Bicara.
Ian sengaja gak bahas apapun soal masalah Ayahnya sama Bunda waktu jalan dari gerbang dan masuk ke dalam rumah.
“Ayah udah makan?”
“Udah, tadi mampir ke tempat Papi Kala, terus makan disana.”
“Syukurlah.”
Kaki mereka melangkah ke dalam rumah. Diam-diam Ian memikirkan bakal jadi gimana pertemuan Ayah dan Bunda setelah ribut besar semalam.
‘Semoga Aan bisa bikin Bunda cukup tenang untuk bisa ngobrol sama sama Ayah.’ Batin Ian berdoa.
“Ayah pulang…” ujar Marco begitu masuk ruang tengah bersama Ian di sisinya.
Dengan dramatisnya langkah mereka terhenti, sebab tepat saat itu Ares berbalik setelah membuka tirai jendela, biarkan angin masuk nambah dramatis pertemuan pandang mereka.
“Bunda.” Ujar Ayah singkat nan canggung.
Sorot Ares berubah datar, langkah hendak bawa pergi dirinya kembali ke kamar, tapi Aan hadir menghadang.
“Bunda.” Ujar si bungsu.
“Kita bicara sebentar, ya?” kata Aan.
“Kita ngobrol ya, Yah?” Ian pun ikut menggiring sang Marco untuk duduk dan bicara, berempat.
“Please….” ujar si kembar secara bersamaan.
Alpha dan Enigma muda itu akhirnya berhasil mendudukkan orang tua mereka, jauh-jauhan banget kaya orang musuhan. Sofa sepanjang itu dihuni sepasang suami istri yang sedang berseteru.
Ian dan Aan duduk di depan mereka.
Sebenarnya bingung banget mau mulai darimana, mereka gak begitu paham inti masalah orang tua mereka apa, karena gak kunjung ada yang bicara, Ian mutusin untuk melipir.
“Ian ke dapur sebentar deh, siapa tau sambil minum bisa lebih santai ngobrolnya,” katanya, seraya pergi ke belakang, jelas mau siapkan senjata ampuh yang kata Mami Nini dan Papi Kala kemungkinan keberhasilannya 99%.
Tinggalah Aan di depan kedua orang tuanya.
“Lusa Ian sama Aan ada acara, kita ngga akan ada di rumah satu minggu, masa kalian tega bikin Ian sama Aan ngejalanin kegiatan saat kalian masih berantem?” ujar Aan si Enigma manipulatif.
“Kalian nggak mikirin apa nanti Ian sama Aan ngga bisa menikmati kegiatan kami karena terus kepikiran Ayah Bunda di rumah keadaannya gimana? Belum lagi nanti kalian pasti ngga akan kabarin Ian sama Aan keadaan kalian yang sebenarnya,” ujar Aan dengan lesu, matanya memberi isyarat kesedihan yang membuat hati Marco dan Ares mencelos.
Bener soalnya apa yang dikatakan Aan.
Dan yang lebih menyakitkan bagi Marco dan Ares adalah saat mereka gak menemukan kata-kata terbaik untuk menenangkan keresahan Anak-anak mereka. Sebab bagi mereka sendiri pun bingung gimana menenangkan diri sendiri.
Marco dan Ares cuma bisa nunduk dan menatap lantai di depan Aan.
“Minum dulu, biar nggak kusut pikirannya,” kata Ian datang membawa dua cangkir teh untuk Marco dan Ares, sementara dua susu kotak untuk dirinya dan Aan. Biar gampang aja membedakan.
Ajaibnya, Marco dan Ares beneran meminum teh mereka, sambil memunggungi satu sama lain, Ares liat ke arah jendela yang tadi dia buka, dan Marco liat ke arah pintu tempat dia masuk.
Ian dan Aan baru bisa ngerasa sedikit lega begitu Marco dan Ares minum teh mereka yang udah dicampur sama obat, tentu saja obat yang bisa bikin kedua orang tuanya membutuhkan uluran tangan satu sama lain.
“Kalian jangan cemas soal Ayah sama Bunda, kami minta maaf kalau keadaannya jadi begini, tapi kalau itu demi kalian berdua, kami usahakan untuk tetap jadi orang tua sebagaimana mestinya, meskipun sebagai suami istri kami udah nggak bisa diusahakan lagi.” Begitu kata Marco.
