Jerga gak bohong waktu dia merasa senang sebab Ian mengizinkan dia untuk datang sementara Rahen ditolak. Sejak awal memang Jerga tertarik sama Ian, Mahazian yang polos dan emang bodoh itu, tapi Jerga punya waktu-waktu nya sendiri buat mengenal Ian lebih dalam.
Jerga juga sama kaya Rahen, sama-sama bajingan, sama-sama pemain, makanya mereka temanan, cuma kali ini Jerga punya versi perasaan nya sendiri kalo soal Ian.
Jerga udah berekspektasi soal keadaan Ian saat mereka ketemu, Ian yang sakit, demam, atau apa lah itu karena Rahen, tapi waktu Ian bukain pintu untuk Jerga rasanya lega banget waktu Ian bersih dan gak lecet ataupun keliatan sakit sedikitpun. Ya, itu tampak luarnya sih, dalemnya mah gak nebak juga Jerga udah tau apa yang terjadi sama tubuh Ian.
“Ian.”
Toktoktok!!
Baru mereka mau duduk, eh udah ada yang gedor pintu kost Ian, dan Jerga yang bukain lalu munculan Sebastian dengan raut goblok nya saat melihat Jerga di depan mata.
“Lo ngapain disini?!” ujar Sebas ngegas.
“Lah, lo ngapain kesini?” balas Jerga gak menjawab sama sekali.
“Gue mau ketemu Ian,” ucap Sebas.
“Ya gue juga,” kata Jerga.
“Kok bisa?” tanya Sebas, “perasaan si Rahen gak dikabarin, tapi lo kok bisa ada disini?” ujarnya penasaran.
“Ya gue punya akses khusus,” ucap Jerga, “lo ada perlu apa kesini?” ujarnya balik tanya.
Sebas ngehela nafas dan nyugar rambutnya ke atas, “gue gak tahan terus kepikiran Ian apa kabar,” katanya.
“Khawatir?” ujar Jerga.
Sebab mengangguk, “gue ngeri Ian trauma berat nanti gimana?” ujarnya dengan raut prihatin.
Jerga ngehela nafas.
“Kalian kenapa ngobrol di situ?” ujar Ian dari ujung lorong, “masuk aja,” ucapnya.
“Jerga,” panggil Sebas sebelum mereka masuk.
“Apa?” ujar Jerga tanpa berbalik.
“Gue gak akan lanjut rencana itu,” kata Sebas.
Jerga gak menjawab lagi, dia melangkah masuk disusul Sebas yang juga diam karena bingung mau ngomong apa lagi.
Menurut Sebas, ada sesuatu yang membuat Mahazian mampu membuat perasaannya jadi gak karuan begini. Belum pernah Sebas merasa sekhawatir ini terhadap calon mangsanya. Barangkali karena orang-orang sebelumnya juga 11 12 sama dia, jadi diajak main atau dipermainkan juga mereka oke-oke aja karena udah gak mau tau risiko nya asal bisa berhubungan sama Sebas. Tapi ini Mahazian, beda karakter, notabene bocah polos yang niatnya emang pure buat berteman tapi sayang sekali mereka malah berbuat sebaliknya, menjadikan Ian sebagai mainan.
“Kak Sebas kenapa bengong?” ujar Ian, tangannya bertengger di bahu Sebas yang tanpa sadar ngelamun.
Jerga menoleh padanya, untuk sejenak mereka beradu pandang, Sebas gak bisa ngerti sorot mata Jerga, tapi Sebas yakin kalo saat ini bukan saatnya membawa Rahen ke dalam obrolan karena tujuan mereka kesini adalah untuk membantu Ian merasa lebih baik.
“Sorry sorry, kakak nggak fokus,” ucap Sebas seraya meraih sekaleng minuman di depannya, diteguk pelan-pelan sambil mikir mau ngomong apa sama Ian disaat ada Jerga juga disana.
“Kak Jerga yang ajak Kak Sebas dateng ya?” tanya Ian kemudian, Jerga balas gelengan.
“Eh, anu, sorry, Ian, tadi itu Kakak khawatir banget sama kamu dan gak tahan sama itu, Kakak dateng sendiri kok, malah Kakak kaget waktu Jerga yang bukain pintu,” ucap Sebas menjelaskan, kali ini Jerga mengangguk setuju.
“Kita khawatir sama kamu, Ian,” ucap Jerga, “kalo kamu butuh tempat untuk cerita, kita berdua ada disini, kalo kamu perlu waktu untuk berpikir, silakan, kita bakal nunggu kok sampai kamu siap, jangan memaksakan diri,” katanya.
