang keluar dari Penthouse Chanyoung, mengikuti petunjuk menuju atap tanpa tau kalau Chanyoung mengikutinya.

Angin kencang berhembus dingin, tubuh yang hanya dibalut seragam sekolah, rambut yang diterpa riuh sarayu yang tak gemulai sama sekali, rusuh seperti isi kepala Dabeom saat ini.

Memang benar tak ada musim yang menunggu, mereka datang dan pergi seingin hati, tapi walau Dabeom tak pernah taruh percaya pada apapun juga, hatinya tetap berhak rasa kecewa, bagaimana bisa semalam masih tertawa tapi sore ini sudah dibuat ingin mati lagi?

“Ko Kyungjun.”

Tak perlu banyak tenaga untuk sampai di atas pembatas, memegang besi yang buat telapak tangan membeku, debar jantungnya rusuh tak karuan, isi kepalanya rancu berantakan, harus berapa kali lagi Dabeom hancur dalam hidup yang tak pernah mujur?

Harus berapa kali lagi ia tersungkur dalam hidup yang menariknya paksa untuk bernapas tak bebas, sesak penuh muak, sesal telah menelan berjuta bual.

“Lo mau lompat?”

“Berani?”

“Mau gua temenin nggak?”

Dabeom terkekeh dan menghela napas, menunduk dan meraup wajahnya yang basah, kenapa Chanyoung harus muncul?

Tapi, setidaknya, tak menahannya dari jatuh seperti apa yang Kyungjun lakukan malam itu.

“Mau sekarang?”

Chanyoung naik dan berdiri di sisinya, menatap santai pada dasar yang sangat jauh di bawah sana.

“Kenapa nangis?”

Dabeom tak menjawab, hanya saja matanya melihat Kyungjun alih-alih Chanyoung yang kini ada di depannya.

“Harusnya gua pindah ke Amerika, tinggal dan Sekolah disana, gua dihukum Nyokap karena mukulin orang, lagi.”

“Tapi kalo lo mau gua temenin mati hari ini, ayo.”

“Lo masih punya harapan buat hidup, lo masih — ”

“Masih harus lanjutin semua ini, begitu gua selesai sekolah dan Nyokap gua yang belum tua-tua banget itu udah ngeluh capek kerja terus.”

Chanyoung menoleh pada Dabeom yang tak menatapnya, seakan enggan beri atensi padanya.

“Tapi semua itu susah banget buat gua yang masuk sekolah cuma tidur dan gangguin orang, kalo gua mati sekarang, masih ada Jaeyong, walaupun otaknya juga gak bagus-bagus amat, ya, minimal dia masih hidup.”

“Gua mau mati bukan karena gak punya harapan buat hidup, tapi gua punya alasan kenapa milih melarikan diri dan jadi pengecut.”

Dabeom menoleh kali ini matanya benar-benar melihat Chanyoung dengan gurat wajah dinginnya yang begitu-begitu saja.

“Alasan, apa?”

“Hidup itu berat, siapa tau kalo mati jadi ringan.”

“Terus, kalo ternyata berat juga?”

“Gak jadi mati.”

“Lo pikir ‘lo karakter game!?”

Chanyoung menarik satu sudut bibirnya ketika Dabeom membentak lagi dengan tangis di ujung hidung.

“Jadi mau mati apa turun aja?”

“Turun, aja,” kata Dabeom, menyerah.

Kali ini, ia turun tanpa ditarik, turun sendiri, batalkan niatnya untuk mati karena ia tak punya alasan untuk menjadi pengecut dan melarikan diri, memang siapa yang sedang mengejarnya?

“Gajadi?”

Dabeom sudah turun, tapi Chanyoung bertanya masih di atas pembatas.

“Kapan-kapan aja.”

“Yaudah, gua duluan.”

“HEH — NGAPAIN?! JANGAN!!”

Dabeom menarik tangan Chanyoung yang mampu ia raih, membuat Kakak kelasnya itu menunduk dan menatap matanya lekat-lekat.

“Lepas.”

“Jangan!” bentak Dabeom, marah.

“Gi — ”

“JANGAN JATUH!”

Chanyoung diteriaki tepat di depan wajahnya sampai terkejut walau tetap datar, tapi jantungnya baru riuh karena Dabeom melarangnya jatuh.

“Drama apa lagi ini?!”

Oh Jungwon berteriak seraya membawa larinya mendekati Dabeom dan Chanyoung.

“Gi-gimana bisa kalian ada disini?!” panik Dabeom, masih erat pegangi Chanyoung.

“Lepasin gua, gabisa turun kalo lo pegangin terus,” kata Chanyoung.

Dabeom mundur begitu Chanyoung mendarat kembali di lantai rooftop, Jungwon berdiri di hadapannya, disusul Junhee, Somi, Jungwon, Wooram, Juwon dan bahkan, Hyunho.

“Jadi kapan gua bisa bunuh Kyungjun?”

Jang Hyunho tersenyum penuh hasrat kala itu, matahari mundur dari menyinari Dunia dan Dabeom memijat pangkal hidungnya, ia tak pernah tau hidup akan jadi sedramatis ini pada akhirnya.

“Kenapa ada mereka semua?”

Chanyoung tetap menjadi Chanyoung yang begitu-begitu saja, menggedik bahu acuh dan tinggalkan Dabeom berdua dengan Jungwon setelah menjawab dengan santai.

“Bukan cuma mereka, masih ada lagi, liat aja nanti.”

— to be continue.

demonycal property.

a/n: ayo kita akhiri ini sebelum ceritanya jadi membosankan.

No responses yet