Sebas sampai di kost Ian, udah kebayang cerita macam apa yang bakal dia dengar. Walau begitu tetep kaget dan gak habis pikir. Gak salah kalo menurut Sebas si Rahen sama Jerga udah kaya anak kembar.
Ian menceritakan semua yang terjadi saat Jerga menginap semalam, sampai pagi tadi mata Ian terbuka dan Jerga gak ada.
“Maaf ya, Ian, karena kelabilan mereka kamu harus ngalamin hal yang sangat gak menyenangkan seperti ini,” ucap Sebas sebagai kawannya Rahen Jerga.
“Semua udah terjadi juga, Kak, aku cuma ngga habis pikir aja, kenapa sampai harus dengan cara begitu lagi, biar apa begitu? aku ngga ngerti, apa gak bisa diomongin aja baik-baik?” ujar Ian dengan raut lelah, sorotnya sendu.
Sebas menghela nafas, “kakak mau kasih tau sebuah rahasia dulu ke kamu sebelum kita cari konklusi untuk masalah kamu sama Jerga dan Rahen,” katanya, sebelum akhirnya menjelaskan semuanya sejak awal sampai akhir.
Sejak Rahen membuat rencana untuk mempermainkan Ian, Jerga dan Sebas yang ikut gabung lalu eksekusi nya Rahen dan semua yang terjadi beberapa pekan setelahnya.
“Jadi gitu, kakak pikir ini bisa jadi salah satu bahan pertimbangan buat kamu, Ian, sesuka apapun kamu sama Rahen, dia itu bukan orang baik, kenapa kakak bisa bilang gini? kakak juga sama gak baiknya, tapi poin utama nya adalah gimana kamu bisa mengubah keburukan Rahen jadi kebaikan, asal bocah itu mau berubah, kalo dia masih nunjukin sifat jeleknya, mending kamu gak usah milih siapapun.”
“Karena Jerga juga gak bener. Walaupun dia suka sama kamu, tapi cara dia semalam gak bisa disebut bener terlebih dia ninggalin kamu setelahnya.”
“Kakak cuma bisa kasih saran begitu, kamu anak baik, Ian, maaf banget kamu harus terlibat sama kita bertiga, terutama Rahen dan Jerga yang bikin kamu punya banyak masalah.”
Sebastian menunduk memberi hormat atas rasa bersalahnya pada Ian yang diem terus sepanjang Sebas bicara.
“Kalian jahat, ya.”
Begitulah kalimat pertama Ian saat Sebas masih sembunyikan rasa bersalahnya dengan menunduk.
“Maaf.” Ucap Sebas sekali lagi.
“Kalian masih akan lanjut ngelakuin hal yang sama ke orang lain?” ujar tanya Ian pada Sebas yang lantas angkat pandang dan balas tatap Ian.
Menggeleng dia, “nggak, kalo kakak pribadi, kakak bakal berhenti, tapi kalo Rahen dan Jerga, mungkin kamu bisa lihat sendiri jawaban mereka meyakinkan apa ngga, karena pilihan hidup mereka itu hak mereka,” katanya.
Mahazian terkekeh kemudian, hah, sudahlah.
“Maafin aku juga ya, kak Sebas, aku banyak ngerepotin kakak.” Kata Ian.
“Kakak nggak pernah keberatan kok soal itu, kamu ngga perlu minta maaf lagi, kamu berhak marah dan berhenti temenan sama kakak, begitu juga dengan Rahen dan Jerga, buat orang seperti kamu, gak baik terus deket sama kita bertiga.” Kata Sebas.
Ian menggeleng, “mhm, aku bilang aku seneng temanan sama kalian itu aku serius, gak peduli kalian orangnya gimana, aku tetep bakal temenan sama kalian,” katanya.
“Soal Rahen dan Jerga….” Sebas bingung harus merujuk pada topik apa.
“Aku bakal selesaiin ini secepatnya.” Cuma begitu ucap Ian dan Sebas berhenti ikut campur.
Sisanya bakal Sebas liatin aja udah.
Rahen mendatangi Jerga buat bicara empat mata.
“Gue emang pdkt sama Ian, gue deketin dia karena gue serius suka sama dia, gue ngelakuin banyak hal supaya dia bisa ngerasa lebih baik setelah eksekusi lo sama dia.” Ujar Jerga.
“Gue pengen bikin Ian lupa sama lo dengan jadi pengganti ‘lo, Hen, gue pengen bikin dia cuma ngeliat gue setelah semua yang terjadi, gue mau Ian cuma buat gue, secara romantis dan bahkan seksual.”
Rahen menahan nafasnya untuk sejenak, liat si Jerga uring-uringan begini kok aneh. Gak Jerga banget rasanya.
“Kemarin puncaknya, gue pikir gue bakal milikin Ian seutuhnya, tapi ternyata, disaat dia lagi sama gue pun dia cuma fokus sama lo.”
“Jerga,” ucap Rahen, supaya Jerga berhenti, mukanya udah keliatan kaya orang mau semaput.
“Maafin gua selama ini benar-benar pengecut dan gak jelas, plin-plan dan keras kepala, denial, semua, gue minta maaf karena lo harus menderita sejauh ini, maafin gue, Jerga.” Kata Rahen dengan segenap keberanian.
“Iya, walaupun habis ini gue butuh waktu sendiri yang lama buat lupain masalah kita, tapi gue tetep maafin lo, kita temenan lebih lama daripada waktu gue suka sama Ian,” kata Jerga, nonjok pelan bahu Rahen.
“Sekarang pergi aja, sana, ketemu sama Ian,” kata Jerga, “berhenti jadi pengecut dan akuin semuanya,” finalnya, untuk sejenak menatap serius pada Rahen yang tenggelam dalam kebaperan.
“Jerga!” seru Rahen pada Jerga yang sudah berlalu.
Sahabatnya itu berbalik, menatapnya menunggu apa yang mau disampaikan.
“Thanks!” seru Rahen.
Berbalik dan berlari meninggalkan Jerga sendirian, angin berhembus kencang dan wajahnya terasa dingin, basah sebab tanpa sadar air matanya mengalir.
“Pada akhirnya gue sadar, Hen, gue cuma penenang, bukan pemenang.”
(( to be continued ))
demonycal property.