Sebastian memandang Jerga lamat-lamat, coba pahami arti dari tatapan Jerga pada Ian yang, bukan bentuk dari rasa kasian, cuma itu yang Sebas yakin.
Ian menunduk seraya memilin ujung kaos birunya, “aku yakin sebenarnya kalian udah tau aku kenapa, atau mungkin menebak-nebak aku kenapa karena bang Rahen mungkin cerita sesuatu sama kalian, 'kan?” ujarnya kemudian, bawa pandang pada Jerga dan Sebas bergantian.
Keduanya gak membawa Rahen ke dalam obrolan tapi malah Ian sendiri yang mengulik inti masalahnya.
“Aku suka bang Rahen, itu serius.”
“Aku happy banget waktu bang Rahen ajak aku jalan kemarin.”
“Tapi jujur, aku gak tau kenapa bang Rahen perlu membuktikan rasa suka aku dengan cara seperti itu.”
Deg!
Jerga dan Sebas kompak saling menatap, udah sejauh ini pun, Ian masih mikir apa yang dilakukan Rahen itu benar-benar sebuah tuntutan kalau Rahen butuh bukti soal keseriusan perasaan Ian padanya?
“Cara… seperti apa?” ujar Jerga.
Sebas emosi tiba-tiba, bukan. Bukan pada sandiwara Jerga, tapi pada dirinya sendiri yang gak tau mau ngapain disitu. Cuma bisa kesel dan bingung sendiri harus gimana menanggulangi rasa kesalnya itu.
Ian menunduk dalam-dalam, lalu air mata berjatuhan ke kedua tangannya yang mengepal di atas pangkuan.
Lalu Ian menggeleng dan semakin dalam mengubur dirinya dalam tunduk dan air mata, kedua tangannya naik menutupi wajahnya.
Tangan Sebas reflek menyentuh bahu bergetar Ian dan hela nafas Jerga terdengar.
Ekspektasi mereka terlalu sederhana, Ian gak sedikitpun berubah menjadi liar setelah bermain dengan Rahen, Ian tetap menjadi Ian, tapi lebih rapuh dari yang mereka bayangkan.
“Udah, ngga usah ditahan, nangis aja sampai puas. Kamu ngga usah jawab pertanyaan Jerga, kami udah tau kok jawabannya.” Mulus keluar kalimat ini dari mulut Sebas, lalu disusul tangis Ian yang semakin deras, Jerga di depannya tenggelamkan kepala di atas meja, melipat kedua lengan dan kembali menghela nafas berkali-kali.
Jerga bingung kenapa Rahen gak jujur aja kalo dia khawatir sama Ian setelah apa yang dilakukannya? Gak ada salahnya merasa menyesal setelah melakukan rencana yang terbilang bejat itu. Walau mereka biasa melakukannya, tapi kali ini beda orangnya, lantas kenapa kalau memang Rahen ada rasa sama Ian? Jerga dan Sebas paling cuma bakal ngeledekin doang, apa yang bakal jadi masalah besar buat Rahen sampai denial sebegininya? Heran.
Jerga jadi bingung harus maju atau mundur.
“Maafin aku.” Ucap Ian dengan suara serak seusai menangis, wajahnya merah, matanya sembab.
“Kenapa minta maaf?” tanya Jerga
“Harusnya aku ngga ganggu bang Rahen.” Ucap Ian.
Jerga dan Sebas semakin gak ngerti pola pikir Ian. Ini anak padahal berhak untuk bahkan bom nuklir rumah Rahen atas apa yang terjadi padanya. Tapi kenapa malah dia yang merasa bersalah? kenapa malah dia yang merasa jahat padahal dia lah satu-satunya korban disini.
“Kenapa kamu ngerasa ganggu Rahen?” ujar Sebas, bodoh dia gak akan ngerti kalo gak ditanya.
Ian menoleh padanya, raut sedihnya langsung menancapkan anak panah fiksional di jantung Sebas.
“Kalau aja aku ngga ngakuin rasa suka aku ke bang Rahen, mungkin dia ngga harus meragukan aku dan bikin dia bingung harus percaya atau ngga sama aku.”
Bodoh banget.
Bodoh tapi gimana lagi, Jerga dan Sebas kehabisan kata.
Gimana caranya menyadarkan Ian kalau sebenarnya Rahen itu gak pernah sedikitpun peduli pada perasaannya?!
“Gini deh, Ian,” ucap Jerga mengalih atensi, “atas apa yang udah terjadi sama kamu kemarin, apa kamu ngga ngerasa marah sama Rahen?” ujarnya dengan nada frustasi, dikit lagi Jerga gila ini.
Lagi-lagi Ian menunduk, seperti tengah menimbang-nimbang jawaban yang tepat untuk pertanyaan Jerga.