Aan menoleh pada Bunda Alpha, menelisik reaksinya mendengar ucapan Marco. Jelas Ares nampak terkejut, tapi mau gimana lagi, ucapan Marco memang benar adanya.
“Setidaknya selesaikan masalah kalian sebagai orang dewasa, jangan melarikan diri, kalian gak akan memperbaiki apapun dengan cara itu, selain itu juga Ian sama Aan jadi sedih dan bingung harus gimana, kalau sampai kalian pisah, gimana nasib kami berdua, Yah, Bun?” ujar Ian tanpa air mata sedikitpun, sebenarnya dia juga sedih banget, semua yang dikatakan tulus, cuma entah kenapa susah banget buat nangis, gak kayak Aan yang lagi nunduk dan ngehela nafas buat nahan nangis.
Digaetnya lengan Aan oleh Ian sebelum Enigma muda kembarannya itu tantrum dan rencana mereka terancam gagal.
“Ayah sama Bunda harus bicara dengan tenang, bahas satu-satu, seperti yang kalian ajarin ke Ian dan Aan, jangan egois, jangan cuma mau menang sendiri, kalian sedang berumah tangga bukan berkompetisi.”
Lalu tanpa tunggu Marco dan Ares bicara, Ian sudah membawa Aan pergi dari rumah mereka. Ian udah janji mau ajak Aan jalan biar adiknya itu gak stress karena masalah keluarga mereka. Kasian juga Aan dari kemarin menggunakan banyak sekali tenaga Enigmanya untuk mengendalikan Bunda Alpha.
Singkat kata, tersisalah Marco dan Ares yang masih duduk berjauhan.
Lima menit ditinggalkan rasanya bingung setengah mati, mau gimana ini? Rasanya kaya ditinggal berdua sama orang asing, isi kepala kusut gak tau mau mulai bicara dari mana.
“Ares.”
Yang dipanggil menoleh, tatapan mereka ketemu, Ares terkejut melihat wajah Marco yang memerah, begitu juga dengan Marco yang melihat kegelisahan dari wajah Ares.
Ares mengalihkan pandangannya, masih menolak gejolak dari dalam tubuhnya, dia bangkit buat menuju ke jendela besar di sisi ruangan, menghirup banyak-banyak udara mengisi rongga dadanya, menutup mata mencoba menahan gelenyar panas dalam tubuhnya.
Marco menunduk dan mengatur nafasnya, kedua tangannya bertaut, sikunya bertumpu di atas lutut, kepalanya terasa pusing tapi bukan ke arah sakit, seperti pening karena panas yang berlebihan, makin ditahan makin panas rasanya.
Brugh!
“Ares?!”
Marco bangkit dengan tergesa, berlari meraih Ares yang bersimpuh di lantai, tubuhnya limbung begitu saja dan Marco merengkuhnya, sentuhan kulit mereka seakan memunculkan uap saking panas yang mereka rasakan saat ini.
“Ugh — Enigmahh…”
Ares memejam lalu menubrukkan dahinya di bahu Marco, mencengkeram lengan Marco dan tidak lagi menahan dirinya.
Feromon keduanya segera berpadu, pekat dan begitu kuat sampai Marco akhirnya yakin dengan situasi ini.
“Alpha.”
“Umh…”
Cuma dengan disentuh lembut saja leher Ares oleh Marco, sudah bisa bikin tubuh si Alpha Bunda gemetar hebat.
“Hh — panas…” ujar Ares payah.
Mulutnya sedikit terbuka, matanya melas nan sayu, tubuhnya lemas dalam sanggaan Marco, si Enigma tundukkan kepala buat menelisik wajah merah sang Alpha.
Tangan Ares terulur cepat mencengkram keras kemeja hitam Marco.
“I — euhh… I need you, Enigma.”
“I’m here, my Love, can you walk?”
Suara berat Marco dibalas gelengan oleh Ares yang nampak sangat tak berdaya.
Dengan sekali tarikan nafas, Marco melepaskan semua pertahanan, melupakan segala problematika di antara mereka, menggendong Ares menuju kamar mereka.