Hinandra
4 min readMay 27, 2023

abryan-jefarhan; sembilu sabiru.

aku akan menjadi badai
untuk hatimu yang
penghujan, jadi amuk
untuk jiwamu yang
pilu, sabiru jefarhan.

begitu abryan sampai di rumah jeje, petang sudah direnggut oleh malam, bulan muncul berbentuk sabit di timur, dan langkah abryan membawanya menerobos pintu masuk tanpa repot mengetuk.

langkah itu tak lagi tegas saat jelaganya melihat jeje sedang mengusap keringat, menanggalkan letih dengan desah napas panjang, bersandar di dinding, memegang tongkat pel dan sebuah kain lap bertengger di bahunya.

seketika panas seluruh tubuh abryan, seperti ada bola api yang berputar di perut naik membakar ubun-ubun.

“jefarhan.”

detik itu juga empunya nama menoleh, sedikit kaget karena gak sadar akan eksistensi abryan dengan wajah super kaku dan rahang menegas, menandakan bahwa abryan sedang berusaha menahan amarahnya.

“ayo pulang.” kata abryan singkat.

tangannya meraih tongkat pel dan dia jatuhkan begitu saja.

“belum sele—”

“lupain ini, sekarang ayo kita pulang.” abryan menahan jeje dari niatnya mengambil si tongkat pel.

“ryan,” panggil jeje berkesan melas.

“apapun yang sekarang ada di dalam pikiran ‘lo, jangan berharap gue bakal bilang ‘iya.’ karena gak akan pernah, jefarhan.”

“ryan…” rengek jeje seraya meraih tangan abryan, digenggamnya erat, melempar tatapan melas.

tapi abryan sedang dalam mode tidak bisa dibantah, sehingga kemudian si jagatnata malah membalas genggaman tangan jeje dan menariknya mendekat, jatuh ke dalam pelukannya, memerangkap tubuh jeje dalam lingkaran kedua lengan abryan di pinggang jeje.

“a-abryan…”

tangan abryan naik, meraih lap di bahu jeje dan dia jatuhkan sembarang, rangkulan satu lengan abryan di pinggang jeje mengerat, begitu kedua lengan jeje hendak mendorong abryan menjauh.

“jefarhan, lihat mata gue.”

“nggak mau…” tolak jeje, menunduk, menubrukan pucuk kepalanya dibahu abryan.

hela napas abryan membuat jeje bergetar gentar.

“sabiru jefarhan.”

“nggak.” kukuh jeje, menggeleng menolak.

dug!

tubuh jeje terdorong kembali disandarkan ke dinding, dan begitu jeje membuka mata, wajah abryan benar-benar begitu dekat dengannya, hingga deru napas sang jagatnata bisa ia rasakan menerpa wajahnya.

demi Tuhan.

“gue bilang, lihat gue, jefarhan.”

satu tangan abryan lantas naik meraih dagu jeje dan membuat anak itu menatapnya, memaksanya membalas pandang abryan tepat dimata.

“jefarhan—”

“stop, jangan panggil kayak gitu!”

tatapan abryan jatuh pada bibir jeje yang mengerucut setelah sempat menyela dan berseru.

“tapi—”

“takut… ryan, jangan panggil lengkap-lengkap kayak mau marahin gitu!”

“jeje, takut ryan marah…”

dan tarikan napas panjang abryan ambil seraya mundur, melepas sentuhannya pada jefarhan yang menatapnya dengan sepasang mata basah siap menangis.

abryan berbalik, demi meremas udara dengan kedua tangannya, mendesis demi menahan emosi dan gemas yang bertolak belakang.

dan bagaimana mungkin abryan rela kalau makhluk seperti jefarhan ini dibeli oleh orang yang bukan dirinya?

“ryan… marah banget ya?”

tangan jeje menyentuh bahu abryan, kemudian ia berbalik.

“jeje.” panggil abryan dengan tegas — sok tegas—agar jefarhan mendengar dan mengerti suasana.

“maafin jeje, ryan…”

kepala si manis tertunduk.

jantung abryan berderap, jiwanya berteriak memaksa abryan untuk menarik dan memeluk jefarhan erat-erat.