“Ngga usah ragu buat jawab dengan jujur ya, Ian,” kata Sebas, tepuk ringan bahu Ian.
“Aku… ngga marah,” katanya.
“Bang Rahen bilang, ‘kalo Ian beneran suka abang,’ berkali-kali waktu itu, aku cuma fokus buat nunjukin kalo aku serius, aku ngga mau buat bang Rahen kecewa,” katanya.
“Dan kamu terima semua yang dia lakuin ke kamu?” ujar Sebas, final.
“Uhm,” jawab Ian dengan deheman dan anggukan kepala kecil, lantas menunduk lagi, menatap ponselnya yang mati.
“Kenapa kamu ngga ngabarin dia sejak saat itu?” ujar Jerga.
“Ngga tau, aku bingung mau bales gimana setelah waktu itu, aku malu,” kata Ian.
“Kenapa malu?” Jerga penasaran, “dia nyariin kamu loh itu,” katanya.
“Aku takut aku belum cukup untuk bang Rahen,” kata Ian.
Sebastian dan Jerga pun mengibarkan bendera putih.
Entah Rahen di kehidupan sebelumnya ngapain sampai sekarang hidupnya hoki terus tapi dia nya konsisten tetap menjadi bajingan berkelas.
Seusai mereka ngobrol yang sebenarnya gak menemukan titik terang sama sekali itu, Jerga dan Sebas putuskan pulang bareng.
Mereka nongkrong di warkop tanpa Rahen yang entah lagi apa, gak mau peduli dulu.
“Ian waktu kecil makan apa sih sampai pemikirannya diluar nalar gini?” ujar Sebas, lelah.
“Sekarang pun dia masih kecil,” ucap Jerga, “mana ada orang dewasa sebodoh ini,” hardiknya.
“Yang jelas sekarang rencana kita udah gausah dilanjut lagi,” kata Jerga, “gue setuju sama lo,” ucapnya.
Sebastian gak senang gak sedih, lebih ke masih shock sama pola pikir dan tata kerja perasaan Ian yang seolah berporos pada Rahen itu, aneh tapi nyata ada manusia sebodoh ini di dunia.
“Buat bayangin ngewe sama Ian yang sekarang pun rasanya udah gak bisa, gak dapet feelnya,” kata Sebas.
Jerga gak menjawab soal itu, tapi Sebastian memang gak segila Rahen perihal hasrat seksual, walaupun bodynya kaya begal hormonal tapi Jerga tau kalo Sebas itu sebenarnya emo banget.
“Bas.”
“Ha?”
Jerga gak menoleh, dia cuma bengong liatin asap rokoknya mengudara, tapi tensinya serius banget jadi Sebas penasaran dan anteng nungguin.
“Menurut lo gimana kalo gue suka sama Ian secara romantis dan pengen dia jadi pacar gue?”
“Hha?!” reaksi Sebas, lebih kaget daripada dengerin jawaban-jawaban Ian tadi.
“Lo serius? bukannya lo sendiri yang bilang kalo gak ada satupun dari kita yang suka sama dia?” ujar Sebas kemudian.
“Lo sendiri lari ngibrit ke kost Ian tanpa bilang apa-apa, itu kenapa?” ujar Jerga memudian.
“Gue bilang gue khawatir, bukan berarti gue naksir, Ian dari awal keliatan kaya anak kecil, mungkin aneh kalo di denger tapi rasanya gue khawatir sama dia kaya abang sama adek, Jer,” jelas Sebas kemudian.
“Kalo soal ikut rencana ewe bergilir ini kan awalnya pure karena gue pikir kita bakal main-main doang kaya biasanya, gue pikir si Ian juga bakal sesuai ekspektasi si Rahen, tapi akhirnya malah begini ya di luar kuasa gue dong,” kata Sebas sekali lagi dan Jerga diam.
Sebastian gak tau kalo sekarang ditanya bakal gimana nanggepin situasinya. Rahen dan Jerga itu temennya, terus sekarang dia gak bisa berpaling juga dari rasa pedulinya terhadap Ian.
“Kalo lo emang suka sama dia tapi masih ragu mending jangan ngapa-ngapain dulu, masih ada Rahen juga yang denial, daripada jadinya malah makin kacau, lebih baik diam dan biarin waktu yang nunjukin jalan terbaiknya.” Ucap Sebastian serius.
Hari itu berakhir tanpa hasil, tapi yang jelas mereka udah pada tau perasaan Ian sedalam apa sama Rahen dan Jerga juga masih perlu mikir dulu buat perasaan nya sendiri untuk nentuin harus gimana kedepannya.
to be continued.
demonycal property.