BLESSED–CURSED.
“Siapa… namanya?”
Jake menoleh pada Marco yang menatap lurus ke kejauhan, tepatnya pada pemuda yang sedang tertawa bersama Jordan, entah apa yang mereka tertawai, yang jelas bahkan di tengah riuh manusia dalam sibuknya sendiri-sendiri di sirkuit selepas balapan, Marco hanya fokus pada pemuda itu.
“Lo suka sama dia?” tanya Jake, alih-alih langsung jawab.
“Namanya.” Tuntut Marco tanpa mengalihkan atensinya.
Jake mendengus dan merolling eyes malas, si paling Enigma dah, must obey master, “namanya Ares, he’s an Alpha.” Katanya.
Tanpa kata-kata apapun, Jake hanya melirik julid seraya terkekeh, “yayaya, akhirnya Enigma kami yang terhornat jatuh cinta.” Ujarnya.
Marco menoleh, kali ini, senyumnya terbit — lebih ke seringai sih, Jake munduran soalnya tertekan oleh feromon sang Enigma Superior yang bisa aja menggerus kewarasannya andai gak menyingkir.
“Keliatan banget kah?” tanya Marco.
“Anjing…” padahal Jake udah degdegan, eh Marco malah ngejamet, “orang kalau jatuh cinta selalu mudah terbaca, transparan kayak plastik es cekek.”
dan, begitulah kali pertama mata Marco menemukan eksistensi seorang Ares di tengah-tengah riuh, sedang tertawa dengan lengkung bibir manis dan mata yang menyipit ikut senyum, amatlah menggemaskan baginya, jelas, sisi Enigma dalam diri Marco begitu tertarik akan persensi sang Alpha.
Memang cuma mati yang pasti dalam hidup ini, tapi Marco gak pernah sekalipun membayangkan bahwa dalam hidup ini ia akan melihat Niki dijemput maut lebih cepat daripada dirinya sendiri.
Bulan Purnama di Bulan Juni, deru napas Niki tersendat-sendat dalam tekanan rasa limbo yang mengungkung jiwanya dalam keabu-abuan hidup namun mati, mati namun nyatanya Niki masih hidup.
Erat genggaman tangan Marco pada telapak pucat nan dingin milik Niki, ditahannya air mata yang nyatanya sulit, tetap menetes walau mati-matian Marco berusaha untuk tersenyum, dan bicara walau suaranya terdengar hanya dengung memekak di telinga, bersahutan dengan suara mesin yang memantau kehidupan sang Adik.
“Niki.”
“Pasti sakit banget ya ada disini?”
“Niki, mau nyerah ya?”
Dan air mata jatuh dari sudut mata sang Adik, bersamaan dengan kejang tubuh Niki semakin jadi, Dokter dan Perawat berbaris di hadapan brankar Niki dan menundukkan kepala.
“Niki, Abang sayang banget sama Niki, tapi kalau Niki udah nggak bisa bertahan karena mungkin sakit banget buat Niki, Abang nggak apa-apa, Ki.”
Genggaman tangan Marco mengerat, bersamaan dengan pelukan yang ia kencangkan demi menahan tubuh Niki yang kejang dan kemudian lemas bersama satu hembusan napas panjang yang membuat Marco terdiam, mendekatkan dirinya ke telinga sang Adik.
“Niki boleh pulang sekarang, Abang, disini akan selalu sayang Niki, sampai ketemu lagi, Adik Kesayangan Abang.”
“Marco.”
“Pelakunya Ares, dia yang ngakalin Mobil Niki dan berbuat curang di lintasan, gue yakin dia udah rencanain ini semua karena tumben banget dia terima tantangan tapi gak balapan di sirkuit, gue yakin seratus persen.”
Marco berbalik, setelan hitam-hitam khas keluarga berduka masih melekat pada tubuhnya, bersama Jake yang wajahnya sembab, matanya merah karena terus menangis.
Omega itu nampak begitu emosional, dan Marco menghela napas.
“Buktinya apa?”
“Ares itu Arogan, dia Ambisius, dia gak akan mau ada yang bisa kalahin dia, si paling mau di cap Superior, dia bakal lakuin apapun supaya bisa jadi pemenang, termasuk berbuat curang, dia yang udah bunuh Niki!”
Jake kenal Marco adalah kreasi Tuhan paling Kalem sepanjang hidupnya, tapi kali ini, kabut emosi dan terjangan feromon Marco bahkan mampu membuat Jake lantas mundur menjauh sebelum jadi samsak hidup sang Enigma.
Dari kejauhan, Jake bisa melihat batu nisan dihantam keras oleh kepalan tangan Marco.
Hantaman dengan gerakan menyeret membuat luka disana, Jake yakin apa yang dilakukan Marco, dari kejauhan ia melihat, Marco membubuhkan darahnya di batu bertulis nama Niki.
Lantas kemudian meletakkan setangkai bunga tulip putih yang kelopaknya bernoda darah dipusara sang adik.
“No matter what’s called Fate.”
“The bloody Karma that connected us, so i don’t give a what, Ares.”