“jeje, lo itu ngga pernah salah.”

“berhenti menempatkan diri di situasi yang seharusnya lo nggak ada disana.”

“dengerin gue nggak, jefarhan?”

ceritanya mengintimidasi.

walau sebenarnya melihat jeje yang menahan suara tangis sambil ngusapin pipi yang basah itu begitu menggemaskan bagi abryan yang lemah jiwa raga.

“dengerin nggak?”

“dengerin…” jawab jeje kala tangan abryan menarik dagunya, lagi.

takut banget.

“sekarang ayo kita pulang.”

“kata bunda, perjanjiannya—”

“lo nggak perlu ikut mikirin perjanjian, itu akan jadi urusan dan tanggung jawab gue, yang lebih penting dari segalanya sekarang adalah memastikan lo aman sama gue.”

“ngerti nggak?”

“jawab, ngerti nggak?”

jeje menelan ludah berat dan mengangguk, “nge-ngerti, ryan…” jawabnya, lirih.

“ayo.”

“ryan.”

“apa lagi?”

“ryan, ini belum selesai tau nge-pelnya, nanti bunda ngamuk karna—”

“demi Tuhan, jefarhan, gue bawa lo ke rumah Kita dan jadiin lo Ratu disana, lo gak pantes ngelakuin semua ini, lo itu segalanya buat gue, gak perlu mikirin Bunda ‘lo bakal marah, begitu dia jual ‘lo, dia udah gak akan punya hak apa-apa soal hidup lo tapi Gue.”

“Gue yang berhak atas segala tentang ‘lo, jadi, jefarhan, berhenti mikirin soal Bunda dan Bunda yang gak pernah memperlakukan ‘lo selayaknya seorang ibu ke anaknya.”

jefarhan kemudian ngehela napas dan terkekeh, menghentikan langkah abryan yang menggenggam tangannya, berbalik dan menemukan wajah sendu jeje menatap dengan sorot rumit padanya.

“setiap anak menganalogikan Orang Tua mereka sebagai Semesta, tempat mereka dicintai dan disayangi.”

“jadi, artinya, Semesta gue ngga pernah sayang gue ya ‘kan, ryan?”

“jeje…”

“Semesta gue, bahkan ngejual gue seperti gue ini sebuah barang yang dihargai dengan uang.”

“Semesta, ngga pernah sayang sama gue, ryan.”

yang terjadi selanjutnya, adalah jeje yang jatuh ke pelukan abryan dengan sebuah tarikan dari si jagatnata, merengkuh pilu dan mewadahi sembilu dalam palung rasa milik sang biru.

“biar semesta itu ngga sayang sama ‘lo, jeje.”

“biar seluruh dunia bahkan ngga sayang sama ‘lo.”

“ada gue disini. gue yang bakal sayang sama ‘lo, ngga peduli biru ‘lo kadang bisa jadi abu-abu dan hitam, gue suka redup, gue suka kegelapan, dan gue suka ‘lo, je.”

untuk jiwa yang berduka.

untuk hati yang berpatah asa.

“gue ngga akan jadi matahari untuk hati lo yang sedang penghujan. gue akan jadi badai, disaat ‘lo menjadi mendung.”

“sabiru jefarhan.”

“gue nggak akan memaksa badai kita untuk selesai. gue akan tetap disini, sepanjang badai itu mengamuk, dan biar cinta yang datang menjadi pelangi, saat badai kita usai.”

abryan jagatnata, sebentang kelam dalam hiruk pikuk sibuk alam semesta, menengahi riuh dalam kepala sabiru jefarhan, dengan hitam dan putih yang ia tuang sepenuh hati, merengkuh eksistensi sang kekasih jiwa erat dalam amukan badai dari hati yang penghujan.

biar langit agungkan megahnya, biar laut suarakan ombaknya, biar semesta biru bekerja, merangkum sepatah asa abryan dan jefarhan dalam mengemban cinta yang sederhana di balik dua warna penuh makna.

“ryan.”

“iya, je?”

“ayo kita pulang, ke rumah kita.”

—to be continue.

No responses yet